Oleh : Syahrul Sidin *


Konflik agraria dibanyak tempat berimplikasi pada persoalan sosio-yuridis yang berujung pada pelanggaran HAM. Bentrok di Mesuji beberapa waktu lalu yang melahirkan korban lagi-lagi memberikan gambaran terang dampak dari konflik agraria berkepanjangan. Perlahan tapi pasti konflik-konflik agraria menjadi "bom waktu" yang siap meledak setiap saat. Kasus tewasnya Jailani , warga Mesuji menambah panjang potret pelanggaran HAM dalam konflik-konflik agraria.

Mengapa konflik agraria akan menjadi bom waktu? Hal yang harus kita pahami adalah salah satu hal terpenting dalam kehidupan petani adalah akses terhadap tanah sebagai sumber penghidupan. Rakyat khususnya petani membutuhkan tanah-tanah untuk sumber kehidupan dan kelanjutan hidup mereka, sedangkan pihak lain pada umumnya memerlukan tanah-tanah tersebut untuk kegiatan usaha ekonomi dalam skala besar. Monopoli atas tanah inilah yang menjadi bibit lahirnya konflik-konflik agraria.

Di banyak tempat, ekspansi perkebunan- perkebunan besar terutama sawit memerlukan lahan dalam jumlah yang sangat besar dan pengadaannya seringkali “merampas” tanah-tanah rakyat. Data Sawit Watch menunjukan eskalasi konflik agraria di wilayah perkebunan sawit yang terus meningkat setiap tahunnya. Tahun 2010 terjadi sekitar 660 kasus konflik agraria di kawasan perkebunan kelapa sawit, meningkat tajam dari tahun sebelumnya yang hanya berkisar 240 kasus. Pada proses selanjutnya hal yang membuat situasi bertambah rumit dalam konflik agraria yang melibatkan perusahaan ataupun perkebunan swasta dan masyarakat adalah perilaku perusahaan yang seringkali “menyuapi moncong senjata.” Dalam kasus di Mesuji diberitakan polisi terkesan menjadi “centeng perusahaan” meskipun anggapan ini segera disanggah oleh pihak kepolisian.

Pengamat Kepolisian Bambang Widodo Umar beberapa waktu lalu dengan lugas menyatakan bahwa “Polisi jangan jadi centeng, Polisi adalah polisi negara, bukan polisi liberal atau kolonial karenanya negaralah yang harus membiayai.” Sebagai abdi negara, aparat keamanan sebenarnya dilarang menerima atau meminta dana tambahan dari siapapun selain dari negara. Penerimaan dana dari pihak ketiga terlebih dalam situasi konflik tentunya akan mengganggu independensi para penegak hukum. Kondisi inilah mendorong dugaan “kolaborasi” aparat keamanan pada pihak tertentu dalam konflik agraria.

Kerja sama yang rapi antara pemburu rente, perumus kebijakan, ditambah penyalahgunaan wewenang oleh aparat keamanan semakin menyulitkan proses penyelesaian konflik agraria. Akibatnya acap kali masyarakat dikejutkan oleh tindakan-tindakan dan kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat, dan setiap kali terjadi skandal selalu berupaya keras ditutupi dengan mengunakan istilah “oknum” atau berdalih “it is illegal but not criminal.” Kasus penerimaan dana Freeport dari Polri menunjukkan dengan terang -benderang hal tersebut. Meski Polri berkelit bahwa hal tersebut diatur dalam peraturan tapi secara etik dan hati nuraninya sebagai abdi negara tentunya mereka memahami hal tersebut tentunya tidak layak.

Budaya Hukum Kapitalistik

Fenomena kolaborasi aparat keamanan dan perusahaan-perusahaan besar sesungguhnya adalah implikasi dari penerapan budaya hukum kapitalistik. Budaya hukum kapitalistik yang awalnya muncul di Amerika Serikat telah mendorong cara berhukum yang dicampuradukkan dengan kepentingan bisnis. Marc Galanter menyatakan bahwa pencampuradukan antara bisnis dan hukum tersebut cenderung mementingkan kepentingan orang ”berduit.” Atas nama investasi, itulah nabi-nabinya. Akibatnya muncul slogan “the haves always come out a head.” Akibatnya wajar jika rakyat berpandangan bahwa hukum memang seperti permainan yang sarat dengan kepentingan dan menyusahkan. Semakin kompleksnya persoalan bisnis mengakibatkan beban pemerintah sebagai regulator sekaligus fasilitator semakin meningkat. Terlebih dewasa ini semakin banyak produk perundang-undangan di bidang ekonomi diproduksi atas pesanan para pemilik modal.

Konsekuensi dari intervensi ekonomi dalam pembuatan hukum adalah lahirnya budaya hukum kapitalistik yang berimplikasi pada melemahnya peran negara sebagai pelindung dan pengayom rakyat. Penerapan budaya hukum semacam ini juga membuka peluang berbagai pelanggaran HAM. Konteks ini -budaya hukum kapitalistik- yang sesungguhnya bisa menjelaskan karakter hukum yang tampak congkak dan kejam di mata orang miskin.

Kondisi ini jika dibiarkan terus-menerus tentunya akan melanjutkan berbagai pelanggaran HAM dapat bermuara pada ketidakpercayaan terhadap hukum dan frustrasi sosial. Adagium “Hodie mihi, cras tibi” menjelaskan bahwa ketimpangan atau ketidakadilan yang menyentuh perasaan tetap tersimpan dalam hati nurani rakyat.

Saatnya kita merefleksikan kembali cara berhukum kita, merefleksikan cita-cita negara kita dibentuk dan cita hukum yang sesungguhnya. Institusi-institusi penegak hukum juga perlu berkaca diri dan memiliki keikhlasan untuk mengakui bahwa habitus mereka juga dapat membuat kekeliruan. Ke depan perlu kirannya untuk terus mewujudkan perlindungan yang sama bagi seluruh warga negara dengan mengormati dan melindungi HAM.

* Penulis adalah Sekretaris Jenderal Persatuan Petani Moro-Moro Way Serdang (PPMWS), sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment