Oleh : Chrisbiantoro*


Sesaat setelah diketahui bahwa pelaku aksi bakar diri identik dengan ciri–ciri Sondang Hutagalung (22), seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Karno (UBK), publik dan para sahabat sangat terpukul atas peristiwa ini.

Peristiwa ini sangat menyentak dan mengagetkan banyak pihak, khususnya bagi kerabat, para sahabat dan para aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) yang selama ini dekat dengannya, yakni Himpunan Aksi dan Studi Marhaenis Muda untuk Rakyat dan Bangsa Indonesia (HAMmurabi), serta para aktivis di Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), termasuk para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat dari beragam kasus, turut hadir dalam prosesi pemakaman untuk memberi penghormatan terakhir pada Alm. Sondang.

Anak muda yang bernama Sondang Hutagalung, yang lahir pada 12 November 1989, mulai berkenalan dengan politik dan isu HAM ketika dia memutuskan bergabung dengan HAMmurabi. Di sinilah awal perkenalan saya dengan dia, karena kebetulan saya salah satu pendiri organisasi ini, 3 tahun yang lalu, sebuah organisasi kecil yang lebih banyak menempa anak muda dari beragam latar belakang untuk memperjuangkan keadilan dengan cara non-kekerasan.

Di mata saya, Sondang bukanlah sosok yang buta politik, karena sebelumnya dia sudah belajar banyak tentang Marhaenisme dan Soekarnoisme di UBK. Dia sosok pengagum Soekarno khususnya tentang pemikiran politik dan kemandirian ekonomi. Selanjutnya, Sondang mulai tumbuh sebagai sosok yang marhaenis dan humanis.

Jalan Buntu

Setelah publik tahu bahwa pelaku identik dengan Sondang, opini mulai berkembang, ada pihak yang menyatakan aksi bakar diri sebagai upaya mencari sensasi, upaya bunuh diri karena masalah keluarga, terkait kampus bahkan putus cinta. Di sisi lain, ada juga yang langsung mengaitkan secara parsial aksi bakar diri ini dengan upaya untuk menggulingkan pemerintahan SBY–Boediono bahkan menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab.

Melihat beragam opini seperti itu, tentu saya dan teman–teman yang lebih mengenal dekat sosok Sondang tidak mau gegabah menafsirkan motif aksi bakar diri ini, karena memang tidak ditemukan pesan tertulis sebelumnya.

Sejauh ini keluarga, pacar dan kampus telah menegaskan bahwa tidak ada masalah dengan Sondang, bahkan di kampus, dia adalah seorang mahasiswa yang cerdas dengan IPK 3,7 dan sedang menyusun skripsi. Lalu, apa motif yang sebenarnya di balik aksi bakar diri?

Untuk menjawab soal ini, saya lebih memilih melihat Istana Negara sebagai tempat yang dipilih oleh Sondang adalah mengandung pesan yang sangat kuat apalagi jika direlasikan dengan latar belakang dia sebagai aktivis mahasiswa yang telah bergaul dengan isu HAM, korban pelanggaran HAM dan kebuntuan aspirasi keadilan selama kurang lebih 1,5 tahun.

Beragam cara, gaya, mekanisme dan terobosan sudah kita lakukan untuk menyuarakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM, termasuk bersama seorang Sondang, dari aksi demonstrasi, lobi, audiensi, 1000 surat dari korban, 4 tahun Aksi Kamisan bahkan aksi teriak–teriak hingga urat suara parau, namun tidak pernah digubris oleh pemerintah. Bahkan audiensi resmi dengan SBY dan menkopolhukam pernah kita lakukan, namun hasilnya tak kunjung terlihat.

Kami menduga, salah satu yang membuat Sondang terpukul adalah ketika dia bersama para korban dan KontraS ingin menyerahkan 1000 surat dari korban untuk presiden, pada 16 Agustus 2011. Presiden SBY menolak menerima surat itu, bahkan protokoler Istana Negara dengan lantang tidak membolehkan kami mengantarkan surat itu secara langsung. Ini sungguh menyesakkan, karena di sisi lain Presiden SBY justru membalas surat yang dikirimkan oleh tersangka tindak pidana korupsi, Nazaruddin. Akhirnya, kekecewaan demi kekecewaan terus kami terima dalam memperjuangkan HAM di Indonesia.

Sosok Sondang, di mata saya bukan hanya seorang demonstran, dia juga cukup sering terlibat dalam diskusi dengan sesama aktivis, setidaknya tema–tema yang kerap menjadi bahan diskusi adalah reformasi TNI, menyoroti isu regulasi seperti RUU Intelijen Negara, penertiban bisnis militer, penyelesaian kasus pelanggaran HAM hingga pada isu–isu HAM regional di antaranya mendorong demokratisasi di Burma.

Pelopor Perubahan

Sebagai bagian dari keluarga besar KontraS, kami meyakini bahwa Sondang paham betul gerakan non-kekerasan yang selama ini diusung oleh KontraS, termasuk HAMmurabi yang dia pimpin selama 3 bulan terakhir. Maka, jelas kami tidak akan pernah menganjurkan dia untuk membakar dirinya. Andai kata kami tahu, tentu akan kami cegah niat ini, karena bangsa ini masih memerlukan anak–anak muda pemberani seperti Sondang. Anak muda yang cerdas banyak, tapi anak muda yang pemberani dan rela berkorban seperti Sondang, nyaris tidak ada, di tengah maraknya PNS muda yang gemar korupsi belakangan ini.

Namun, kami juga tidak bisa tinggal diam, ketika sahabat kami telah merelakan dirinya terbakar demi sebuah perubahan yang kita idamkan bersama. Negara tidak boleh memandang remeh aksi bakar diri ini, apalagi menilai dengan pandangan negatif. Harus ada koreksi yang sangat serius dari presiden SBY karena pesan kekecewaan yang dibawa oleh Sondang dalam aksinya tidak lain dan tidak bukan dialamatkan pada pemerintah.

Belajar dari sejarah negara lain, aksi bakar diri yang terkait dengan kebuntuan aspirasi dan upaya memperjuangkan keadilan, setidaknya pernah terjadi di Tunisia, ketika Mohamed Bouazizi, membakar dirinya untuk menentang pemerintahan tiran di negaranya. Aksi ini berhasil memantik perlawanan rakyat, hingga menjatuhkan rezim yang berkuasa.

Pun demikian yang terjadi di Korea Selatan, ketika Chun Tae-il memprotes kebijakan WTO yang cenderung menyengsarakan petani. Hal serupa juga terjadi di Tibet, para biksu membakar diri untuk memprotes kebijakan pemerintah Cina yang sangat represif terhadap Tibet.

Pertanyaannya kemudian, apakah situasi HAM dan politik bernegara di Indonesia, sudah separah di Tunisia ataupun di Tibet sehingga memaksa seorang pemuda yang bernama Sondang Hutagalung, membakar dirinya?

Secara normatif, kondisi HAM dan demokrasi di Indonesia tentu lebih baik jika dibandingkan dengan Tunisia dan Tibet. Kita sudah meratifikasi beragam konvensi HAM internasional, kita juga memiliki seperangkat peraturan tentang HAM dan pengadilan HAM, kita memiliki Komnas HAM, KPK dan beragam komisi independen negara yang mendukung proses penegakan HAM. Namun, masalah terbesar adalah, seperangkat aturan dan perlengkapan negara itu tidak berguna sama sekali untuk menjawab dahaga keadilan yang dirasakan oleh para korban pelanggaran HAM dan para pencari keadilan yang selama ini terus-menerus menumpuk kekecewaan mendalam.

Setelah melihat berbagai pertimbangan dan latar belakang Sondang, maka kami tiba pada satu kesimpulan bahwa Sondang mengirim pesan kemanusiaan dan perubahan bagi pemerintah yang berkuasa saat ini. Pesan terakhir setelah beragam pesan sebelumnya, tidak pernah didengar oleh pemerintah. Isu HAM, sepanjang 13 tahun reformasi tidak pernah menjadi kebijakan politik, HAM masih menjadi isu musiman dan bahan intrik untuk memenangi kursi Pemilu di Indonesia.

Kini Sondang, sang pejuang HAM, martir perubahan, sarjana kehormatan dan beragam nama yang diberikan oleh sahabat dan orang-orang yang terwakili aspirasinya oleh Sondang, telah kehilangan dia untuk selamanya. Hari HAM, 10 Desember 2011, pukul 17. 50 WIB, rupanya menjadi hari terakhir dia untuk kembali kepangkuan Tuhan. Bumi pertiwi kembali menangis, rakyat dari berbagai latar belakang berkabung, melepas kepergian sang pemberani.

Paling tidak, bagi kita yang ditinggalkan, janganlah kita lupakan begitu saja pengorbanan seorang Sondang. Sementara untuk pemerintah, jangan remehkan apa yang dilakukan Sondang, karena mereka yang khawatir, mereka yang ketakutan dan mereka yang memandang negatif aksi bakar diri ini tidak lain dan tidak bukan adalah para pelanggar HAM, koruptor dan sahabat penjahat HAM. Lalu, masih ragukah kita dengan pengorbanan Sondang Hutagalung?


* Penulis adalah aktivis KontraS dan Sahabat Sondang Hutagalung, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment