Anto Sangajikk
(publikasi atas ijin penulisnya)
PENGANTARNEOLIBRALISME, sering dipertukarkan dengan fundamentalisme pasar (market fundamentalism) (Stiglitz, 2006:576), menjadi kata yang populer saat ini. Menjelaskannya tidak mudah, tetapi kalau ada kata lain yang bisa dipakai untuk menggantikannya agar mudah dipahami secepat kilat, maka pilihannya mungkin jatuh pada kata ‘kemerdekaan’ atau ‘kebebasan’ (freedom). Ada alasannya, karena Milton Friedman, penerima nobel tahun 1976 dan penulis buku ‘Capitalism and Freedom,’ yang dianggap salah seorang penggagas ide-ide neoliberalisme, menjadikan freedom sebagai hal paling pokok dalam gagasan-gagasannya. Di buku tersebut, dia menandaskan bahwa kemerdekaan ekonomi adalah keharusan menuju kemerdekaan politik (Friedman, 1962).
Tetapi freedom adalah kata yang mengundang banyak tafsir, tergantung siapa yang menafsirkan. Seperti kata Matthew Arnold ‘freedom is a very good horse to ride, but to ride somewhere’ (dikutip oleh Harvey , 2005:6). Ketika di tahun 2005, sekelompok kelas menengah terpelajar di Jakarta , misalnya, memanfaatkan ruang terbuka reformasi, dengan bebas memasang iklan mendukung kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, sebuah program di bawah payung neoliberalisme. Itu adalah freedom, bukan karena beberapa orang di antara mereka adalah aktivis ‘Freedom Institut,’ tetapi itulah contoh sederhana apa itu kemerdekaan berpendapat, tergantung siapa yang melakukannya.
Sebaliknya, seperti dilaporkan Pos Kota, dengan cara berbeda, 10/5/2008, Jamaksari, seorang buruh tani dengan kerja serabutan, warga Kampung Kemanisan RT 03/02, Desa Kebuyutan, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang Banten, secara ‘bebas’ pula memilih gantung diri dengan tali plastik, yang diikat di dahan pohon petai, di kebun milik warga setempat. Sehari sebelumnya, dia berkeluh kesah kepada para tetangga, bahwa ia sangat terpukul dengan rencana pemerintah menaikkan harga BBM (dikutip oleh Arismunandar 2008). Kasus Jamaksari kemungkinan hanya puncak gunung es dari maraknya kasus-kasus bunuh diri yang marak terjadi menyusul kebijakan-kebijakan neoliberal. VHR Media.com (2007) melaporkan bahwa antara 2005 dan 2007 terdapat sekitar 50,000 orang Indonesia bunuh diri karena kemiskinan dan himpitan ekonomi. Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti A Prayitno dalam laporan tersebut menyebut kemiskinan yang terus bertambah, mahalnya biaya sekolah dan kesehatan, serta penggusuran sebagai faktor penyebab. Di sini, freedom juga muncul dalam wajah lain, yakni tidak bebas dari rasa lapar.
Cerita seperti ini perlu dihadirkan untuk membawa percakapan tentang neoliberalisme tidak mengawang-awang dan elitis, tetapi turun ke bumi dengan contoh-contoh lapangan yang konkret. Tulisan ini lebih memusatkan perhatian pada pokok-pokok pikiran neoliberalisme dan kritik-kritik terhadapnya, gambaran ringkas tentang sejarah kelahiran paham ini sampai masuk ke dalam kekuasaan dan pengalamannya di Indonesia.
selengkapnya
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2009/07/gallery-foto-lentera-meditasi-padi.html
serial lawan-neoliberalisme
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/search/label/lawan-neoliberalisme