Oleh Zainul Maarif *

Rendahnya partisipasi publik dalam pemilihan umum (pemilu) menandakan tingginya pesimisme dan perasaan anti pahlawan (anti heroic mood). Di momen ini elit perlu introspeksi, sementara rakyat perlu memikirkan konsekuensi tingginya angka golongan putih (golput).

Jika jumlah golput sangat besar, legitimasi yang terpilih dipertanyakan. Kalau legalitas pemimpin rendah, rasa hormat publik terhadapnya pun minim. Pada tataran tertentu, minimnya penghargaan terhadap pemimpin dapat mentransformasikan demokrasi menjadi mobokrasi atau anarki. Mengingat sejarah mencatat bahwa kekacauan anarkis akan menimbulkan pemerintahan despotik, maka keterlibatan dalam pemilu menjadi penting demi mengantisipasi kebaluan dan otoritarianisme.

Untuk mengikuti pemilu dan memilih pemimpin yang tepat, dibutuhkan pertimbangan matang. Di tulisan ini, tipe-tipe pemimpin negara berikut sifat-sifat pemimpin demokratis akan dipaparkan sebagai bahan pertimbangan untuk memilih.

Sidney Hook, filsuf naturalis eksperimental Amerika Serikat mencatat ada dua model individu yang menjadi pemimpin negara, yaitu individu pencipta peristiwa (event-making individual) dan individu penggumul peristiwa (eventful individual). (Hook, 1980:160)

Pencipta Peristiwa

Pemimpin pencipta peristiwa adalah orang berkarakter di atas rata-rata. Saking hebatnya, dia mampu merekayasa peristiwa, bukan malah dicipta olehnya. Dia bisa mengubah arah sejarah dan melawan kemapanan, sampai-sampai dipanggil sebagai orang besar (great man/woman).

Sayangnya, orang besar kadangkala memaksakan kehendak dan memposisikan selainnya layak budak. Manipulasi pendapat publik bukan hal tabu baginya. Bila kehendaknya ditolak, intimidasi dijalankan. Jika pengaruhnya sudah menyebar, sistem patronase diterapkan beriringan dengan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Oleh karena itu, orang Cina kuno menyebutnya sebagai malapetaka publik, dan Lord Acton menjulukinya orang buruk.

Di ranah demokrasi, orang semacam itu bukan pilihan karena hanya akan merusak agenda dan proses demokrasi. Sistem demokrasi memang mendelegasikan pemimpin, tapi tidak menyerahkan seluruh amanat kepadanya. Alih-alih memuja-muji pemimpin, demokrasi justru selalu ”curiga” terhadapnya lantaran kekuasaan yang dimandatkan potensial untuk diselewengkan. Kecurigaan demokrasi pada pemimpinnya dimanifestasikan dengan beragam lapis pengawasan yang ditujukan untuk keseimbangan dan kebaikan bersama.

Penggumul Peristiwa

Ketimbang dipimpin orang besar, demokrasi lebih nyaman dikepalai individu penggumul peristiwa. Dia bergelut dengan persoalan publik dan berupaya mencari solusi terbaik. Berbeda dengan orang besar yang mengkondisikan solusinya sebagai final, individu penggumul peristiwa mengandaikan pendapatnya hanya usulan tentatif yang kepatutan dan kemungkinan penerapannya dipersuasikan dengan khalayak.

Penggumul peristiwa merasa bertanggung jawab dengan nasib hidup bersama. Fokusnya bukan sekadar para pemilihnya, melainkan semua warga. Sehingga dia punya keberanian untuk berseberangan dengan pendukungnya sejauh yang diperjuangkannya itu ditujukan untuk kebaikan yang lebih membahana.

Meski tidak menciptakan peristiwa bombastis, dia mengantisipasi kejadian demi kejadian dengan cara merencanakan dan menerapkan kebijakan-kebijakan publik yang adekuat untuk jangka pendek dan jangka panjang. Pergumulannya dengan peristiwa tidak berarti dia terlena di dalamnya, melainkan sekali waktu menjaga jarak untuk melihat lebih utuh dan di lain waktu meniadakan batas agar merasakan suka duka secara empiris.

Berlainan dengan pencipta peristiwa yang menabukan kegagalan, penggumul peristiwa selalu siap gagal. Haram baginya untuk menggunakan segala cara demi mencapai tujuan yang dianggap mulia, karena menghalalkan seluruh media justru akan mencederai demokrasi dan kemanusiaan. Ketimbang memaksakan kehendak, penggumul peristiwa malah siap menjadi pecundang. Dan kesiapan semacam itu justru merupakan prasyarat menjadi pemimpin demokratis.

Falibilitas

Pemimpin demokrasi bukanlah mesiah tanpa dosa. Justru sebaliknya dia harus menyadari dan disadari bahwa manusia adalah makhluk yang terus menerus berbuat alpa, tapi senantiasa berupaya untuk memperbaikinya.

Di sistem demokrasi kesempatan untuk jatuh bangun itu diberikan demi perkembangnan kemanusiaan yang lebih baik. Ketiadaan kesadaran tentang falibilitas justru memungkinkan adanya pemutlakan kebenaran yang menghalangi kemajuan manusia dan mereduksi demokrasi.

Lantaran pemimpin demokrasi bisa keliru, maka oposisi pun mungkin bahkan wajib ada. Seharusnya ada partai-partai, kelompok-kelompok bahkan individu-individu yang menjadi oposan penguasa, bukan malah sebaliknya berbondong-bondong mendekat ke partai pemenang atau pemimpin yang diprediksikan berkuasa.

Pemimpin Demokratis

Sejak sebelum dipilih hingga diberi kesempatan memimpin, para (calon) pemimpin demokrasi mesti dinilai dan diawasi. Agar rakyat tidak dipimpin tiran, Sidney Hook di buku Philosophy and Public Policy mendedahkan kriteria pemimpin demokratis yang layak dipilih. Menurutnya, pemimpin demokrasi idealnya memiliki dua karakter, yaitu kejujuran intelektual dan keberanian moral. (Hook, 1980: 161) Dua karakter itu dapat dipecah menjadi empat sifat, yakni jujur, cerdas, berani dan bermoral.

Pemimpin demokratis harus jujur. Tentang segala hal yang masih dipertanyakan publik, seperti dugaan melanggar HAM atau menikah di bawah tangan, mesti dijawab bahkan dipertanggungjawabkan dengan benar. Jangan biarkan ada setitik ragu di hati publik mengenai kredibilitasnya. Sebab, rakyat tidak mungkin mau memilih pembohong menjadi pemimpin.

Mestilah cerdas untuk memimpin demokrasi. Segala persoalan publik dari A sampai Z mesti membayang di otaknya. Alternatif-alternatif solusinya pun seyogianya telah terinskripsi dengan baik di akalnya untuk diutarakan bahkan diterapkan secara cantik. Kecerdasan pemimpin publik sangatlah urgen karena sangatlah sulit diterima rasio bahwa orang bodoh memimpin orang banyak. Hanya orang-orang bodoh yang memilih pemimpin bodoh.

Keberanian merupakan sifat wajib pemimpin demokratis. Dalam mengambil keputusan berkemaslahatan jauh lebih besar, pemimpin patut tegas meskipun ketegasan itu berseberangan dengan kepentingan konstituennya atau bahkan tidak populis. Sang pemberani tentu bukan penakut yang peragu. Dia bukan pula orang gegabah yang asal cepat, karena keberanian, sebagaimana kata Aristotle, merupakan sikap di antara serampangan dan ketakutan.

Yang ideal menjadi pemimpin demokratis adalah orang bermoral. Mau tidak mau ia mesti mengindahkan tata nilai etis publik. Bahkan untuk elit setingkat pemimpin publik, moralitas yang diterapkan publik untuknya jauh lebih ketat. Bagaimanapun ketatnya, ia tidak boleh mengabaikannya jika ingin diperhitungkan publik.

Sekarang dan seterusnya, Indonesia yang demokratis memerlukan pemimpin yang bergumul dengan kehidupan publik, menyadari falibilitas diri dan memiliki sifat jujur, cerdas, berani dan bermoral. Indonesia sama sekali tidak butuh orang besar pembohong, bodoh, pengecut dan imoral.


* Penulis adalah Dosen STIKOM PROSIA (Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Profesi Indonesia), sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment