main |
sidebar
Oleh Minardi *
"Kesempatan itu bisa dibuat, begitu orang bijak mengatakan untuk memberikan motivasi. Momentum atau kesempatan selalu bisa diciptakan bila ada kemauan dan kemampuan dalam diri kita tersedia."
Gerakan Massa “Terinterupsi” oleh Pemilu
Dalam situasi Negara Indonesia yang sedang terseret dalam pusaran krisis ekonomi kapitalisme global yang maha dahsyat dan sedang terjadi “pesta” perebutan kekuasaan, gerakan rakyat seperti “terinterupsi” oleh kedua momentum tersebut. Krisis kapitalisme yang memasung Indonesia dalam kesulitan ekonomi seolah berlalu menjadi biasa saja. PHK massal karena pabrik tutup hingga melimpahnya pengangguran, naiknya harga kedelai, banyaknya PHK TKI di luar negeri dan masih banyak derita rakyat akibat krisis seperti tidak bisa menjadi “ledakan” perlawanan dari massa rakyat. Pun kalau ada masih bersifat lokal, sektoral dan dalam kerangka advokasi kepada pemerintah untuk memperhatikan. Seharusnya situasi krisis ini dan kebijakan pemerintah yang tidak memihak rakyat menjadi ajang pertemuan dan konsolidasi gerakan rakyat untuk pembesaran dan penajaman perlawanan rakyat.
Pemilu legislatif dan presiden ternyata telah menyita banyak organisasi massa rakyat dari berbagai sektor larut dan melupakan kesalahan-kesalahan para partai politik dan pasangan capres dengan berbagai dalih untuk terlibat di dalamnya. Karena terlibat didalam tim kampanye pasangan capres, maka semakin memberi ilusi kepada anggota di organisasinya bahwa pasangan capres dapat membawa keluar dari situasi sulit dan menjauhkan peran massa untuk aktif melakukan gerak perlawanan. Sehingga praktis dalam dua bulan pileg dan pilpres ini kita melihat aksi-aksi massa sangat sedikit jumlahnya.
Padahal bila kita mau membuka peluang-peluang untuk persatuan dan penyadaran massa rakyat luas, situasi krisis dan pemilu ini menjadi sangat besar. Di pilpres, ketiga calon adalah jelas antek neoliberalisme dilihat dari cara kerja dan kebijakan yang sudah dibuat semasa berkuasa. Lihat saja Megawati yang mengesahkan UUK 13/2003 dan program privatisasi besar-besaran terhadap BUMN. SBY-JK adalah yang mengesahkan UU PMA, UU BHP, UU FTZ/KEKI dan masih banyak lagi. Ketiga calon presiden adalah pelanggar HAM, selain kebijakan yang dibuat ketiga pasangan capres saat berkuasa, juga dilihat ketiganya terdapat pensiunan tentara yang terlibat pada Peristiwa Tanjung Priok, 27 Juli 1996, Kasus Penculikan Aktivis dan Peristiwa Kerusuhan 1998, serta Timor Timur.
Sayang sekali banyak para elit organisasi yang amnesia (lupa ingatan) atau pura-pura lupa untuk sekedar “numpang makan” pada pasangan capres. Apapun alasannya, elit organisasi seperti ini telah menyandera organisasi dan massa anggotanya pada ilusi elit politik borjuis. Dan tentulah sangat merugikan bagi gerakan massa rakyat.
Dekrit Presiden 5 Juli sebagai Momentum
Bila kita tidak melupakan sejarah, maka tahun ini adalah tepat peringatan 50 tahun Dekrit Presiden dan bersamaan dengan pemilihan presiden yang akan berlangsung 8 Juli. Lalu adakah saling keterhubungan dan masihkah relevan kita menghadirkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dalam situasi Indonesia sekarang?
Dekrit Presiden 5 Juli yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno pada 1959 didasarkan pada situasi politik yang tidak menentu dimana Konstituante tidak mampu menyelesaikan Undang-Undang Dasar yang baru untuk menggantikan UUDS dalam waktu yang telah ditentukan, serta seringnya berganti perdana menteri sebagai pemimpin pemerintahan. Dekrit pada waktu itu sebagai sarana menstabilkan situasi di bawah kepemimpinan langsung Presiden Soekarno.
Banyak kontroversi di seputar dekrit yang isinya memperlihatkan kuasa seorang presiden pada zamannya. Namun dari ketiga isi dekrit tersebut, ada satu hal yang masih relevan hingga saat ini yakni kembalinya negara ini kepada UUD 1945. Bagaimanapun, rakyat melihat UUD 1945 tetap sebagai ikatan konstitusi bersama dalam konteks berbangsa dan bernegara. Hakikat dari dekrit itu sendiri yang bisa diambil sebagai pelajaran yang berharga, yakni terselamatkannya UUD 1945 dari likuidasi sejarah. Dengan demikian, aspek-aspek terpenting yang termaktub di UUD 1945 tetap terjaga. Terutama Pasal 33 yang menjamin kemandirian negara mengelola sumber daya alam dan isi bumi serta pendistribusian hasilnya bagi kesejahteraan rakyat.
Bila mengacu pada UUD 1945, maka keadaan sekarang yang diakibatkan oleh kebijakan pemerintahan sudah jauh melenceng dari cita-cita semula. Kita bisa melihat dari berbagai data menunjukkan 100 juta lebih Rakyat Indonesia berpenghasilan di bawah US$ 2 sehari, 5 juta anak menderita kurang gizi, 10 juta penduduk menganggur, 50 juta lainnya bekerja serabutan (pengangguran tertutup). Sementara dari 110 juta pekerja, 70% bekerja di sektor informal yang tak dilindungi undang-undang, 84% perusahaan tambang dan industri dikuasai perusahaan asing (MNC’s/TNC’s), hutang Indonesia mencapai Rp 2.667 trilliun, 50% bank dikuasai oleh asing. Kenyataan inilah yang harusnya dicari jalan keluarnya oleh mereka yang mengaku sebagai pemimpin rakyat.
Mungkinkah 5 Juli sebagai Hari Dekrit dijadikan momentum bersama, menyatukan seluruh elemen rakyat untuk bergerak melakukan tuntutan untuk kedaulatan bangsa dan negara serta Rakyat Indonesia yang sudah tercabik-cabik hancur dan tingkat kehidupan yang sangat miskin. Titik momentum hanyalah titik awal untuk memulai bukan sekedar dijadikan seremonial semata, sehingga kekuatan rakyat bisa menyatu dan membesar. Tidak ada yang tidak mungkin, bila ada kemauan bersama.
* Penulis adalah Ketua FPPB (Federasi Persatuan Perjuangan Buruh) Cimahi, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.
** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).
0 Comments:
Post a Comment