Oleh Fitriyanti *


Kehebohan Indonesia menyambut kedatangan Manchester United (MU), terhenti tepat dua hari sebelum jadwal kedatangan tim itu ke Indonesia. Kejadian Bom pada 17 Juli pukul 07.47 dan 07.49 di Hotel JW Mariot dan Ritz-Carlton membuat MU membatalkan Tour Asia-nya ke Senayan. Hotel Ritz-Carlton adalah hotel yang dipersiapkan sebagai tempat penginapan resmi bagi seluruh anggota MU, panitia lokal dan para penggemar yang rela membayar puluhan juta untuk bisa menginap bersama, mengikuti rangkaian acara dan berbagai fasilitas lainnya. Sehari sebelumnya, seperti yang dilansir oleh detik.com, panitia menambah tenaga pengamanan menjadi 3000 personel: 2000 dari kepolisian dan 1000 tenaga outsourcing.

Kegagalan MU datang ke Indonesia dengan berbagai alasannya dan alasan terbesarnya adalah karena keamanan tentu saja sangat mengecewakan jutaan penggemar di Indonesia. Bagi para penggemar fanatiknya, MU adalah ikon sepak bola dunia saat ini. Tim super kaya bertaburan bintang. Berprestasi dan seabreg gelar prestisius lainnya yang dimiliki tim itu menunjukkan bahwa sepak bola, sekarang bukan saja urusan 11 pemain di lapangan yang menendang bola dan bikin gol kemudian menjadi juara. Simaklah misalnya betapa MU bisa menjadi sangat kaya-raya karena berhasil menjual pemain seperti Christiano Ronaldo dengan harga fantastis sebesar 1,3 triliun, hanya kurang sedikit saja bila dibandingkan dengan kekayaan cawapres Prabowo sebagaimana dilansir KPU tempo hari. Padahal, beberapa tahun sebelumnya MU hanya membeli “CR 7” dengan harga yang sangat murah.

Namun sejatinya ini adalah gambaran kondisi yang nyata saat ini. Bukan saja sepak bola, namun cabang olah raga lainnya bahkan bidang-bidang lainnya di dunia hiburan, artis penyanyi, pemain film, fashion adalah sebuah gambaran tentang kondisi riil yang terjadi, bukan semata-mata hiburan, bukan semata-mata olah raga tapi di dalamnya jauh tersimpan pertarungan kepentingan bisnis, politik dan nilai. Ujung-ujungnya kita harus rela mengatakan bahwa inilah cengkeraman kuat sebuah kekuatan bernama kapitalisme yang pada gilirannya hanya punya satu kepentingan (bagi pelakunya, para pemilik modal), apalagi kalau bukan akumulasi keuntungan hanya untuk segelintir orang. Belum lagi akumulasi keuntungan yang diperoleh oleh MU dari acara-acara model tur yang dilakukannya di Asia. Tujuannya hanya satu: mempopulerkan MU sebagai sebuah produk bisnis dan penduduk Asia yang sangat besar tentu saja menjadi pasar potensial bagi pemasaran pernak-pernik tim seperti kaos, cinderamata serta dan puluhan acara-acara televisi yang pasti membuntut di belakangnya. Sebagai contoh, uang yang dikeluarkan oleh Real Madrid untuk membeli Ronaldo sebesar 1,3 triliun itu tidak terlalu besar sebenarnya karena diprediksi hanya dalam waktu kurang dari 3 bulan hasil penjualan replika kaos yang dipakai Ronaldo di Madrid konon terjual hingga 4 kali lipat dari jumlah nilai transfernya. Jumlah itu tentu saja di luar nilai uang karena membludaknya penonton yang datang ke stadion dan bertambahnya nilai hak siar televisi. Namun, kegagalan Tim MU datang ke Indonesia, tetap saja meninggalkan banyak catatan bagi kita semua.

Sepak Bola adalah Bisnis

Membicarakan (kegagalan) kedatangan MU, kita tidak bisa lepas dari rentetan agenda bisnis di belakangnya, bukan saja bagi MU sebagai tim tamu yang diundang dengan harga sangat mahal, namun juga hitungan-hitungan keuntungan yang diperoleh oleh panitia penyelenggara. Dari tiket saja, bahkan ada yang harganya mencapai 40 juta rupiah. Deretan angka keuntungan yang lain tentu saja dari hak siar ekslusif penyiaran acara, pejualan cinderamata, slot iklan dan terdongkraknya produk-produk pengiklannya serta histeria lain dari jutaan penggemar yang semuanya bisa dikonversikan dalam dollar. Sungguh sebuah angka yang selangit. Lebih fantastis karena tur ini juga dilakukan di berbagai negara seperti Malaysia dan Korea.

Namun, sebuah pertanyaan kemudian muncul, apakah semua merasa senang ketika seandainya tim MU benar-benar datang ke Indonesia? Jawabnya tentu saja tidak. Mereka, selain orang-orang yang tidak kebagian tiket nonton langsung di stadion karena lewat jalur resmi sudah habis dan terlalu mahal untuk membelinya lewat calo tentu saja adalah para buruh. Mereka adalah kaum buruh yang habis usianya di pabrik-pabrik garmen, kerja bungkuk 8 jam bahkan harus lembur dengan upah yang tidak jelas. Mereka adalah buruh yang memproduksi segala rupa barang produksi merk internasional yang salah satunya akan dikenakan MU dalam laga dengan Tim Indonesia All Stars, baik berupa kaos, celana maupun sepatu.

Di sini, buruh pabrik yang bekerja puluhan tahun, tanpa kepastian jaminan keamanan kerja telah memberikan nilai lebih bagi sebuah hasil produksi di pabrik yang kemudian barang itu dijual dengan harga sangat tidak masuk akal. Sebutlah misalnya informasi dari sebuah agen toko peralatan olah raga di Jakarta yang mengatakan bahwa harga sebuah replika kaos resmi dari MU berlabel tak kurang dari 450.000 rupiah! Kontras dengan upah buruh di Tangerang, tempat pabrik berada hanya berkisar sejuta rupiah atau rata-rata 40.000 rupiah per hari. Maka coba hitung, berapa keringat buruh yag diperas dan dicuri oleh kaum pemodal itu? Padahal dalam sehari buruh tidak sekedar menghasilkan sepotong baju, bahkan bisa lebih. Artinya, minimal dalam sehari para buruh pabrik itu memberikan keuntungan sebesar minimal 420.000 rupiah kepada pabrik! Dan, sepak bola, bukan sekedar olah raga, namun dia adalah sebuah strategi bisnis untuk meraup keuntungan.

Keringat buruh diperas tanpa batas!

Di kalanga aktivitas buruh internasional dikenal istilah sangat populer bernama Sweatshop, artinya secara harfiah adalah toko keringat, yaitu sebuah lingkungan kerja yang teramat sulit, buruh bekerja tanpa jaminan, lingkungan berbahaya dan biasanya buruh sangat sedikit atau tidak ada sama sekali kesempatan untuk menyampaikan keluhannya. Kasus di Indonesia, tentu saja sangat lekat dalam ingatan kita ketika pada kisaran bulan April 2008, sebutlah PT. HASI salah satu perusahaan yang mendapatkan order dari NIKE untuk memproduksi sepatu bermerk NIKE ini mengalami guncangan sangat hebat karena pabrik yang memperkerjakan 7.000 orang buruh ini terancam tutup. Bukan karena bangkrut tapi karena pihak NIKE Internasional bermaksud menghentikan ordernya. Maka dalam kondisi ini tentu saja buruh yang terancam tergusur di garda depan alias PHK.

Indikasi yang sangat kuat penghentian order ini, adalah karena NIKE adalah pelaku pasar yang sangat tunduk dengan mekanisme pasar. Ujung-ujungnya tentu saja mekanisme ini hanya akan berbicara dan mengabdi pada satu kepentingan: mencari keuntungan saja. Dalam kasus PT. HASI ini misalnya, karena anggapan bahwa buruh Indonesia mulai rewel meminta fasilitas-fasilitas (yang sebenarnya adalah hak normatifnya) maka NIKE berniat memindahkan pabriknya ke China, Kamboja, Vietnam atau tempat lain dengan upah yang lebih murah.

Pelajaran berharga bagi kita

Apa yang kemudian bisa kita petik dari semua rangkaian tulisan di atas? Tentu saja sebuah pelajaran berharga bahwa kondisi kita, kaum buruh sangat rentan. Sangat terancam dan nyaris tanpa perlindungan. Buruh, hanya dan selalu akan jadi sapi perahan. Dia laksana barang pajangan di sebuah toko yang bisa dieksploitasi seenaknya saja seperti ungkapan sweatshop itu. Dan pelajaran berharga dari gagalnya kedatangan MU ke Indonesia, semoga saja menyegarkan kita bahwa saat ini, sebuah sistem yang dijalankan atas dasar pengisapan manusia oleh manusia yang lain semakin menggurita dan mencengkeram kita dengan kuat tanpa memberikan jeda bagi kita untuk bernafas. Sebuah kesadaran bahwa sepak bola katakanlah bukan sebuah permainan “cari keringat” semata. Di dalamnya terkandung pertarungan kepentingan ekonomi politik dan pertarungan dua kutub yang sangat laten: buruh dan pemodal.

Maka, sambil menyesali kegagalan MU datang ke Indonesia, kita semestinya menyisihkan sedikit waktu untuk memberikan arti dan apresiasi bagi para buruh yang dieksploitasi dalam mata rantai produksi di pabrik garmen. Bukan sekedar dengan merenung namun mulai menyiapkan sebuah aksi bersama untuk keadilan yang lebih nyata bagi para buruh. Para buruh yang barisannya makin panjang dalam ancaman PHK, sistem kerja kontrak outsourcing, ancaman serius kesehatan, upah murah dan kondisi buruh lainnya.

Jadi? Benarlah adanya ungkapan yang menyatakan bahwa “We Love MU But Not Sweatshop,” sebagaimana terpampang dalam spanduk-spanduk. Ayo, “Indonesia Unite” dukung perjuangan buruh pabrik garmen, sekarang juga!


* Penulis adalah Pengurus FSPEK Karawang, penggemar Manchester United, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment