SADAR
Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi
Edisi: 212 Tahun V - 2009
Sumber: www.prakarsa-rakyat.org
KISAH AJAIB NAN MIRIS IBU PRITA
Oleh Joko Sumantri *
Barangkali hanya terjadi di negeri ini. Seorang ibu yang menulis keluhan di e-mail dan kemudian mengirimkannya ke teman-teman sendiri ternyata harus dibayar demikian mahal: penjara. Semakin tragis karena ibu 2 anak ini masih tengah menyusui seorang anaknya.
Ceritanya bermula dari keluhan Prita Mulyasari mengenai layanan RS Omni Internasional Alam Sutera. Email tersebut kemudian menyebar ke publik lewat milis-milis.
Dalam emailnya, Prita merasa dibohongi oleh diagnosa dokter ketika dirawat di RS tersebut pada Agustus 2008. Dokter semula memvonis Prita menderita demam berdarah, namun kemudian menyatakan dia terkena virus udara. Tak hanya itu, dokter memberikan berbagai macam suntikan dengan dosis tinggi, sehingga Prita mengalami sesak nafas.
Saat hendak pindah ke RS lainnya, Prita mengajukan komplain karena kesulitan mendapatkan hasil laboratorium medis. Namun, keluhannya kepada RS Omni itu tidak pernah ditanggapi, sehingga dia mengungkapkan kronologi peristiwa yang menimpanya kepada teman-temannya melalui email dan berharap agar hanya dia saja yang mengalami hal serupa (www.detik.com).
Pihak rumah sakit menuduh Prita telah melakukan pencemaran nama baik terhadap rumah sakit bersangkutan beserta sejumlah dokter mereka. Pihak kejaksaan lalu menambahkan pasal 27 ayat (3) UU ITE untuk menuntut Prita soal pencemaran nama baik. Karena ancamannya maksimal 6 tahun, Prita pun sempat ditahan di Lapas Wanita Tangerang, Banten.
Kisah nyata ini ajaib karena mengandung fakta-fakta yang berkelindan: persoalan kesehatan, internet, hukum, profesionalitas dokter, gender, kemanusiaan (bahkan mungkin juga sentimen agama karena ibu Prita ini memakai jilbab – merujuk pada kampanye salah satu pasangan capres-cawapres terhadap istri mereka), komersialisme, bahkan politik (pernyataan capres Jusuf Kalla untuk mengeluarkan Prita dari penjara).
Hubungan komersialisme dunia kesehatan ditunjukkan dalam penanganan pasien di sebuah RS bertaraf internasional. Karena memakai asuransi, Prita berasumsi pihak RS sengaja menjejali dirinya dengan berbagai obat demi mencapai klaim tertinggi. Sebenarnya ini adalah praktek umum di RS-RS kita demi peningkatan pemasukan. Pasien kerap dibuat bingung dengan penyakitnya sendiri dan karena ketidaktahuan ini pihak RS memakai aji mumpung agar pasien mengkonsumsi maksimal obat-obatan yang disediakan RS.
Alih-alih memakai praktek macam begini, rupanya ketanggor (kena batunya) dengan keluhan Prita. Meskipun melalui surat pribadi dan dikirimkan ke teman-teman sendiri (bukan di koran atau media massa lain), ternyata daya sebarnya cepat sekali karena direproduksi melalui milis-milis.
Nah, surat keluhan Prita ini memang lumayan keras mengecam pihak RS Omni. Sudah tentu ”mengganggu” nama besar RS Omni yang mengklaim berstandar internasional ini. Ujungnya banyak orang mungkin berpikir ulang untuk berobat ke RS tersebut. Kemungkinan menipisnya jumlah pasien (yang secara potensial timbul akibat e-mail Prita) berarti ancaman sangat berarti bagi eksistensi RS Omni.
Ironis bagi RS Omni sendiri. Mengangkat kasus ini ke publik justru membuat semakin banyak orang yang tahu dan tentu semakin tidak respect terhadap RS ini. Mereka kini jelas berhadapan dengan suara-suara publik, yang justru berpotensi menenggelamkan nama RS Omni sendiri.
Kapitalisasi Kesehatan
Runyamnya persoalan yang dihadapi Prita bersumber pada kesehatan ini yang akar komersialisasinya semakin dalam. RS-RS tumbuh subur di kota-kota besar, bahkan mengundang investasi asing menanamkan modal di sektor kesehatan. Praktis tidak pernah terdengar rumah sangkit yang bangkrut. Namun banyak yang mengembangkan usaha, membangun RS baru atau meningkatkan peralatan kesehatan sehingga semakin mewah dan mahal.
Sebagai bagian dari kepentingan publik yang luas, RS bertransformasi sebagai lembaga komersial layaknya perusahaan biasa yang menggunakan kacamata untung-rugi dalam operasionalisasinya. Kerjasama erat dengan farmasi pemasok obat-obatan juga berlandaskan asas untung-rugi. Kerap terdengar seorang dokter mendapat bonus mobil baru oleh perusahaan farmasi semata-mata memenuhi target penggunaan obat dari perusahaan farmasi tersebut.
Apabila kita memakai latar belakang ini untuk meneropong keluhan Prita pada penanganan pasien dokter-dokter RS Omni, tentu kelihatan benang merahnya. Kemampuan dan kapasitas dokter-dokter kita mungkin tak perlu diragukan. Namun betapa tidak “independen”-nya dokter dalam menangani pasien, maka yang terlihat adalah profesionalitas yang diragukan.
Masyarakat jelas menjadi korban paling parah dari kait-mengkaitnya kapitalisasi sektor kesehatan ini. Selain harus membayar jasa dokter dan rumah sakit, juga harus menanggung gelembung harga obat-obatan yang diproduksi perusahaan farmasi yang kebanyakan berlisensi asing. Pernah ada studi yang membandingkan harga obat-obatan antar berbagai negara dan terlihat obat-obatan Indonesia termasuk sangat mahal, bahkan lebih mahal dari negara maju seperti Kanada.
Maka, sekalipun kasus Ibu Prita rampung nantinya (akibat desakan masyarakat) sama sekali tak menghilangkan problem-problem dunia kesehatan kita.
Dalam taraf tertentu, Ibu Prita masih bagian dari kelas menengah yang mampu membayar asuransi kesehatan. Keterdidikannya pun memberinya bekal menguraikan keluhan dalam tulisan yang menyentuh dan menimbulkan amarah bagi pembacanya. Jauh lebih banyak pasien-pasien dari kalangan miskin yang diam saja atau hanya nggerundel di belakang akibat ketidakberdayaan penuh atas perlakuan rumah sakit.
Perlu bagi siapapun melakukan pengkritisan bagi dunia kesehatan kita. Kesehatan tidak bisa dipersamakan layanan jasa lain yang tidak menyangkut masalah nyawa manusia. Kesehatan harus diperlakukan khusus dan bagian dari kepentingan publik dimana negara mengambil peranan penuh.
Ide ini sudah terejawantahkan di banyak negara, baik negara maju maupun berkembang. Negara-negara di Eropa umumnya menggratiskan biaya kesehatan, begitu pula di negara berkembang macam Kuba dan Venezuela. Bahkan gugatan terhadap komersialisasi kesehatan di AS (yang merupakan prototip kesehatan Indonesia) mulai gencar disampaikan oleh warga AS sendiri. Ini artinya hampir semua orang, kecuali mereka yang “hidup” dari komersialisasi kesehatan, menginginkan penanganan kesehatan manusia nir-biaya.
* Penulis adalah Koordinator Redaksi Buletin Sastra Alternatif PAWON di Solo, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Tengah.
** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).