Tulisan ini juga disajikan dalam website http://umarsaid.free.fr/
Catatan A. Umar Said
Mengenang tanggal 21 Juni
Bung Karno wafat karena memang sengaja dibunuh
Tulisan ini berupa curahan hati yang mengandung berbagai perasaan, fikiran, dan kenangan yang berkaitan dengan hari wafatnya Bung Karno pada tanggal 21 Juni 1970, yang jasadnya sejak 39 tahun dimakamkan di kota Blitar. Walaupun wafatnya Bung Karno sudah terjadi 39 tahun yang lalu, tetapi setiap tanggal 21 Juni banyak orang yang tetap mengenang - baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama - berbagai persoalan yang terjadi sekitar peristiwa besar bagi bangsa kita ini.
Sampai selarang, banyak orang yang masih tetap merasa sedih kehilangan Bung Karno, seorang pemimpin besar yang menjadi pujaan rakyat, yang sebelum digulingkan oleh Suharto serta para jenderal pendukungnya, merupakan massa besar pencinta dan pengagumnya. Kecintaan banyak orang dari berbagai kalangan masyarakat ini kelihatan jelas dari besarnya jumlah pengunjung makamnya di kota Blitar setiap hari. Kiranya, tidaklah berlebih-lebihan kalau ada orang mengatakan bahwa tidak satu pun makam dari pemimpin-pemimpin Indonesia lainnya, yang mendapat kunjungan setiap hari sebanyak makam Bung Karno;
Tentu saja, wajarlah, kalau di antara para pengunjung makam di Blitar itu sebagian terbesar terdiri dari orang-orang pendukung atau simpatisan Bung Karno, atau dari golongan kiri dari kalangan nasionalis, agama atau simpatisan komunis. Tetapi, tentunya, juga banyak orang-orang biasa yang bukan pendukung Bung Karno mengunjungi makam ini, apakah sebagai turis biasa atau pun sekadar berpariwisata bersama keluarga atau teman-temannya.
Banyaknya kunjungan tiap hari ke makam ini, merupakan bukti yang jelas bahwa meskipun Bung Karno sudah wafat sekitar 40 tahun yang lalu, namun kebesaran jiwanya dan kegemilangan sosoknya masih tetap bersemayam di hati banyak orang..Juga untuk tanggal 21 Juni yang akan datang, tentunya banyak orang yang terkenang kepada wafatnya Bung Karno ini, terutama kalangan korban Orde Baru beserta sanak-saudaranya, baik yang pernah menjadi tapol mupun yang tidak.
Bung Karno, tapol yang dianiaya
Sangatlah perlu kita ingat bersama-sama – mungkin dengan sedih yang bercampur marah, dan barangkali ada yang dengan rasa dendam pula, bahwa Bung Karno adalah tapol besar Orde Barunya Suharto, yang telah diperlakukan secara kejam dan tidak beradab, sampai ia wafat dalam tahanan, terisolasi, kesepian, terlantar, menderita siksaan fisik dan batin yang berat dan terlalu lama.
Perlakuan Suharto bersama para jenderal pendukungnya terhadap tapol Bung Karno adalah sedemikian biadabnya, sehingga mereka itu pantas dihujat bahkan harus (!!!) dikutuk oleh kita semua, termasuk generasi yang akan datang.
Sebab perlakuan Suharto (dan para pendukungnya) terhadap Bung Karno sebagai tapol, berupa pengasingan fisik disertai penyiksaan mental secara berat dan kontinyu sejak
ia dijatuhkan sebagai kepala negara dan pemimpin besar revolusi dalam tahun 1967, sampai wafatnya di tahun 1970 dalam status sebagai tahanan.
Penyiksaan terhadap Bung Karno sebagai tapol ini didahului dengan tindakan terhadap jutaan tapol lainnya yang mulai akhir 1965 sampai beberapa tahun berikutnya telah ditahan secara sewenang-wenang dan dibunuhi secara besar-besaran. Penahanan dan pembunuhan terhadap begitu banyak orang oleh Suharto dan pendukung-pendukungnya adalah peristiwa yang belum pernah terjadi dalam sejarah bangsa Indonesia, bahkan melebihi dari kejahatan yang dilakukan pemerintahan kolonial Belanda selama 350 tahun atau pendudukan tentara fasis Jepang.
Wafatnya Bung Karno adalah pembunuhan
Wafatnya Bung Karno dalam tahun 1970, adalah sebenarnya pembunuhan, yang direncanakan dan
juga disengaja. Wafatnya Bung Karno ada hubungannya yang erat dengan pembunuhan besar-besaran terhadap jutaan golongan kiri yang mendukungnya dan mencintainya, yang sebagian terbesar (tidak semuanya) adalah simpatisan atau anggota PKI. Jadi, wafatnya Bung Karno adalah karena ulah sekelompok manusia, dan bukanlah karena kehendak Tuhan, seperti meninggalnya orang biasa lainnya. Pada hakekatnya, wafatnya Bung Karno adalah senafas atau sejalan dengan pembunuhan besar-besaran para pendukungnya, terutama dari golongan kiri, oleh Suharto dan pembantu-pembantu setianya.
Bung Karno wafat sesudah ia ditahan dan dengan sengaja dibiarkan menderita sakit ginjal yang berat dalam jangka lama, tanpa mendapat perawatan dokter-dokter yang semestinya atau selayaknya. Menurut Dr Kartono Muhammad, mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) : “Selama dalam tahanan tidak sekali pun Bung Karno diperiksa oleh dokter spesialis. Adapun obat-obat yang diberikan adalah Duvadilan,vitamin B12, vitamin B kompleks, dan royal jelly. Duvadilan adalah obat untuk mengurangi penyempitan pembuluh darah perifer. Sekali-sekali kalau sedang sulit tidur, Bung Karno diberi satu tabletvalium. Makanan pun tidak diatur sebagai makanan pasien penderita gangguan ginjal, bahkan sekali-sekali makan makanan yang disiapkan oleh Bu Hartini » (dikutip dari Kompas, Kamis 11 mei 2006)
Jadi maksud yang tidak luhur sama sekali dari Suharto dkk adalah jelas sekali, karena meskipun Bung Karno sakit ginjal yang berat sekali, tetapi tidak pernah ada dokter spesialis yang memeriksanya. Bahkan, ada tulisan bahwa selama sakitnya itu Bung Karno hanya dirawat oleh seorang jururawat dan ....seorang dokter hewan !!! Sungguh keterlaluan. Sampai demikian kejikah “budi luhur” Suharto dan para pendukung setianya terhadap Bung Karno? (Baca soal ini, antara lain : http://ayomerdeka.wordpress.com/2008/01/24/soeharto-sakit-bung-karno-ngetop-lagi-1/)
Setelah membaca perlakuan Suharto (bersama jenderal-jenderalnya) terhadap Bung Karno seperti tersebut di atas, dan membandingkan dengan segala hiruk-pikuk dan perlakuan yang serba kelas mewah dan berlebih-lebihan ketika Suharto mau meninggal, maka wajarlah - dan juga sudah semestinyalah - bahwa banyak orang marah, atau muak sambil mencaci-maki (ingat antara lain : bahwa puluhan dokter-dokter ahli di berbagai bidang, yang jumlahnya sampai puluhan orang dikerahkan tiap hari, dan perlengkapan yang serba paling modern disediakan di Rumahsakit Pertamina).
Tidak bisa dan tidak patut dima’afkan
Mengingat itu semuanya, maka banyak orang yang mengenang wafatnya Bung Karno sekaligus juga ingat bahwa Suharto, tidak saja sudah melakukan kudeta merangkak secara lihay dan licik, tetapi juga sudah membunuh Bung Karno, dengan cara-cara yang tidak manusiawi, Apa yang dilakukan oleh Suharto terhadap Bung Karno adalah suatu kejahatan, yang tidak boleh dan tidak bisa dima’afkan oleh rakyat Indonesia yang mencintainya. Pembunuhan Bung Karno oleh Suharto dan konco-konconya harus selalu dihujat atau dikutuk, demi kebaikan kehidupan bangsa, dan demi kepetingan anak-cucu kita semua. Jelaslah bahwa dalam hal ini, mengkutuk Suharto dan kliknya adalah sikap moral yang luhur.dan sikap politik yang tepat.
Fikiran yang jernih akan mengatakan bahwa mengkutuk Suharto (bersama jenderal-jenderal pendukunganya) karena memperlakukan Bung Karno sedemikian nistanya adalah benar. Nalar yang sehat juga akan menyetujui bahwa menghujat berbagai kejahatan Suharto terhadap Bung Karno adalah sikap yang adil, dan sah. Sebab, fikiran atau hati nurani atau jiwa bangsa Indonesia harus dibersihkan dari anggapan bahwa perbuatan Suharto dkk terhadap Bung Karno adalah perlu demi menyelamatkan Republik Indonesia atau untuk kebaikan bangsa. Omongksong besar saja !
Oleh karena itu, setiap kali mengenang wafatnya Bung Karno (tanggal 21 Juni) perlulah kiranya selalu diingat juga segala kejahatan atau dosa-dosa besar Suharto (beserta para pendukung setianya, baik militer maupun sipil) yang berkaitan dengan peristiwa besar ini. Selalu ingat kepada kejahatan Suharto terhadap Bung Karno bukanlah karena mau mengunyah-ngunyah kembali persoalan-persoalan lama, atau mengutik-utik hal-hal yang sudah kedaluwarsa, atau membuka kembali luka-luka lama, yang sudah tidak gunanya lagi sekarang ini.
Kejahatan Suharto terhadap Bung Karno adalah masalah yang maha besar dan juga maha penting bagi bangsa , baik generasi sekarang, maupun bagi semua generasi yang akan datang. Banyak akibat kejahatan yang dilakukannya masih dirasakan dan dilihat dewasa ini di banyak dan berbagai bidang kehidupan bangsa dan negara. Membuka kembali kejahatan Suharto terhadap Bung Karno (dan seluruh pendukungnya) bukanlah sekedar membuka luka-luka lama, melainkan dengan maksud menghilangkan atau menyembuhkan luka itu, sehingga bangsa kita menjadi sehat dan segar-bugar. Selalu ingat dan saling mengingatkan kepada kejahatan-kejahatan Suharto, adalah amat besar gunanya bagi kita semuanya.
Dibunuh karena berhaluan kiri
Baik sekali kita ingat bahwa Bung Karno telah dikhianati oleh besar-pembesar militer (bersama-sama tokoh-tokoh sipil dari berbagi kalangan) dan akhirnya dibunuh degan cara menterlantarkannya ketika sudah sakit keras, adalah karena sikap politik Bung Karno yang kiri, atau yang revolusioner, dan anti imperialisme (terutama AS). Bung Karno adalah seorang nasionalis kiri sejak ia masih muda sekitar 25 tahun. Bolehlah dikatakan bahwa sepanjang kehidupannya yang lama dalam memimpin perjuangan rakyat Indonesia menuju kemerdekaan (dan juga sesudah mencapai kemerdekaan) Bung Karno selalu dipersenjatai dengan pandangan kiri atau revolusioner.
Haluan kiri atau orientasi revolusionernya ini tercermin dalam seluruh karya-karyanya, yang secara menonjol dimulainya tahun 1926 (Tulisan “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme) sampai ketika menjabat sebagai Presiden dan Pemimpin Besar Revolusi. Justru, yang membikin Bung Karno bisa menjadi pemimpin besar rakyat Indonesia selama perjuangan merebut kemerdekaan dan juga sesudah menjabat presiden itu adalah fikiran-fikirannya yang kiri dan revolusioner, baik ditingkat nasional maupun internasional (Ingat sekali lagi, antara lain : konferensi Bandung, Indonesia keluar dari PBB, “Go to hell with your aid”, “Dibawah Bendera Revolusi”, ‘Revolusi belum selesai” dll dll)
Jadi, dibunuhnya Bung Karno oleh Suharto dkk adalah disebabkan karena ia berhaluan kiri atau revolusioner, dan karena ia mendapat simpati besar dari berbagai kalangan masyarakat yang mendukung konsepsi-nya, yaitu NASAKOM.. Dalam rangka ini jugalah Bung Karno mendapat dukungan yang besar dan kuat dari PKI. Karena fikiran-fikiran kiri Bung Karno sejak muda sampai menjadi Presiden pada garis besarnya adalah searah atau sejiwa dengan politik yang dianut PKI. Dan karena itu pulalah Bung Karno juga menaruh simpati yang besar kepada PKI. Hal ini telah berkali-kali dinyatakannya secara terbuka dan secara terus terang.
Inilah yang sama sekali tidak disenangi atau tidak bisa diterima oleh pimpinan militer (dan sebagian kecil dari berbagai tokoh sipil) yang mempunyai pandangan politik yang searah dengan imperialisme AS, dan berusaha sejak lama – dan berkali-kali - menghilangkan Sukarno dari pimpinan negara. Karena itu, peristiwa G30S telah memberi kesempatan bagi mereka untuk melaksanakan rencana mereka sejak lama, antara lain dengan menuduh Sukarno terlibat G30S, sehingga disebut-sebut sebagai “Gestapu Agung” dan sebagainya. Dengan berbagai dalih terlibatnya PKI maupun Bung Karno dalam peristiwa G30S, maka pimpinan militer telah menggunakan segala cara (termasuk yang paling kejam dan biadab) untuk menghancurkan PKI terlebih dulu, sebelum menghilangkan kedudukan Bung Karno sebagai kepala negara dan pemimpin bangsa.
Menolak membubarkan PKI
Keteguhan atau konsistensi Bung Karno dalam memegang kesetiaan pada prinsip-prinsip kiri atau revolusionernya, tercermin dalam kegigihannya dalam mempertahankan prinsip NASAKOM sampai jabatannya diakhiri oleh rekayasa MPRS (gadungan) dalam tahun 1967 dan bahkan sampai akhir hayatnya, dalam status sebagai tapol.. Jadi, wafatnya Bung Karno, yang hakekatnya adalah akibat pembunuhan oleh klik militer , adalah juga berlatar-belakang karena kedekatannya atau searah politiknya dengan politik PKI. Karena itu, walaupun Bung Karno berkali-kali mendapat tekanan yang kuat atau desakan yang besar dari pimpinan militer untuk membubarkan PKI, ia menolaknya.
Penolakan Bung Karno untuk membubarkan PKI itulah salah satu di antara sebab-sebab utama mengapa Suharto memutuskan untuk menjebloskan Bung Karno dalam tahanan rumah (artinya, sebagai tapol) dan kemudian membunuhnya dengan cara-cara seperti yang diceritakan di atas.
Di situ pulalah kelihatan kebesaran Bung Karno, yang dengan gigih dan teguh tetap setia kepada dasar fikirannya sejak muda, untuk menggalang persatuan seluruh bangsa Indonesia melalui konsepsinya yang besar dan bersejarah sejak lama , yaitu NASAKOM. Sampai wafatnya, Bung Karno tetap setia kepada NASAKOM-nya. karena ia tidak mau mengkhianati salah satu di antara sokogurunya, yaitu golongan komunis.
Itulah sebabnya, maka dalam memperingati atau mengenang kembali wafatnya Bung Karno seyogianya kita semua juga ingat dan merenungkan dalam-dalam segala persoalan yang berkaitan dengan peristiwa besar ini. Kita perlu dan patut menjadikan wafatnya Bung Karno bukan hanya sebagai ritual untuk menghormati pemimpin rakyat yang telah berjasa besar, atau hanya dengan mendoa atau mengaji, melainkan juga sebagai kesempatan untuk mengenang kembali segala kejahatan dan dosa-dosa besar Suharto terhadap Bung Karno serta pendukung-pendukung setianya yang besar jumlahnya.
Sukarnoisme masih punya pengikut
Suara Bung Karno yang terdengar dari makamnya di Blitar, atau jiwa besar yang masih tetap memancar dari Museum Bung Karno yang berdekatan dengan makamnya, membuktikan dengan gamblang bahwa namanya masih dielu-elukan dalam hati banyak orang. Walaupun makam Bung Karno sekarang tidaklah sebesar, seindah atau semegah Astana Giribangun dimana jasad Suhato (dan istrinya ) diletakkan, tetapi gemuruh orang yang setiap hari mengunjungi makam di Blitar pasti makin lebih besar dari pada yang di Astana Giribangun.
Sejarah bangsa Indonesia tidak lama lagi akan menyaksikan (dan juga membuktikan) bahwa jiwa besar Bung Karno dengan berbagai ajaran revolusionernya akan tetap terus hidup dalam dada atau hati banyak orang dari berbagai kalangan, sedangkan sebaliknya, nama dan sosok Suharto (yang penuh dengan berbagai kejahatan) makin dilupakan. Sukarnoisme masih mempunyai pengikut dan pengagum yang tidak sedikit, tetapi, sebaliknya, orang makin tidak mengenal Suharto.
Inti jiwa Sukarnoisme, dengan ajaran-ajaran revolusionernya untuk membikin perubahan-perubahan besar dan fundamental demi kepentingan rakyat banyak, masih akan terus bisa menjadi senjata bagi orang-orang yang berjuang untuk masyarakat adil dan makmur. Inilah peninggalan besar Bung Karno yang amat berharga bagi bangsa. Sedangkan Suharto (beserta Orde Barunya) hanya meninggalkan dosa berat dan aib besar yang telah dibikinnya terhadap Bung Karno dan rakyat pendukungnya.. Dan, harta haramnya !!!
Paris, 12 Juni 2009
PS. Harap baca juga persoalan tentang wafatnya Bung Karno dalam bahan-bahan berikut :
http://jackoagun.multiply.com/reviews/item/6
http://kapasmerah.wordpress.com/2008/01/22/kartono-muhammad-bung-karno-ditelantarkan/