SADAR
Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi
Edisi: 211 Tahun V - 2009
Sumber: www.prakarsa-rakyat.org
NEOLIB VS KERAKYATAN = TIPU-TIPU ALA CAPRES
Oleh Sarwo Raras *
Hari-hari belakangan, sepertinya rakyat mendapat tempat yang terhormat. Namanya disebut-sebut dalam orasi politik, dijadikan bahan berbagai diskusi dan talk show di televisi dan menjadi label utama yang dipasang dengan sangat jelas dalam kemasan apik para kandidat capres-cawapres. Terlebih sejak koalisi partai-partai peserta pemilu terbentuk, baik yang lolos ambang batas parlemen dengan mendapatkan 2,5 % suara pemilih ataupun yang mendapatkan jumlah suara sangat kecil. Semua merasa berhak mengatasnamakan rakyat, membuat manuver dan bersuara untuk dan atas nama rakyat mempelopori pembentukan koalisi parpol untuk mengusung bakal calon presiden. Hal ini menunjukkan bahwa sejatinya partai-partai peserta pemilu itu tujuannya hanya sebatas berebut kekuasaan atas nama dirinya, meski menggunakan embel-embel demi rakyat, untuk rakyat dan lain-lainnya.
Suasananya menjadi semakin gaduh dan hiruk pikuk ketika koalisi terbentuk, kesepakatan diteken meski tidak dengan suara bulat pertanda perpecahan elit parpol, dibumbui aroma dagang sapi dan pat-gulipat menggunting dalam lipatan. Suasana saling gertak dan ancam, jualan ayat-ayat mengatasnamakan agama dan berbicara seolah-olah mewakili tuhan, berbicara nasib dan masa depan bangsa sampai akhirnya perang kata-kata dan rasa marah karena merasa upayanya gagal setor kader partai. Kira-kira demikian yang dapat kita tangkap dalam hari-hari belakangan pasca pemilu legislatif yang karut marut itu.
Rakyat (jualan) yang utama dalam deklarasi capres
Lalu, apakah kegaduhan berhenti sampai di situ? Ternyata tidak. Pemanasan berikut dipastikan lebih seru ketika kandidat presiden dan wapres menyatakan kepada publik ketetapan hati mereka untuk maju menjadi capres-cawapres dalam deklarasi. Semua menjadikan masa depan bangsa dan nasib rakyat sebagai hal pokok dalam orasi politiknya. Semua menjadikan rakyat sebagai alasan utama bagi mereka untuk menyatakan dirinya siap dipilih menjadi presiden.
Sampai batas akhir yang ditetapkan, akhirnya ada 3 pasangan capres dan cawapres yang menyatakan diri dalam deklarasi yaitu: Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono - Boediono, Jusuf Kalla - Wiranto dan Megawati - Prabowo. Dan ketiganya juga sudah menyatakan deklarasi terbuka sebagai pasangan pemimpin negara yang kelak, ketika terpilih akan memberikan jalan kesejahteraan bagi rakyatnya. Maka, berbagai program diusung, berbagai janji dilontarkan dan berbagai jargon dikumandangkan. Semuanya demi rakyat. Semuanya menjadikan rakyat sebagai barang dagangan yang utama.
Kondisi ini, tentu saja menjadikan kita bertanya-tanya, benarkah mereka memang telah berubah dalam sesaat dan lahir kesadarannya bahwa rakyat memang pihak yang harus diutamakan nasibnya? Pertanyaan ternyata bukan hanya milik rakyat yang namanya paling banyak disebut. Pertanyaan juga muncul di antara mereka sendiri, tentu saja dalam bentuk yang lebih “keras” menjadi saling serang, saling jegal dan saling tuduh. Maka, paska deklarasi para pasangan capres-cawapres itu, babak berikutnya adalah perang urat saraf yang tujuan utama saling jegal, saling menjatuhkan, tidak peduli apakah itu mengandung nilai-nilai pendidikan politik atau hanya sumpah serapah saja.
Kerakyatan vs Neoliberalisme?
Paska deklarasi, yang paling menonjol dan populer menjadi ajang perdebatan adalah konsep ekonomi para calon. Kemudian sekonyong-konyong muncul dua kubu besar yang sengaja dipertentangkan dalam pertarungan kubu neoliberalisme (neolib) dan kubu kerakyatan. Misalnya saja, kubu SBY-Boediono adalah pihak yang paling banyak diserang sebagai kubu yang mewakili kelompok neolib. Pasangan yang deklarasinya di Sabuga, Bandung dan konon menghabiskan dana 5 miliar, dituduh menjadi kekuatan neolib.
Sementara, pasangan Megawati-Prabowo mengklaim dirinya sebagai pihak yang paling berhak menyandang kekuatan pro perubahan dan mengusung ekonomi kerakyatan. Secara simbolik, deklarasi kerakyatannya dilakukan di TPST Bantar Gebang dengan dana konon mencapai 550 juta rupiah.
Pasangan yang relatif adem-ayem yakni JK-Wiranto lebih memilih bermain aman, lebih banyak menyatakan dirinya sebagai pasangan yang juga mewakili rakyat, menjanjikan perubahan lebih cepat dan lebih baik. Sambil melemparkan sentilan-sentilan yang mengkritik kelambanan pemerintah dalam melayani rakyatnya. Aneh, karena Jusuf Kala Sang Capres adalah juga masih menjabat sebagai wapres dalam pemerintahan berkuasa yang dikritiknya. Bukankah itu sama saja dengan menampari muka sendiri?
Lalu, benarkah bahwa mereka memang kekuatan pro rakyat dan bukan wakil neolib? Pendapat ini mungkin bisa menjadi bahan pertimbangan bagi kita tentang apa itu neolib. Jika liberalisme klasik terbatas pada globalisasi pasar, maka neoliberalisme lebih mendasarkan diri pada globalisasi modal. Liberalisme klasik mengenal asosiasi-asosiasi dagang seperti VOC. Neoliberalisme mempunyai jauh lebih banyak lagi perusahaan-perusahaan seperti itu, dengan jaringan berskala internasional. Neoliberalisme bertumpu pada investasi modal besar-besaran ke negara-negara berkembang, pemangkasan subsidi-subsidi sosial, privatisasi BUMN, pembatasan terhadap organisasi-organisasi rakyat.
Sementara simak juga pendapat Ichsanurdin Noorsy yang pada intinya menyatakan bahwa tidak mungkin pemerintah menjalankan kebijakan politik ekonomi kerakyatan karena berdasarkan perjanjian pinjaman luar negeri dengan lembaga-lembaga multilateral, sulit melepaskan diri dari cengkeraman neoliberalisme. Lebih lanjut, ekonom ini menyatakan pemerintahan akan terperangkap dalam jebakan neoliberalisme dengan implementasinya berupa pasar bebas, perdagangan bebas, liberalisasi industri keuangan dan meminimalkan peran pemerintah dalam penyediaan barang dan jasa.
Mengakhiri uraian di atas, maka yang kemudian muncul dalam benak sebagian besar rakyat yang namanya paling sering disebut oleh pasangan capres-cawapres itu adalah ternyata semua calon-calon itu hanya lihai menjadikan dirinya sebagai barang dagangan untuk memoles citra dirinya, merayu rakyat untuk memilih dirinya pada pilpres bulan Juli nanti dan menebarkan ilusi bagi rakyat akan datangnya ratu adil pembawa kesejahteraan.
Rakyat, tentu semakin cerdas dan sadar posisi dirinya dalam pertarungan politik hari ini. Bahwa mereka adalah rakyat yang sadar selama bertahun-tahun telah berhadapan dengan kemiskinan struktural yang dilahirkan karena sistem penindas. Dan rakyat semakin menderita karena hidupnya semakin sempit saja dijepit kebijakan anti kesejahteraan.
Simaklah pendapat Revrisond Baswir yang menyatakan bahwa selama 10 tahun terakhir, Pemerintahan Indonesia adalah pemerintahan pro neolib. Yaitu pemerintahan selalu menyandarkan privatisasi (baca penjualan) BUMN dalam setiap APBN. Dan selama reformasi, terbukti pemerintahan yang ada adalah pemerintahan yang selalu mengurangi subsidi dan bahkan anti subsidi.
Sebagai perbandingan pada tahun pada tahun 2004 jumlah subsidi adalah sebesar 6,3 % dari total PDB. Tapi pada tahun 2007 hanya sebesar 0,3 % dari total PDB (Koran Jakarta, 25 Mei 2009). Pemerintahan Indonesia dalam 10 tahun terakhir berarti di dalamnya termasuk semua pasangan capres-cawapres yaitu Megawati (mantan Presiden), Wiranto (mantan Menkopolkam), Boediono (mantan Menteri Keuangan, mantan Gubernur Bank Indonesia), SBY dan Yusuf Kalla (rezim yang masih berkuasa hari ini).
Catatan rekam jejak menunjukkan semua peguasa itu dalam kekuasaannya adalah penelur kebijakan anti rakyat mulai dari UUK 13 tahun 2003 yang menyengsarakan buruh, UU PMA yang menggadaikan kedaulatan bangsa atau kebijakan lain semisal SKB 4 Menteri yang memangkas upah buruh.
Lalu siapa neolib? Siapa kerakyatan? Ah, sama saja. Mereka hanya maling yang nyaring teriak maling!
* Penulis adalah seorang Ibu Rumah Tangga di Cikampek, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.
** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).
Labels: bulletin sadar