Oleh: M. Ananto Setiawan*


“Tubuh perempuan itu terbaring kaku membiru, dihancurkan oleh sebuah rezim yang takut akan hadirnya kekuatan-kekuatan baru yang dapat menghacurkan tirani yang telah mereka bangun dan akan mengancam kekuasaan mereka. Namun jiwanya tak dapat mereka hancurkan, ruhnya masih terus mengalir di dalam hati dan denyut nadi perlawanan kaum buruh dan rakyat Indonesia menentang ketidakadilan!”

Seperti kebanyakan gadis kecil lainnya, siang itu Marsinah membantu bibinya memasak di dapur seusai pulang dari sekolah. Dan ketika matahari sudah berada tepat di atas kepala, iapun bergegas mengantarkan makanan itu untuk pamannya di sawah. “Dia sering mengirim bontotan ke sawah untuk saya. Kalau panas atau hujan, biasanya anak itu memakai payung dari pelepah pisang,” tutur Suradji, paman Marsinah. Memang sejak kecil Marsinah diasuh oleh nenek dan bibinya, ibu Marsinah sendiri telah meninggal pada saat ia berusia 3 tahun.

Kebiasaan bersahajapun lahir dari seorang Marsinah kecil, tak jarang di tengah waktu luangnya ia berjualan makanan untuk sekedar mendapatkan uang jajan.

Beranjak dewasa, Marsinah mulai mencoba untuk mandiri dengan mondok di kota Nganjuk. Ia melanjutkan pendidikannya di SMA Muhammadyah ketika itu. Di sana ia dikenal sebagai salah seorang siswi yang cerdas, bahkan kerap mengukir prestasi.

Semangat belajarnya yang tinggi serta hobinya membaca telah menghantarkan ia mendapatkan peringkat juara kelas. Banyak guru dan teman-teman sekolahnya, masih mengingat betul sosok seorang Marsinah muda yang rajin dan bersahaja itu. Di mata mereka kala itu, Marsinah muda bukan saja sosok seorang siswi yang cerdas dan berprestasi, namun juga kesetiakawanannya terhadap beberapa teman membuat ia tak mudah untuk dilupakan. Semenjak SMA, Marsinah bercita-cita melanjutkan pendidikan untuk menjadi seorang sarjana hukum.

Namun kenyataan berkata lain, garis kemiskinan yang luar biasa telah menyeret Marsinah muda dan cita-citanya ke dalam kantong-kantong penghisapan kala itu. Selepas lulus SMA, Marsinah tidak bisa langsung melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi untuk menggapai cita-citanya. Ia dipaksa berserah pada kemiskinan dan biaya pendidikan yang sangatlah mahal bagi seorang Marsinah. Namun bagi seorang Marsinah dan semangat belajarnya yang tinggi itu bukanlah hal teramat berat baginya, kini ia memutuskan untuk mulai mencari pekerjaan agar dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi seperti yang ia cita-citakan.

Inilah babak baru kehidupan seorang Marsinah, kini ia bersentuhan langsung dengan kerasnya kehidupan di tengah-tengah deru mesin industri. Puluhan kilometer ia berjalan meninggalkan desanya, membawa sebuah harapan akan kehidupan yang lebih baik. Keputusan untuk meninggalkan desanya itu bukanlah tanpa alasan, mengingat kesempatan kerja yang sangat sempit di desanya.

Di tempat asalnya, Nganjuk, sebagian besar mata pencaharian penduduknya adalah bertani. Namun kini ditambah perkembangan teknologi yang semakin pesat, sudah barang tentu ikut mengurangi kebutuhan akan tenaga kerjanya. Peluh-peluh keringat itu kini telah berganti rupa menjadi traktor-traktor dan alat-alat yang lebih efesien. Buruh tanipun telah semakin tersingkirkan, dan dipaksa pindah beratus-ratus kilometer untuk dapat menyambung hidupnya.

Langkah Marsinah kini terhenti di depan sebuah meja personalia pabrik sepatu di Surabaya dan memulai kehidupannya sebagai seorang buruh perempuan di pabrik tersebut. Seperti halnya perempuan-perempuan desa yang lain, yang juga terpaksa turun ke kantong-kantong industri karena kemiskinan yang semakin menggerus kehidupannya di desa.

Setidaknya, inilah harapan mereka satu-satunya agar dapat bertahan hidup dan membantu menggerakkan roda perekonomian keluarganya. Hingga setahun berlalu, akhirnya ia memutuskan untuk pindah ke pabrik arloji Empat Putra Surya di Rungkut Industri, sebelum akhirnya ia pindah mengikuti perusahaan tersebut yang membuka cabang di Siring, Porong, Sidoarjo. Saat itulah Marsinah akhirnya bertemu dengan keadilan yang nampaknya jauh dari mereka kaum-kaum buruh dan rakyat miskin.

Kegetiran hidup nyatanya tidaklah membuat api semangat Marsinah menjadi padam. Di tengah perjuangannya untuk bertahan hidup, Marsinah masih menyisakan sedikit harapannya untuk melanjutkan pendidikan. Cita-citanya untuk menjadi seorang sarjana hukum tak bisa terbendung oleh kerasnya kehidupan di tengah mesin-mesin industri. Hal inilah yang membuat seorang Marsinah dengan tekad dan keberaniannya berusaha keras untuk menuntut hak atas upah dan keadilan baginya juga rekan-rekannya sesama buruh di tempat ia bekerja. Hingga akhirnya keberanian dan tekadnya tersebutlah yang menghantarkan Marsinah ke dalam perjuangan, yang ternyata belum juga berakhir hingga hari ini.

Keberhasilan Marsinah mengorganisir rekan-rekannya sesama buruh di tempat ia bekerja untuk menuntut upah layak sebagaimana yang ditetapkan oleh gubernur kala itu, telah menghantarkan Marsinah ke depan moncong-moncong senjata represif militer Orde Baru. Memang seperti itulah kenyataannya waktu itu. Buruh hanya dianggap sebagai sapi-sapi perahan yang dapat diperas tenaganya dengan harga yang murah. Tak ada keadilan bagi para buruh, merekapun dilarang membentuk serikat-serikat untuk memperjuangkan hak mereka.

Aparatus negara yang seharusnya membela kepentingan rakyatnya hanya mau berpihak kepada mereka-mereka para pemilik modal. Dengan siap sedia mereka memberangus hak-hak buruh dan rakyat demi kepentingan mereka sendiri. Bila ada buruh yang berani membentuk serikat atau melakukan aksi protes terhadap kebijakan perusahaannya, tak pelak mereka dicap sebagai PKI atau bahkan mendapatkan perlakuan yang tak manusiawi oleh pihak keamanan, TNI dan Polisi.

Lagi-lagi hal tersebut tak mampu menyurutkan semangat Marsinah untuk merebut kembali haknya, hingga ia bersama rekan-rekanya melakukan aksi unjuk rasa pada tanggal 4-5 Mei 1993. Mereka mengajukan 12 tuntutan terhadap manajemen PT. CPS tempat ia bekerja. Seluruh buruh ikut berunjuk rasa waktu itu, tak ketinggalan para pihak keamanan yang mengibas-ngibaskan tongkat pemukulnya dan merobek poster-poster dan spanduk para pengunjuk rasa sambil meneriaki mereka sebagai PKI.

Sebuah stigmatisasi yang dilahirkan oleh sebuah rezim yang fobia terhadap komunis, karena takut akan timbulnya kekuatan-kekuatan baru yang dapat menghancurkan tirani yang mereka bangun dan mengancam kekuasaan mereka. Tak pelak semua hal yang bertentangan dengan kepentingan penguasa dianggap sebagai kegiatan subversif dan dicap PKI. Tentunya hal tersebut tak ada hubungannya sama sekali dengan apa yang dilakukan oleh Marsinah dan kawan-kawannya yang menuntut hak mereka.

Namun perjuangan Marsinah dan kawan-kawannya untuk menuntut hak mereka tak cukup berhenti sampai di situ. Pada keesokan harinya tanggal 5 Mei 1993, 13 orang buruh dipanggil Kodim Siduarjo terkait aksi unjuk rasa yang mereka lakukan kemarin. Di sana ke-13 buruh tersebut diintimidasi dan mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi oleh pihak tentara, dan dipaksa menandatangani surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Sangatlah tidak masuk akal, melihat bagaimana pemutusan hubungan kerja tersebut justru dilakukan di Kodim Sidoarjo. Pertanyaan besarpun terlontarkan, apa hak tentara untuk memaksa mereka melakukan pemutusan hubungan kerja tersebut? Apakah hal tersebut sudah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di negeri ini?

Mendengar hal tersebut, Marsinah memutuskan mendatangi sendiri Kodim Sidoarjo untuk menanyakan hal tersebut. Sampai akhirnya pada tanggal 9 Mei 1993, Marsinah ditemukan tewas di sebuah gubuk tua di hutan Dusun Jegong, Kecamatan Wilangun, Nganjuk, dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat. Di sekujur tubuhnya penuh luka memar bekas pukulan benda keras. Kedua pergelangannya lecet-lecet, mungkin karena diseret dalam keadaan terikat.

Pada perutnya terdapat luka bekas tusukan benda runcing sedalam 20 sentimeter. Tulang panggulnya hancur karena pukulan benda keras berkali-kali. Selain itu, selaput daranya robek, dan tulang kelamin bagian depannya hancur. Ia diduga tewas sehari sebelumnya. Marsinah telah dihancurkan oleh mesin represif Orde Baru yang takut kehilangan hegemoni kekuasaanya.

Sebuah kenyataan yang miris, melihat seorang buruh perempuan yang dengan begitu bengis dibunuh oleh sebuah ketakutan rezim pengecut yang berkuasa kala itu. Berbagai dagelan barupun digulirkan untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi pada Marsinah sesaat sebelum ia ditemukan tewas, mulai dari alibi perkosaan hingga konspirasi peradilan maha dahsyat ala militer Orde Baru ikut dimainkan.

Peradilan sesat digelar di Pengadilan Negeri Sidoarjo mengarahkan dugaan bahwa tewasnya Marsinah diakibatkan oleh pemerkosaan dan dimasukkan dalam tindak kriminal umum. Hal ini tentunya dimaksudkan untuk menutup-nutupi tentang siapa dan mengapa pembunuh Marsinah sebenarnya. Namun bukti-bukti forensik menunjukan hal yang lain, desakan dari para aktivis LSM, mahasiswa, dan buruh akhirnya berhasil menunjukkan adanya rekayasa dalam kasus terbunuhnya Marsinah.

Kali ini konspirasi peradilan ala militer Orde Baru ikut dimainkan. Beberapa orang petinggi PT. CPS dengan paksa dan tanpa prosedur resmi diangkut menuju Kodam V Brawijaya. Di sana mereka mengalami intimidasi dan siksaan fisik maupun mental. Satu per satu petinggi PT.CPS tersebutpun diinterogasi dan dipaksa mengakui telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Hingga 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah.

Sangat terlihat adanya rekayasa oknum aparat Kodim untuk mencari kambing hitam pembunuhan Marsinah. Pada proses peradilan mereka dinyatakan bersalah, namun akhirnya dibebaskan kembali melalui Kasasi oleh Mahkamah Agung RI. Putusan tersebut setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah direkayasa.

Hingga hari ini tidak pernah terungkap siapa sebenarnya pembunuh Marsinah dan atas alasan apa Marsinah dibunuh. Tak satu orangpun mampu diseret ke pengadilan yang penuh dengan mafia dan rekayasa itu. Keadilan di negeri ini nampaknya telah ditenggelamkam ke dalam lautan kekuasaan beserta para korban-korbannya. Meskipun begitu, kita dan seluruh rakyat Indonesia pastinya sudah tahu mengapa dan siapa pembunuh Marsinah itu. Merekalah yang membunuh Marsinah, mereka para pemilik kekuasaan beserta aparatus-aparatus negaranyalah yang telah membunuh seorang Marsinah. Ketakutan akan kekuatan yang mampu merobohkan tirani yang telah mereka bangun, telah menyebabkan dengan bengisnya mereka menghancurkan seorang buruh perempuan yang mencoba menuntut hak-haknya.

Mungkin Marsinah telah tewas dalam perjuangannya, namun Marsinah-Marsinah baru akan terus lahir di negeri ini, manakala ketidak-adilan dan kesewenang-wenangan masih terus berkecamuk dan menggilas buruh dan rakyat Indonesia. Perjuangan Marsinah belumlah berakhir, ruhnya akan terus mengalir di dalam hati dan setiap denyut nadi perjuangan kaum buruh dan rakyat Indonesia menentang ketidakadilan. Karena di negeri ini keadilan bagi buruh masih jauh dari tempatnya, keadaan buruh masihlah sangat memprihatinkan. Ditambah dengan kebijakan para elite penguasa yang kesemuanya menguntungkan kepentingan pengusaha dan tidak berpihak kepada buruh. Tidak adanya jaminan sosial, sistem kerja kontrak, perampasan upah melalui outsourcing, tidak adanya perlindungan bagi kaum buruh, hingga PHK besar-besaran masih terus menghantui kehidupan buruh di Indonesia.

Kemiskinan yang semakin merajalela, fasilitas kesehatan yang semakin mahal, pendidikan yang telah dikomersialisasikan, hingga kesejahteraan yang semakin jauh terasa bagi rakyat Indonesia adalah buah dari rezim neoliberal yang berkuasa hari ini. Bangsa Indonesia sedang menuju ambang kehancurannya. Runtuhnya rezim otoritarian Orde Baru tak serta-merta membawa perubahan bagi rakyat Indonesia, yang terjadi hari ini hanya pembaruan wajah otoritarianisme di dalam basis klaim politik baru, reformasi. Sifat-sifat kerakusan dan ketamakannya masih terlihat jelas hingga hari, dan juga keadilan masih jauh terasa bagi rakyat Indonesia.

Kita telah menjadi saksi ketidakadilan telah melahap rakyat-rakyat kecil. Keberanian seorang buruh perempuan bernama Marsinah untuk menuntut hak-haknya dan memperjuangkan nasib kawan-kawannya telah membuka mata kita, bahwa keadilan di negeri ini bukan untuk dipinta atau dituntut, tapi harus direbut kembali dari tangan-tangan mereka yang telah merampasnya dari kita. Perjuangan panjang itupun sudah dimulai oleh Marsinah, dan kitalah yang harus terus melanjutkannya. Singkirkanlah segala perbedaan kepercayaan, agama, perspektif maupun ideologi. Seperti yang pernah dikatakan Marsinah, “Buruh belum mendapatkan keadilan sejati dari pemerintah. Buruh harus menyatukan kekuatannya. Buruh harus bersatu, buang kepentingan individu, dan kedepankan kepentingan buruh dan rakyat.”


* Penulis tergabung dalam Sahabat Munir, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment