Oleh Hadi Purnomo *

Dalam sejarah Indonesia, pemilu yang dilakukan semenjak tahun 1955 hingga sekarang terhitung sudah sembilan kali bangsa ini menggelar pesta demokrasi yang terbagi dalam tiga fase kekuasaan. Fase kekuasaan pemerintah Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi. Lantas dalam tiga fase pertarungan politik nasional di manakah peran dan posisi kaum buruh? Mengapa kaum buruh belum tampil menjadi seorang pemimpin padahal kalau dilihat secara kuantitas jumlah buruh di negeri ini adalah mayoritas? Mengapa justru militer yang sering memegang kendali dalam republik ini? Apakah benar stigma sosial yang berkembang dalam masyarakat bahwa meski menang secara kuantitas tetapi tetap saja buruh itu miskin, bodoh dan tidak akan mungkin sanggup mengerjakan tugas-tugas politik dan kenegaraan? Label sosial lainnya menyatakan bahwa politik hanya untuk orang kaya saja karena orang kaya sudah tentu pandai dan tidak mungkin korupsi karena ia berangkat dari harta yang sudah berlimpah.

Kalau kita menganalisa lebih dalam maka akan kita banyak temukan ketimpangan dan keruwetan dalam sistem politik dan pemilu di negara ini. Sistem politik dan pemilu memang sengaja didesain bukan untuk memenangkan kepentingan kelas buruh atau juga elemen rakyat tertindas lainnya. Biaya yang mahal dalam sistem politik membuat kaum buruh memang tersingkir dari kancah pertarungan politik yang disediakan oleh negara yaitu pemilu. Kaum buruh juga dibodohkan dan dibuat buta oleh kondisi politik yang ada. Kaum buruh hanya dibuat sebagai tempat propaganda dan kampanye yang berisikan janji-janji dan pada saatnya ketika terpilih dan memerintah kaum buruh dilupakan begitu saja. Lantas pertanyaannya kalau analisa sederhana ini benar maka siapa yang bermain dan mengambil untung dalam keruwetan dan mahalnya ongkos demokrasi di negara ini atau dengan kata lain kalau bukan untuk kaum buruh maka sistem politik dan Pemilu mewakili kepentingan kelas yang mana?.

Masih segar dalam ingatan bangsa ini ketika pada pemilu 1997 dimenangkan kembali oleh partai Golkar yang juga untuk kesekian kalinya mengusung kepemimpinan rezim Soeharto semenjak kejatuhan pemerintahan Soekarno karena peristiwa 1965. Ternyata kemenangan kekuatan Orde Baru dalam Pemilu 1997 tidak bisa bertahan lama. Gelombang krisis membelit bangsa ini. Banyak perusahaan tutup dan diikuti dengan PHK massal. Orang kaya yang menjadi miskin pun juga tak terhitung, di sisi lain kebutuhan pokok membumbung tinggi dan kondisi tersebut memaksa rakyat dan mahasiswa kembali turun ke jalan secara besar-besaran. Mereka mengusung agenda nasional yang harus diselesaikan yaitu reformasi. Gerakan reformasi yang bergulir besar disertai dengan bentrok massa rakyat dengan aparat dan pada akhirnya berhasil memaksa Soeharto untuk mundur dari kekuasaan yang telah dinikmatinya selama tiga puluh dua tahun.

Pada tahun 1999, pemilu pertama setelah kemenangan reformasi pun diselenggarakan di masa pemerintahan transisi Presiden Habibie. Banyak partai-partai baru bermunculan. Wajah pemilu pun berganti menjadi multi partai dan tidak dibatasi seperti pada Pemilu tahun 1955. Para elit politik saat itu seperti Megawati, Gus Dur, Amien Rais maju ke gelanggang kekuasaan. Lantas, bagaimanakah dengan nasib kaum buruh waktu itu?

Tahun-tahun setelah reformasi justru menjadi awal penindasan baru bagi kaum buruh. Tiga paket Undang-Undang Ketenagakerjaan yang merupakan kepentingan kapitalisme internasional telah ditetapkan dengan kedok globalisasi dan peningkatan investasi untuk mengatasi krisis ekonomi yang mencengkeram negeri ini. Kini sistem kerja kontrak dan outsourcing menjadi legal dan dilindungi oleh undang-undang. Lagi-lagi buruhlah yang membayar mahal untuk satu bentuk penindasan baru yang ironisnya justru lahir dari buah perjuangan reformasi. Kondisi ini telah membawa bangsa kita masuk ke dalam mazhab ekonomi neoliberalisme. Reformasi telah gagal mengembalikan kekuasaan untuk kesejahteraan rakyat. Pemilu digunakan untuk menidurkan gerakan perlawanan. Kaum buruh dibuai oleh mimpi-mimpi kemenangan dengan sistem demokrasi yang semu dan secara tidak sadar kapitalisme telah merampok kekayaan alam negeri ini. Buruh tetap menjadi budak di negerinya sendiri.

Pemilu pada hakikatnya adalah tempat bertemunya rakyat sebagai pemilik kekuasaan dengan partai-partai sebagai penerima mandat politik. Mereka bertemu untuk bersepakat memberikan mandat kekuasaan atau kontrak politik selama satu periode untuk menjamin keberlangsungan hidup dan kesejahteraan rakyat selaku pemberi mandat. Buruh sektor formal maupun informal dalam struktur keberagaman jenis pekerjaan rakyat Indonesia menduduki peringkat tertinggi atau kelas yang mendominasi. Harusnya pemilu paska kekalahan rezim Orde Baru di bawah kediktatoran Soeharto memberi banyak manfaat terhadap kehidupan kaum buruh.

Namun yang terjadi dapat kita lihat dari kebijakan-kebijakan perburuhan yang lahir dari proses politik di negeri ini setelah reformasi. Sistem kerja kontrak dan outsourcing bukan merupakan kepentingan untuk mensejahterakan kaum buruh. Sistem kerja kontrak justru melemahkan posisi tawar buruh ketika berhadapan dengan kekuatan modal dan itu berarti hilanglah hak normatif akan kesejahteraan yang juga telah diatur di dalam undang-undang. Kontradiksi ini diciptakan dengan sengaja dan telah membuat ilusi yang nyata. Sama halnya dengan proses demokrasi yang memberi harapan kosong dan yang ada hanya perbudakan bentuk baru dan telah dilegitimasi atas nama demokrasi.

Lantas di manakah peran dan posisi serikat-serikat buruh progresif dalam pertarungan politik? Serikat buruh mempunyai peran yang penting dalam usaha mengembalikan sistem demokrasi yang semu untuk kembali kepada hakikatnya. Serikat buruh adalah tempat bertemunya kegelisahan-kegelisahan yang menggelayuti kehidupan kaum buruh. Serikat buruh juga tempat sekolah politik bagi kader-kader aktivis buruh sehingga lontaran bahwa buruh itu bodoh dan tidak layak dalam memimpin negara bisa terhapuskan. Sudah saatnya kaum buruh tidak hanya duduk dan memilih kertas berisi wajah yang dipoles agar terlihat bagus. Wajah-wajah itu hanya menemui buruh menjelang musim pemilihan dengan sejuta janji-janji palsu. Tetapi kini kaum buruh harus bangkit berani maju untuk merebut kepempinan politik karena hanya dengan berkuasalah kaum buruh mampu merubah kebijakan-kebijakan yang selama ini menindas.

Untuk mewujudkan itu semua tentu saja tidak akan cukup hanya dengan serikat buruh karena banyak juga kaum yang tertindas oleh sistem bukan hanya kaum buruh. Buruh harus bisa melihat posisinya dalam lingkaran masyarakat sehingga mampu mengkonsolidasi dan mengorganisir kaum-kaum tertindas seperti tani, nelayan, kaum miskin kota dan pemuda-mahasiswa progresif. Konsolidasi ini bermuara dalam satu wadah front politik multi sektor sehingga mampu menyeimbangkan posisi politik kelas tertindas dengan penguasa dan kekuatan modal.

Maka penting bagi serikat buruh untuk terus-menerus konsisten melakukan propaganda dan pendidikan politik bagi kaum buruh. Masa depan perubahan bisa dilakukan ketika kaum buruh terdidik dan terpimpin dalam serikat buruh progresif. Ketika masanya nanti diharapkan ada sebuah peleburan kekuatan rakyat tertindas yang terjadi secara dialektika menjadi partai politik kelas dan hanya kaum buruhlah yang mampu memimpin perubahan itu.

Momentum pemilu baik legislatif maupun presiden merupakan moment politik yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Tingginya angka golput dalam setiap pemilu, baik pileg, pilpres maupun pilkadal merupakan satu peluang yang harus diorganisir secara terus-menerus. Tingginya angka golput adalah bentuk kesadaran rakyat akan kebohongan politik selama ini. Sehingga dalam prakteknya mampu menciptakan oposisi sosial. Kekosongan ruang inilah yang harus mampu dimanfaatkan secara baik oleh gerakan buruh sehingga kaum buruh tidak lagi dibodohkan oleh sistem. Mereka harus bergerak untuk melakukan perubahan apalagi sekarang dengan adanya otonomi daerah yang berarti kekuasaan tidak lagi terpusat di Jakarta.

Peluang untuk merebut kekuasaan semakin terbuka lebar maka perlu bagi gerakan buruh untuk mulai membangun front politik multi sektor sebagai embrio partai kelas dan mulai diarahkan untuk merebut ruang-ruang kekuasaan politik baik di pusat maupun daerah. Tanpa kekuasaan politik sulit bagi kaum buruh untuk merubah kebijakan karena kebijakan adalah produk politik dan hanya kepemimpinan politik di tangan kaum buruhlah cita-cita kesejahteraan sosial bagi rakyat secara adil dan merata akan dimenangkan.

* Penulis adalah Pengurus Serikat Buruh Kerakyatan (SBK) Surabaya, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Timur.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment