Oleh : Andika *


“Sejak tanggal 10 Februari 2011 masyarakat Peura bersama-sama membangun tenda di lokasi tower sutet sebagai bentuk penyampaian aspirasi. Selain itu, pembangunan tenda tersebut juga dimaksudkan untuk menjaga dan memastikan tidak ada pekerjaan yang dapat dilakukan pihak kontraktor di lokasi. Baik pengangkutan material, pekerjaan pondasi apalagi pendirian tower. Setiap hari tenda berukuran 3 x 6 meter ini dijaga oleh 15–20 orang laki-laki dan perempuan secara bergantian dan diatur jadwalnya baik siang dan malam. Warga merelakan meninggalkan kebun dan sawahnya untuk perjuangan penolakan pembangunan tower ini yang memang sangat beralasan.” (Betti, Petani Peura)

Bukan hanya minggu, juga bulan, tapi telah bertahun-tahun perempuan itu tak lagi tidur nyenyak di malam hari. Siang pun demikian, wajahnya yang nampak pucat mewakili tubuhnya yang tak terlalu kekar telah menitipkan tanah garapannya pada seorang  lelaki, saudara kandung. Lantaran, separuh penduduk desa menitipkan “segunung tanggung jawab” padanya. Ia adalah Betti, perempuan ini sedang berusaha jadi penyambung lidah keresahan warga sekampung, desa Peura. Lantaran itu, ia pun kini telah pandai menulis surat, menyatakan kecaman moral, walaupun mungkin, tak terlalu memikat bagi para akademisi, apalagi si pembuat Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).

Betti sebutan wanita di atas tentu jadi pertanyaan? Yang tak mungkin bersaudara dengan kabel listrik, apalagi tower, yang senyawa baja. Orang lain boleh berkata dan membicarakan adanya manfaat atau tidak. Bagi warga Peura, menolak pembangunan tower yang melintasi desa mereka merupakan manifestasi hidup, yang secara sederhana tak memerlukan banyak teori, apalagi fatwa untuk membenarkannya. Lebih jelas lagi, Ibu Betti berkata, ”Tanam tower tidak sama dengan tanam pohon pisang. Kalau pohon pisang sewaktu-waktu bermasalah, atau berdampak, dengan mudah saja pindahkan, kalau tower sutet yang sudah beraliran listrik bermasalah, bagaimana cara memindahkannya?”

Sembari mengusap-ngusap matanya yang digenangi air, sesekali juga memijit jidat. Itu bukan sebuah pandangan drama, malam itu bersama Sinto, Betti mendatangi kami yang tengah berkumpul di sebuah kantor LSM lokal Tentena. Kebetulan drama menegangkan sedang berusaha diorbitkan oleh para tetua mesin, calon-calon juragan listrik, yang tanpa permisi seenaknya menganiaya sungai Sulewana. Siang hari pertemuan kesekian kalinya antara pihak PT Poso Energy dengan masyarakat Peura dilakukan.

Naasnya, kali ini perusahaan tak lagi berbujuk rayu dan bermanis komitmen, tapi justru berusaha membangun suasana tak sedap. Warga diprovokasi dengan upah Rp 35.000 untuk sehari angkat material, yang ditahan warga di pintu desa. Bukan hanya itu, uang ini juga telah berhasil membangun kelompok drum band tanpa latihan, berjalan seirama, sambil memukul ember. Sebagai sebuah petanda konfrontasi pada kelompok penolak pembangunan tower. Tidak hanya itu, di pintu desa juga dipasang sebuah spanduk atas nama warga Peura, cetakan printing bertulis, ”LSM dilarang masuk karena telah menciptakan dishamorniasi dan memecah persatuan antar warga.”

Sejak tahun 2006, saat masa-masa konflik bermasker agama mulai reda, di tanah Poso kawat-kawat telah diulur memanjang dari arah hulu sungai. Melintasi pepohonan khas hutan tropis, yang nampak seakan-akan jadi spesies baru di bibir danau Poso. Itu adalah instalasi listrik, Poso Energy memilikinya secara mutlak setelah para pejabat Sulawesi Tengah memberikan konsesi bendung air (DAM) bagi produksi energi perusahaan keluarga Kalla tersebut.

Dan sejak itu pula, rencana pelintasan transmisi di dalam perkampungan Peura dipaksakan oleh Poso Energy. Alasan ekonomi tentu saja, konon kabarnya miliaran rupiah akan ditelan percuma oleh Poso Energy jika hendak memindahkan tower seperti saran warga Peura. Inilah ciri khas investasi yang katanya padat modal, tak ingin berencana rugi, sekalipun jiwa penduduk dianggap tak lebih mahal apalagi sepadan dengan gulungan kawat, atau pun rangka baja yang menuding ke langit.

Proyek yang telah memperkosa hak ulayat warga Pamona secara murah tanpa kompensasi ini, tak pernah menyodorkan fakta temuan Amdal, apalagi memberikan pengakuan aspirasi pada warga Peura. Sejauh ini Ibu Betti dan kawan-kawan dibawa dalam komunikasi negatif khas Public Relations (PR) meliputi: pertemuan ke pertemuan, ancaman pidana, pencemaran nama baik, dan saling sikut antar warga. Dan sama sekali tidak peduli dengan alasan-alasan sosial penolakan warga.

Bagaimana dengan pemangku jabatan pemerintahan? Mungkin ini sudah pertanyaan usang bagi pencari keadilan seperti Ibu Betti. Ke mana lagi aspirasi ini akan dibawa? Jika saja tak dituduh sebagai provokator dengan ancaman pasal-pasal, mungkin negara tak lagi merasa punya hubungan dengan rakyat. Sebab, tanggal 2 Maret yang lalu, Bupati Poso beserta 10 anggota TNI dan beberapa anggota kepolisian serta Polisi Pamong Praja membersihanka aksi protes warga. Para kaum ibu yang sudah tua renta duduk di jalan menghadang mobil material, diseret-seret oleh aparat keamanan. Sebuah tindakan brutal yang tak perlu pembuktian untuk menunjuknya sebagai bentuk pelanggaran HAM.

Untung sekali bagi mereka yang dilahirkan di tanah itu, desa Peura, mereka telah memahami betapa penguasa (modal-politik) negeri ini setiap waktu hanya menyuburkan penderitaan. Maka kita yang masih menjadi manusia tak perlu banyak analisis untuk mendukung perjuangan ini, cukup bertanya saja, solidaritas apa yang sudah kita lakukan bagi warga Peura?


* Penulis adalah Manager Kampanye dan Riset Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Sulawesi Tengah.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment