main |
sidebar
Oleh : Suratmi Anung *
Juli 2010, pemerintah secara resmi menaikkan tarif dasar listrik (TDL) untuk penggunaan di atas 1000 Kwh. Kenaikan berkisar 10% itu lagi-lagi dengan alasan untuk menekan angka subsidi dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atas kerugian PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN). Untuk itu pula, pemerintah tidak henti-hentinya menghimbau masyarakat berhemat dalam penggunaan tenaga listrik.
Dengan naiknya TDL, maka dengan sendirinya akan menimbulkan dampak yang cukup luas. Khususnya untuk kebutuhan pokok sehari-hari, sudah lebih dulu naik ketika kenaikan TDL diwacanakan “pasti naik” oleh pemerintah. Jadi sebelum TDL naik, khususnya rakyat kalangan bawah sudah bertambah beban hidupnya lebih dulu. Sementara bagi pelaku industri (pengusaha) juga berteriak sangat keberatan dengan naiknya TDL dan berharap pemerintah untuk menundanya, keberatan yang disampaikan karena dinilai akan menyulitkan pengusaha yang kemudian harus menambah beban biaya produksi dan harus kembali menyesuaikan antara pendapatan dengan pengeluaran.
Dalam hal ini, saya memiliki pandangan atas keberadaan pelaku industri. Karena dengan naiknya TDL, kalangan pengusaha tentu tidak tinggal diam. Pengusaha bisa dengan sangat mudah meminta kepada pemerintah untuk memberikan kompensasi atau fasilitas kemudahan yang berhubungan dengan usahanya. Fasilitas tersebut bisa dalam bentuk pengurangan biaya pajak, mungkin juga sampai dengan besaran kenaikan upah buruh untuk 2011 yang tidak boleh melebihi dari 6% seperti kenaikan upah untuk tahun 2010. Mengenai kenaikan upah buruh untuk tahun 2011, bisa jadi terbukti tidak lebih dari 6%. Hal tersebut diduga telah dibicarakan oleh Dewan Pengupahan Nasional dan Dewan Pengupahan Propinsi/Kabupaten/Kota, di pertemuan awal Juli 2010 yang difasilitasi oleh Pemerintah.
Kedua fasilitas tersebut yang dimintakan kepada pemerintah oleh kalangan pengusaha, sudah sangat lazim dan seringkali dilakukan oleh pengusaha serta pada prakteknya pun pemerintah mengabulkan. Alasan pemerintah mengabulkan permintaan kalangan pengusaha pun sangat sederhana, yakni demi keberlangsungan usaha, menjaga stabilitas ekonomi, menghindari pemutusan hubungan kerja (PHK) massal agar angka pengangguran tidak semakin besar.
Namun, pemerintah mengabaikan dampak dari kenaikan TDL terhadap keberlangsungan hidup kaum buruh. Secara otomatis, kebutuhan-kebutuhan hidup kaum buruh pun bertambah, di antaranya adalah biaya kebutuhan makan sehari-hari, biaya sewa tempat tinggal, biaya pendidikan anak, biaya kesehatan dan biaya-biaya lainnya yang terkadang tidak dapat di duga-duga. Sementara upah yang didapat sampai dengan saat ini masih rendah, masih sebatas upah minimum dan masih ada juga buruh yang upahnya di bawah standar minimum. Dengan naiknya TDL, benar-benar membuat buruh seperti disengat oleh tegangan listrik tinggi namun tidak langsung mematikan, tapi secara perlahan-lahan darahnya habis.
Seharusnya, pemerintah sadar dan memperhatikan kepentingan kaum buruh beserta keluarganya. Pemerintah semestinya memperhitungkan dampak dari kenaikan TDL tersebut, kemudian memberikan solusi yang terbaik. Sehingga beban hidup buruh dan keluarganya tidak semakin bertambah berat, tetap stabil dan seimbang. Semisal, memperhatikan biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh buruh untuk anak-anaknya. Saat masa tahun ajaran baru sekolah, walaupun dikatakan bahwa sekolah gratis bukan berarti tidak mengeluarkan biaya. Biaya tetap saja dikeluarkan, untuk beberapa kebutuhan seperti pembelian pakaian seragam dan lain-lain yang nilainya berkisar Rp 125.000 (untuk SMP Negeri). Pertanyaannya kemudian, berapa besar biaya yang harus dikeluarkan oleh buruh jika anaknya tidak mendapat sekolah negeri? Bisa dipastikan biaya akan membengkak lebih besar lagi.
Bagaimana dengan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat kita? Sikap para anggota dewan adalah sama dengan pemerintah. Mereka pun menyetujui kenaikan TDL tanpa memperhatikan dampaknya kepada keberlangsungan hidup kaum buruh beserta keluarganya.
Jika para anggota dewan tidak menyetujui kenaikan TDL, seharunya mereka tidak tinggal diam atau setidaknya ada sebuah upaya yang dilakukan secara nyata serta dapat dinikmati oleh masyarakat khususnya untuk kaum buruh. Tapi kita bisa ketahui apa yang dikerjakan oleh para anggota dewan untuk rakyat (kaum buruh) atas kenaikan TDL, mereka asyik dengan dirinya sendiri berdebat demi kepentingan partainya masing-masing dan tidak berdebat untuk kepentingan rakyat dengan menghasilkan produk kebijakan yang pro-rakyat.
Memperhatikan sikap lembaga eksekutif dan legislatif tersebut, bagi saya yang juga bekerja di sebuah konveksi pakaian jadi (industri rumahan) plus sebagai ibu rumah tangga, adalah hal yang tidak aneh lagi. Karena dominasi kalangan pengusaha dan dominasi kepentingan pengusaha yang besar mengisi di ruang-ruang politik, sehingga kepentingan untuk kalangan rakyat miskin terabaikan dan tersingkirkan. Dengan kondisi demikian, kaum buruh serta rakyat miskin lainnya tidak perlu lagi menaruh harapan kepada mereka. Janji-janji manis kampanye pemilu yang lalu, saat ini terbukti kebohongannya.
Oleh karenanya, sudah sepatut dan selayaknya kesadaran masyarakat khususnya kaum buruh harus terus dibangun untuk menjadi lebih kritis, baik melalui brosur-brosur atau selebaran. Kalau pun hari ini belum bisa melakukan perubahan yang lebih besar, setidaknya kita masih punya cukup waktu untuk berbuat sampai dengan 2014. Pemilu 2014 nantinya, sudah harus mampu memberikan warna sendiri dengan menempatkan kaum buruh dan rakyat miskin berada di wilayah politik praktis melalui partainya sendiri, tidak memberikan atau menitipkan suaranya kepada partai-partai politik yang notabene tidak mengerti keberadaan dan kebutuhan rakyat miskin seperti sekarang ini.
* Penulis adalah ibu rumah tangga dan buruh konveksi rumahan di Jakarta Utara, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.
** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).
0 Comments:
Post a Comment