main |
sidebar
Oleh Akbar Rewako *
Pesta demokrasi –pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden/wakil presiden– di Indonesia telah berlalu. Meskipun pemilu telah usai tetapi masih ada pertanyaan yang tersisa yaitu apakah partai politik, anggota legislatif, presiden/wakil presiden terpilih dapat merealisasikan janji-janjinya terutama soal pembangunan demokrasi di Indonesia? Apakah rakyat mampu melakukan kontrol dan pengawasan terhadap anggota legislatif dan presiden/wakil presiden yang mereka pilih?
Pertanyaan tersebut muncul sebagai respon macetnya proses demokratisasi yang partisipatif di Indonesia. Demokrasi di Indonesia selama ini berjalan dan dimaknai hanya pada tataran formalitas-prosedural seperti pelaksanaan pemilihan umum, partai politik yang semakin banyak, pemilihan kepala daerah secara langsung dan sebagainya. Pesta demokrasi seperti pemilihan umum yang telah dilaksanankan bulan April dan Juli lalu, seakan-akan menjadi bukti bahwa Indonesia sudah demokratis. Padahal, pemilihan umum hanya bagian kecil dari prinsip demokrasi. Prinsip demokrasi yang utama adalah ketika terjadi partisipasi dan kontrol masyarakat dalam sistem ekonomi, politik dan pemerintahan.
Teori demokrasi konvensional menyebutkan bahwa demokrasi merupakan pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Rakyat mempunyai peranan penting dalam sistem pemerintahan. Akan tetapi, keterlibatan rakyat dalam proses politik dan pemerintahan di Indonesia pemaknaannya masih sempit – demokrasi formalitas – seperti pemilu dan pilkada. Masyarakat terlibat dalam sistem politik hanya terbatas pada saat kampanye dan pencoblosan/pencontrengan. Setelah itu pulang ke rumah masing-masing dan membawa bekas tinta di jari sebagai bukti bahwa mereka telah ikut proses demokrasi.
Partisipasi dan Kontrol Rakyat Sebagai Roh Demokrasi
Dalam buku Oposisi Berserak, Anders Uhlin melihat bahwa demokrasi merupakan pemerintahan rakyat yang dilandaskan pada kontrol masyarakat dan kesetaraan politik. Demokratisasi – yakni proses menuju demokrasi – harus didefinisikan sebagai semakin meningkatnya penerapan pemerintahan rakyat pada lembaga, masalah dan rakyat yang sebelumnya tidak diatur menurut prinsip-prinsip demokrasi tersebut. Dengan berpedoman pada konsep demokrasi tersebut keterlibatan rakyat tidak hanya terbatas pada saat pilkada dan pemilu. Memobilisasi rakyat tidak berhenti pada saat kampanye dan pencontrengan tetapi lebih luas sampai pada keterlibatan secara penuh dan aktif dalam sistem pemerintahan, menjalankan fungi kontrol dan pengawasan (control and monitoring) bahkan terlibat langsung dalam merumuskan kebijakan. Dengan sistem pemerintahan yang pertisipatif akan muncul kerja sama yang sinergis dan efektif antara pemerintah dan stakeholder-nya (rakyat yang dipimpin).
Konsep demokrasi yang berlandaskan peran aktif rakyat dalam pemerintahan merupakan bagian proses pendidikan dan penyadaran politik. Dalam konsep seperti ini, rakyat tidak hanya dijadikan “ternak yang hanya bisa digiring” pada saat kampanye dan pencontrengan. Kesadaran dari rakyat untuk terlibat aktif dalam sistem pemerintahan dapat membantu pemerintah dalam memecahkan masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik. Karena rakyat merasa bagian dari pemerintah maka akan muncul kesadaran “bersatu” dalam mencapai tujuan bersama.
Munculnya kekecewaan dan semakin maraknya protes masyarakat terhadap pemimpinnya disebabkan karena grass root merasa tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan kebijakan (policy making) yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat itu sendiri. Masyarakat hanya dijadikan obyek bagi pelaksanaan suatu kebijakan. Pemerintahan yang dijalankan dengan sebuah penentuan kebijakan yang top-down (dari atas) menimbulkan elitisme kekuasaan.
Sistem pemerintahan yang tidak partisipatoris menimbulkan jarak yang sangat jauh antara pemerintah dan stakeholder-nya sehingga pemerintah sulit mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan yang muncul di masyarakat. Selama ini, terdapat jurang yang sangat lebar antara pemerintah dan masyarakat. Kesenjangan yang sangat jauh tersebut menimbulkan ketidakpedulian masyarakat terhadap persoalan yang dihadapi oleh pemerintah.
Komunitas Sebagai Alat Kontrol Masyarakat
Depolitisasi yang menciptakan massa mengambang pada masa pemerintahan Soeharto memberi pukulan yang sangat berat terhadap kesadaran politis masyarakat. Orde Baru menciptakan masyarakat yang antipati terhadap politik – bahkan menciptakan hegemoni bahwa politik ibarat hantu yang menakutkan sehingga masyarakat harus menjauhi. Lancarnya proses pembangunan dan langgengnya kekuasaan merupakan tujuan depolitisasi masyarakat.
Tumbangnya rezim otoriter-militeristik Soeharto memberi angin segar bagi proses demokratisasi di Indoensia. Awan gelap demokrasi yang menutupi “ibu pertiwi” selama 32 tahun berhasil dihancurkan oleh gerakan civil society yang dimotori rakyat pekerja dan oleh mahasiswa. Kesadaran politik masyarakat mulai muncul. Kebebasan berorganisasi dan menyuarakan pendapat – pada waktu Orde Baru, kebebasan merupakan barang mahal, meskipun dilindungi oleh undang-undang – terbuka lebar. Rakyat bebas dan mempunyai hak untuk mengorganisasikan dirinya dalam sebuah komunitas atau organisasi tertentu.
Kesadaran dalam membangun komunitas sebagai ruang untuk menyalurkan aspirasi menjadi prasyarat terwujudnya demokratisasi. Komunitas yang ada tidak hanya menjadi mesin mobilisasi pada saat pilkada saja tetapi yang lebih krusial sebagai alat untuk mengontrol pemerintah dan wadah munculnya solidaritas masyarakat. Pelibatan masyarakat secara kolektif dapat membangun sebuah sistem pemerintahan yang lebih demokratis. Dalam suasana demokrasi seperti sekarang, “diam bukan lagi emas.” Masyarakat harus mulai mengorganisasikan dirinya dalam komunitas-komunitas ekonomi, politik, sosial dan budaya. Komunitas tersebut diharapkan mampu mengontrol kinerja pemerintah baik yang ada di ranah eksekutif maupun legislatif sehingga prgaram-program di saat kampanye mampu direalisasikan. Dengan demikian, akan tercipta dan terbangun sebuah hubungan yang sinergis dan partisipatoris antara pemerintah dan rakyat melalui komunitas-komunitas tersebut.
Catatan penting dari prinsip demokrasi partisipatoris – berkaca dari konsep Anders Uhlin - adalah pertama, partisipasi aktif masyarakat dalam sistem ekonomi, politik dan pemerintahan termasuk dalam ranah perumusan dan pengambilan kebijakan (policy making). Kedua, partisipasi tersebut pada gilirannya akan menciptakan kerja sama yang sinergis antara pemerintah dan rakyat yang dipimpinnya sehingga memperkecil jarak antara pemerintah (pemimpin) dengan rakyat (control and monitoring). Ketiga, partisipasi dan kerja sama yang senergis akan memberikan pendidikan dan penyadaran politik bagi rakyat (education of politics).
* Penulis adalah Ketua Keluarga Pelajar Mahasiswa Jeneponto – Yogyakarta, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Tengah.
** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).
0 Comments:
Post a Comment