Oleh: Hadi purnomo *

Seperti yang kita ketahui bersama krisis ekonomi telah meluluhlantakkan negara adidaya Amerika. Kondisi perekonomian Amerika Serikat memburuk dengan anjloknya tingkat konsumsi masyarakat akibat melambungnya harga bahan pangan dan minyak. Begitu juga dengan sektor perbankan seperti Duetsche Bank, UBS, Barclays Bank, Mitsubishi UFJ dan Mizuho yang memiliki investasi surat berharga kredit perumahan AS terkena getahnya dan merugi sangat besar. Sejumlah lembaga keuangan seperti Goldman Sachs, Bear Stearn, Fannie Mae dan Freddie Mac bangkrut.


Krisis yang berawal dari skandal kredit perumahan menekan perekonomian Amerika Serikat yang semakin hari semakin rapuh. Kondisi ini menyebabkan gejolak di bursa saham dan naiknya angka pengangguran seakan-akan semakin menegaskan keterpurukan Amerika Serikat akibat gelombang krisis. Guncangan yang melanda Amerika Serikat dan dunia membuktikan betapa labilnya perekonomian produk dari kapitalisme. Konsep ekonomi yang selalu mengagung-agungkan modal dan keuntungan seperti ini pasti akan melahirkan krisis. Penghisapan yang dilakukan untuk melipatgandakan modal tanpa memperhitungkan daya beli masyarakat membuat timbulnya krisis. Krisis ekonomi global bukan hanya terjadi saat ini saja, depresi besar terjadi pada tahun 1930 sampai menyebabkan perang dunia. Sejak saat itu warga dunia hampir tidak bisa tertidur lelap karena berulangnya krisis ekonomi global, krisis minyak tahun 1970-an, The Black Monday Oktober 1987 dan krisis moneter Asia 1997.

Krisis ekonomi global seperti gelombang tsunami yang menghancurkan tatanan perekonomian dunia termasuk Indonesia juga terkena dampak dari resesi yang terjadi di Amerika. Konsep industrialisasi yang terlalu menggantungkan modal asing mengakibatkan rakyat Indonesia harus menanggung kenaikan beban akibat kenaikan harga bahan pangan. Sementara jutaan buruh terancam di-PHK karena pabrik tidak lagi produksi dan itu berarti adalah hilangnya pendapatan rakyat dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Menurut data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi di Jakarta, korban PHK sampai dengan bulan Februari saja sudah mencapai 37.905 buruh dan buruh yang dirumahkan sebanyak 16.329 (Kompas, 5 Maret 2009). Dan kecenderungannyapun semakin hari angka tersebut semakin meningkat karena tidak hanya perusahaan-perusahaan yang memang menggantungkan produksi pesanan asing yang mem-PHK buruhnya, tetapi gejala ini juga diikuti oleh perusahaan-perusahaan lokal yang memang sengaja memanfaatkan isu krisis global. Mereka memotong biaya produksinya dengan melakukan pemutihan status/PHK, merubah status kerja tetap menjadi kontrak, mengurangi upah dan menambah jam kerja. Sungguh pilihan dilematis yang harus dihadapi buruh ketika krisis menghampiri. Buruh dipaksa untuk memilih PHK atau tetap bekerja dengan sistem kerja kontrak dan upah yang dikurangi. Ini diperparah dengan keluarnya kebijakan pemerintah dalam menanggulangi krisis yaitu dengan membuat SKB 4 menteri. Isinya mengintervensi pengupahan di daerah-daerah dengan tidak boleh melebihi pertumbuhan ekonomi nasional sekitar 6 persen.

Kondisi ini harus disikapi secara serius oleh serikat buruh karena kalau tidak dengan banyaknya buruh yang ter-PHK dan bekerja kembali dengan sistem kerja kontrak, justru akan melemahkan perjuangan buruh. Buruh harus melakukan perlawanan dengan cara melakukan kampanye dan aksi penolakan PHK akibat krisis. PHK bukanlah solusi dari krisis permanen yang membelit bangsa ini sejak 1997-sampai sekarang. PHK justru malah mengurangi bahkan menghilangkan pendapatan rakyat dan itu berarti melemahnya daya beli masyarakat. Maka kemudian akan terjadi kemacetan pada alur distribusi pada barang dan jasa karena melemahnya konsumsi masyarakat.

Kebijakan pemerintah untuk mengatasi dampak krisis merupakan solusi di awang-awang yang malah justru menguntungkan para pemilik modal. Pemerintah lewat menteri tenaga kerja justru mendorong meningkatkan komunikasi bipartit (pengusaha dan buruh) yang itu malah akan membuat kaum buruh tidak berdaya dalam berhadapan dengan modal karena posisi tawarnya yang lemah. Kondisi yang demikian bisa dipastikan akan terjadi pengurangan upah dan bertambahnya jam kerja sebagai solusi kompromis untuk mencegah PHK. Belum lagi kebijakan pemerintah untuk melakukan stimulus fiskal dengan dalih untuk melakukan pendidikan ketrampilan korban PHK dan membuka lapangan kerja baru. Namun sekali lagi, hal ini hanya menguntungkan pemilik modal ketimbang buruh.

Maka serikat buruh, apapun warna benderanya, harus menyatukan pandangan dan langkah dalam menghadapi gelombang PHK massal. Serikat buruh harus mendorong optimalisasi peran pengawasan ketenagakerjaan dan melakukan pengawalan penindakan pelanggaran tindak pidana ketenagakerjaan. Hal ini membutuhkan keseriusan dan keuletan serikat buruh mengingat mental aparat penegak hukum yang sarat dengan korupsi dan kolusi dengan para pemodal. Dengan berpijak pada Undang-Undang No.3 tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan, serikat Buruh harus bisa mendesakkan standarisasi waktu penanganan kasus (tidak diatur dalam undang-undang). Karena bila tidak akan membuka peluang mengulur-ulur waktu penyidikan oleh PPNS (Pegawai Penyidik Negeri Sipil) yang sekongkol dengan pengusaha. Selanjutnya serikat buruh harus mampu mengawal sampai ke persidangan dan memastikan kasusnya tidak dipeti-es-kan. Tentu saja rangkaian pengawalan tersebut harus didorong dengan aksi-aksi buruh korban PHK dan pemberitaan media secara masif.

Serikat Buruh juga harus mewacanakan kembali konsep tentang nasionalisasi industri secara menyeluruh. Negara harus melakukan pemenuhan kebutuhan masyarakat, baik barang maupun jasa, secara mandiri dan tidak bergantung pada modal asing seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa ini. Nasionalisasi sendiri bukan hal yang baru di negara ini. Di era 50-an di bawah kepemimpinan presiden Soekarno, buruh pernah melakukan perebutan industri-industri milik Belanda dan pemerintah memberikan perlindungan hukum dengan mengeluarkan Undang-Undang No. 86 tahun 1958 tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik pemerintah Belanda.

Perusahaan yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan strategis dinasionalisasi oleh negara, seperti perusahaan farmasi, perkebunan, listrik dan pertambangan. Saat ini perusahaan itu menjadi BUMN dan aset-aset hasil perjuangan kaum buruh itu satu per satu telah digadai ke pihak asing kembali. Meski kini pemerintah telah membuat jaminan terhadap investasi asing tentang tidak adanya upaya nasionalisasi lewat Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU PMA), tetapi hal itu tidak boleh menyurutkan langkah kita untuk tetap memperjuangkan nasionalisasi industri.

Kini saatnya rakyat membukakan mata dan pikiran negara bahwa bangsa ini punya modal dengan kekayaan alam yang melimpah. Negara hanya perlu menerapkan sistem ekonomi alternatif yang bebas dari campur tangan pemodal. Sehingga kemampuan yang kita punyai untuk membangun bangsa ini bisa dimaksimalkan bukan hanya untuk menghindarkan dari PHK tetapi juga mampu melahirkan kesejahteraan dan rasa keadilan bagi seluruh rakyat yang selama ini miskin dan tertindas.


* Penulis adalah Pengurus Serikat Buruh Kerakyatan - Surabaya, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Timur.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

1 Comment:

  1. Blog Watcher said...
    DERITA KAUM BURUH



    Melambung nya harga kebutuhan pokok menjelang ramadhan, membuat nasib buruh semakin kelimpungan. Gaji Rp.800.000-Rp.900.000 per bulan (rata-rata UMK Surabaya) hanya cukup untuk kebutuhan berbuka puasa dan makan sahur. Bayangkan bila buruh sudah berkeluarga dan memiliki anak, Untuk kebutuhan makan sehari-hari aja pas-pasan, belum lagi untuk kebutuhan anak, istri saat lebaran. Semua harga kebutuhan pokok naik hampir 50%, Betapa menderitanya nasib kaum buruh.

    **********

    Meminta kenaikan UMK pada saat-saat ini jelas suatu hal yang mustahil, berdemonstrasi, mogok kerja atau ngeluruk kantor dewan pasti hanya menimbulkan keributan tanpa hasil, atau bisa-bisa malah digebuki Satpol PP.

    THR (Tunjangan Hari Raya) yang selama ini menjadi kado hiburan bagi buruh sengaja di kebiri pemerintah. UU No 14/1969 tentang pemberian THR telah di cabut oleh UU No 13/2003 yang tidak mengatur tentang pemberian THR. Undang-undang yang di buat sama sekali tidak memihak kepantingan kaum buruh. Atas dasar Undang-Undang inilah pengusaha selalu berkelit dalam pemberian THR.

    Sedangkan UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, lebih memihak kepentingan investor asing dan Bank Dunia. Landasan formal seluruh aturan perundangan ini memperlemah posisi tawar buruh di bidang upah, kepastian kerja tetap, tunjangan dan hak normatif, hilangnya kesempatan kerja, partisipasi demokratis Dewan Pengupahan, dan konflik hubungan industrial. Pada prinsipnya Undang-Undang ini merupakan kepanjangan dari kapitalisme (pengusaha).

    Selain masalah gaji rendah, pemberian THR, Undang-Undang yang tidak memihak kepentingan kaum buruh, derita kaum buruh seakan bertambah lengkap kala dihadapan pada standar keselamatan kerja yg buruk. Dari data pada tahun 2001 hingga 2008, di Indonesia rata-rata terjadi 50.000 kecalakaan kerja pertahun. Dari data itu, 440 kecelakaan kerja terjadi tiap hari nya, 7 buruh tewas tiap 24jam, dan 43 lainnya cacat. Standar keselamatan kerja di Indonesia paling buruk di kawasan Asia Tenggara.

    Tidak heran jika ada yang menyebut, kaum buruh hanyalah korban dosa terstuktur dari dari kapitalisme global.

    “kesejahteraan kaum buruh Indonesia hanyalah impian kosong belaka”

Post a Comment