Kumpulan berita ini juga disajikan di website http://umarsaid.free.fr


Berita berita ini dikumpulkan dari berbagai sumber





= = =





Syaifudin, Syahrir, dan Ibrohim Ternyata Satu Keluarga


Kamis, 20 Agustus 2009


DEPOK, KOMPAS.com Dua dari empat buron polisi yang diduga terkait jaringan teroris ternyata kakak beradik. Mereka adalah Muhammad Syahrir (Aing) dan Syaifudin bin Djaelani atau Syaifudin Zuhri alias Udin alias Sole.


Satu lagi anggota keluarga besar Djaelani Irsjad juga diduga terlibat jaringan teroris, bahkan tewas dalam penggerebekan di Temanggung. Dia adalah Ibrohim, suami Sucihani yang merupakan anak keenam dari delapan anak Djaelani.


Informasi yang dihimpun Kompas.com dari warga di Jalan Giring-giring II RT 09 RW 10 Sukmajaya, Depok II Tengah, Jawa Barat, Kamis (20/8), menyebutkan, Djaelani Irsjad tinggal di Perumnas Depok sejak 1979, ketika perumahan yang dibangun pemerintah itu masih sepi.

Di mata bekas tetangganya, keluarga Djaelani Irsyad dikenal sebagai keluarga yang taat beragama. Setidaknya itu penuturan Sutarmanto (59), Ketua RT 09, saat ditemui di rumahnya yang hanya beberapa langkah dari rumah bekas keluarga Djaelani di Depok, Rabu (19/8). "Djaelani itu di sini sesepuh. Di masjid pun sesekali menjadi imam," ujar Sutarmanto.

Djaelani punya delapan anak. Secara berurutan, kedelapan anaknya itu adalah Dermo Prihatno (DP), Anugerah (An), Muhammad Syahrir (Aing), Sabil Kurniawan (Abing), Syaifudin Zuhri (Udin), Sucihani (istri Ibrohim, korban tewas dalam penggerebekan di Temanggung yang juga disebut-sebut sebagai calon pelaku bom bunuh diri dalam aksi pengeboman berikutnya), Subhi (Cu'i), dan Eri. Putranya yang ketiga, Mohamad Syahrir alias (Aing), dan kelima, Syaifudin Zuhri alias Udin alias Sole, menjadi DPO.

"Dibilang fanatik sebetulnya juga tidak. Biasa saja. Cuma sesekali terlihat ada pengajian di rumahnya. Biasanya pintu rumah ditutup rapat-rapat, gorden juga ditutup, jadi kami tidak tahu persis kegiatan di dalamnya, apakah seperti pengajian pada umumnya atau bukan, kami tidak tahu," ujar pensiunan polisi ini.

Djaelani berdomisili di Depok sejak tahun 1979. Saat itu, Perumahan Nasional (Perumnas) Depok rata-rata baru ditempati. Menurut Sutarman, delapan putra-putri Djaelani ketika itu masih kecil dan remaja. Djaelani sendiri waktu itu menjadi ketua RT pertama di wilayah tersebut.

"Perangainya sangat halus karena memang ia sendiri seorang guru. Meskipun jarang keluar rumah, orangnya suka menegur orang lain. Anak-anaknya juga ramah. Mereka bergaul sebagaimana anak-anak lain sebayanya di sini," ujarnya.

Pindah ke Kuningan

Tahun 1996, Djaelani menjual rumahnya yang terletak di Jalan Giring-giring No 104 itu. Dia lalu memboyong anak-anaknya pindah ke Kuningan, Jawa Barat. Di Kuningan jugalah, Ibrohim yang bekerja sebagai florist di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton meninggalkan Sucihani dan anak-anaknya. Ibrohim sendiri selama di Jakarta pernah tinggal di Cililitan, Mampang, dan Karet Kuningan.

Rumah bercat kuning yang pernah dimiliki Djaelani itu sekarang ditinggali sebuah keluarga. Sutarmanto mengatakan, keluarga empunya tersebut adalah pemilik ketiga sejak Djaelani menjualnya.

"Tidak ada, di sini sudah tidak ada lagi keluarga ataupun sanak saudaranya," ucap Sutarmanto.

Terakhir, kata Sutarmanto, hanya Sucihani dan suaminya, Ibrohim, yang sempat kembali ke kawasan tersebut sekitar tahun 2003. Namun, keberadaan pasangan yang dikaruniai dua anak ini pun hanya bertahan selama enam bulan.

"Tidak tahu persis di mana. Bahkan, mereka pindah ke sini pun kami tidak tahu. Tahu-tahu, lho kok sudah mengontrak di sebelah," ujar Sutarmanto seraya menunjuk dinding rumah sebelahnya yang bernomor 179.

Belum jelas perannya

Hingga Kamis petang ini, polisi belum juga menyebutkan peran masing-masing orang yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) itu. Dari empat orang, yang sudah agak jelas perannya adalah Syaifudin yang sejak awal disebut sebagai perekrut calon pelaku bom bunuh diri.

Syaifudin pernah mengontrak rumah di Telaga Kahuripan Bogor dan dikenal dekat Dani Dwi Permana, pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriott. Diduga kuat, Syaifudin jugalah yang merekrut Nana Ikhwan Maulana, pelaku bom bunuh diri di Hotel Ritz-Carlton.

Sementara itu, Syahrir, Bagus Budi Pranoto alias Urwah yang asal Kudus, dan Ario Sudarso yang disebut beralamat di Kendal dan Tegal, sampai saat ini belum diketahui persis perannya dalam peledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton. Hanya disebutkan bahwa Bagus pernah dihukum karena terlibat peledakan bom di Kedutaan Besar Australia yang habis masa hukumannya pada tahun 1997.

Syahrir alias Aing diketahui pernah tinggal di Kompleks Garuda, Teluknaga, Tangerang, Banten, tetapi ternyata ia dan keluarganya sudah pindah sejak tahun 2004.

* * *

Dana Bom JW Marriott dan Ritz-Carlton dari Dalam Negeri?

Kamis, 20 Agustus 2009

DEPOK, KOMPAS.com — Aparat kepolisian saat ini tengah menyelidiki asal-muasal dana yang diperoleh oleh para teroris dalam melakukan aksi di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, beberapa waktu lalu.

Kepala Desk Antiteror Polhukam Ansyaad Mbai menilai, dana untuk aksi peledakan di dua hotel tersebut kemungkinan berasal dari dalam negeri. Pasalnya, dana yang dibutuhkan untuk aksi di Mega Kuningan itu menurutnya tidak terlalu besar.

"Pendanaan itu bisa saja dari dalam negeri karena pendanaannya tidak terlalu besar untuk yang terakhir (peledakan Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton)," ujarnya kepada wartawan seusai peluncuran bukuDeradikalisasi Terorisme di Gedung FISIP Universitas Indonesia, Depok, Kamis (20/8).

Berapa kira-kira dana yang dikeluarkan oleh teroris untuk melakukan aksi peledakan di dua hotel tersebut? Arsyad menjawab, "Tinggal kalian hitung saja berapa banyak biaya yang mereka keluarkan selama tinggal di sana (di kamar 1808 Hotel JW Marriot) dan berapa biaya merakit bom," tuturnya.

* * *
Deradikalisasi Terorisme, Program Pemberantasan Terorisme

Kamis, 20 Agustus 2009

DEPOK, KOMPAS.com — Penanganan masalah terorisme begitu kompleks sehingga memerlukan keterlibatan dan peran serta dari berbagai disiplin ilmu. Serentetan aksi teror yang marak terjadi dalam satu dasawarsa terakhir telah memacu Dr Petrus Reinhard Golose, salah seorang dosen luar biasa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, untuk menulis suatu program tentang deradikalisasi terorisme.

Program deradikalisasi terorisme sendiri merupakan salah satu program yang dinilai dapat membantu upaya pemberantasan terorisme. "Sebab, bagaikan membersihkan rumput ilalang walau sudah ditebas dan dibakar akan tumbuh kembali dengan cepat, pemberantasan terorisme harus dilakukan sampai ke akar-akarnya dan harus pastikan tidak ada yang tertinggal," ujar Petrus dalam sambutannya di acara peluncuran bukuDeradikalisasi Terorisme di Gedung F FISIP Universitas Indonesia, Depok, Kamis (20/8).

Dalam program deradikalisasi, menurutnya, terdapat tiga kunci yang amat penting, yakni humanis, soul approach, dan menyentuh akar rumput. Humanis berarti upaya pemberantasan terorisme haruslah sesuai dengan upaya penegakan hak asasi manusia.

Selain itu, pemberantasan terorisme, menurutnya, harus mampu menciptakan kesejahteraan, kesetaraan, dan keadilan bagi seluruh masyarakat, bagi para tersangka, ataupun terpidana terorisme. "Soul approachartinya pemberantasan terorisme dilakukan melalui suatu komunikasi yang baik dan mendidik antara aparat penegak hukum dan para tersangka ataupun narapidana terorisme, bukan dengan cara-cara kekerasan dan intimidasi," tuturnya.

Sementara itu, kunci terakhir, menyentuh akar rumput, adalah suatu program yang tidak hanya ditujukan kepada para tersangka ataupun terpidana terorisme, tetapi program ini juga, menurutnya, diarahkan kepada simpatisan dan anggota masyarakat yang telah terekspos paham-paham radikal. "Serta menanamkan multikulturalisme kepada masyarakat luas," katanya.

Di dalam buku yang memiliki tebal 143 halaman itu dijabarkan tentang permasalahan terorisme di Indonesia dan luar negeri.

* * *


Noor Din Diduga Lari ke Perbatasan

Kamis, 20 Agustus 2009

TEMPO Interaktif, Jakarta - Noor Din M. Top diperkirakan sudah berada di perbatasan Kalimantan Timur-Malaysia sejak 20 Juli 2009, tiga hari setelah pengeboman Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton. "Polisi sedang mencarinya di sekitar Sebatik-Nunukan," kata sumber Tempo kemarin.

"Dia sedang menunggu jemputan dari jaringannya untuk menuju Tawao, Malaysia," ujarnya. Ia menuturkan, Noor Din ingin bersembunyi di Malaysia selama Ramadan. Sumber itu pun yakin Noor Din akan aman di negeri asalnya itu.

Noor Din menuju Kalimantan Timur lewat laut dari Jawa Timur. "Dia lolos karena mengenakan cadar."

Ia menjelaskan, jaringan yang membantunya itu juga yang memuluskan pelarian Ali Imron, pelaku Bom Bali I, sebelum akhirnya dicokok di Kalimantan. Mereka pula yang berlatih perang di Kalimantan dengan sasaran foto Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Polisi mengetahui pelarian itu setelah menyadap hubungan telepon jaringan Noor Din di Jawa Timur hingga ke Kalimantan Timur. Polisi pun yakin, ketika Mega Kuningan diledakkan, Noor Din sudah berada di Jawa Timur. Tapi jejak mereka terputus pada 20 Juli 2009. "Diperkirakan tanggal itu dia sudah di perbatasan Kalimantan Timur-Malaysia," ucapnya.

Menurut sumber itu, jaringan yang membantu Noor Din adalah bekas anggota Laskar Kompak Kayamaya, Poso, plus aktivis NII yang berada di Filipina Selatan. "Tapi sampai sekarang mereka belum mendapat akses untuk menyeberangkan dia," katanya.

Juru bicara Polri, Inspektur Inspektur Jenderal Nanan Soekarna, belum bisa dimintai konfirmasi. Sejak kemarin sore ia tak menjawab telepon dari Tempo. Pesan pendek pun tak dibalas.

Juru bicara Kepolisian Daerah Kalimantan Timur, Komisaris Besar Rudi Pranoto, menyatakan belum ada penangkapan teroris. Namun, kemarin siang, sekitar 11.00 Wita, enam personel reserse kriminal Polda Kalimantan Timur dan lima anggota Brigade Mobil meninggalkan kantor polda dengan senjata lengkap. Sambil bergegas, pasukan itu menolak menyebutkan tujuan serta target operasi.

Di Jakarta, polisi kemarin melansir empat nama yang diduga terlibat dalam aksi pengeboman Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton di Jakarta bulan lalu. Tiga di antaranya ''nama baru'': Mohamad Syahrir, Bagus Budi Pranoto, dan Ario Sudarso alias Mistam Husamudin. Satu tersangka lainnya sudah kerap disebut sebelumnya, yakni Syaifudin Zuhri, 33 tahun.

Peran Syaifudin sudah diketahui. Dia sebagai perekrut pelaku bom bunuh diri Marriott-Ritz. Tapi polisi masih mendalami peran ketiga buron lainnya. "Terlibatnya macam-macam, ada yang kurir," kata Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Susno Duadji di kantornya kemarin.

Sumber Tempo mengungkapkan, ketiga buron itu berperan menyiapkan urusan teknis pengeboman Marriott-Ritz dan, selanjutnya, pembunuhan Presiden di Puri Cikeas. "Nama mereka itu disebut oleh para tersangka yang sudah tertangkap, seperti Amir Abdillah," ujarnya.

* * *
Ada Laporan Warga yang Lihat Noordin di Jakarta

Kamis, 20 Agustus 2009

JAKARTA--MI: Polri sudah menyebarkan foto gembong teroris Noordin M Top dan empat teroris yang masuk daftar pencarian orang (DPO) kasus JW Marriot.

"Respons masyarakat sungguh positif. Ada beberapa yang menghubungi polisi dan memberikan informasi," ujar Wakadiv Humas Polri Brigj Sulistyo Ishak di Jakarta, Kamis (20/8).

Menurut Sulistyo, ada warga yang menghubungi polisi dan mengatakan melihat Noordin M Top di Jakarta. "Informasi ini sudah kita teruskan ke Bareskrim. Semua informasi pasti ditindaklanjuti Polri," ujar Sulistyo. Selain itu, juga ada yang memberitahukan melihat Syaifudin Zuhri bin Djaelani perekrut pengantin bom bunuh diri. Dia dilihat di sekitar Bogor. "Informasi ini pun sudah ditindaklanjuti Bareskrim Polri," tegas Sulistyo.

Dengan adanya respons positif dari masyarakat selama ini, sangat mambantu Polri dalam memerangi terorisme. Karenanya, diharapkan agar respons positif ini terus berlanjut dan tidak diganggu oleh orang iseng yang memberi informasi yang menyesatkan.

Sementara itu, pencarian empat DPO kasus JW Marriot masih terus dilakukan. Keempat yang dicari adalah Syaifudin Zuhri, dan Bagus Budi Pranoto alias Urwah merupakan residivis yang pernah mendekam dalam penjara 3,5 tahun di LP Cipinang sejak 2004 karena pernah menyembunyikan Noordin M Top dan Dr Azhari.

Sedangkan dua orang lagi DPO adalah Ario Sudarso alias Suparjo Dwi Anggoro alias Dayat alias Mistam Husamudin dan Mohamad Syahrir alias Aing. Peran keduanya masih dalam penyidikan. Sedangkan Ali Muhamad Abdullah di Nagreg, Jabar, dan Iwan di Kuningan, Jabarm yang ditangkap karena diduga pemasok dana dalam aksi peledakan bom Marriot masih diperiksa intensif. (San/OL-04)



* * *


Syamsul Maarif tidak Sepaham dengan Noordin M Top

Kamis, 20 Agustus 2009

BANDARLAMPUNG--MI: Syamsul Maarif, 53, pria yang sempat ditangkap Densus 88 Mabes Polri di Kelurahan Kedamaian, Kota Bandarlampung, Lampung, atas tuduhan terlibat jaringan Slamet Kastari, mengaku tidak sepaham dengan tindakan dan aksi terorisme yang dilakukan Noordin M Top.

"Saya tidak bersimpati dengan ajaran mereka, karena menurut saya apa yang mereka lakukan tidak sesuai dengan ajaran Islam," kata Syamsul Maarif, di Bandarlampung, Rabu (19/8).

Syamsul ditangkap oleh Densus 88 Anti teror Mabes Polri pada 22 Juni 2009, namun polisi tidak dapat membuktikan keterlibatannya dalam jaringan terorisme. Dia hanya dijerat dengan Undang undang Keimigrasian.

Meski demikian, dia mengaku mengenal ketiga gembong teroris itu, saat sedang menuntut ilmu di Pondok pesantren Lukmanul Hakim, Johor, Malaysia. "Saya kenal dengan Noordin M Top, Slamet Kastari, dan Dr Azahari, saat 'mondok' di Lukmanul Hakim, Johor, Malaysia, beberapa tahun lalu," kata Syamsul di Bandarlampung.

Syamsul mengenal Noordin, Azahari, dan Slamet, saat ketiganya masih sebagai pengajar di Pesantren Lukmanul Hakim, di Johor, Malaysia. "Saya mengikuti pengajian mereka juga, pada kurang lebih 10 tahun lalu," kata dia.

Pria warga negara Singapura itu mengaku mengikuti pengajian itu untuk mempelajari akidah Islam, tanpa adanya niat melakukan tindakan kekerasan sebelumnya. "Saya hanya mengenal mereka sebagai guru, bukan secara pribadi," dia menerangkan.

Meski demikian, pada 2001, dia mengaku sempat pergi ke Afghanistan, untuk mengikuti pelatihan peperangan di sana, dan tidak kembali ke Singapura. "Sejak pulang dari Afghanistan itulah, saya memutuskan untuk tidak kembali ke Singapura, dan menetap di Malaysia dengan paspor Singapura bersama anak dan istri," kata dia.

Selama dua tahun tinggal di Malaysia, dia mengaku menyekolahkan anaknya juga di Pesantren Lukmanul Hakim, Malaysia, dan kembali berjumpa dengan ketiga gembong teroris itu. "Saya bertemu mereka saat menjemput anak saya dan setiap membayar biaya pendidikan yang setiap bulan besarnya 157 ringgit Malaysia," kata dia.

Dia mengatakan, sama sekali tidak terlibat dengan jaringan ketiga gembong teroris itu, karena tidak memiliki kesamaan pandangan tentang hal yang sama, yaitu jihad. "Saya ke Indonesia karena alasan keamanan," kata dia.

Selama di Indonesia, dia pernah tinggal di Tanjung Batu, Riau pada Maret 2003 dan sempat berpindah-pindah bersama anak istrinya, mulai dari Jambi, Tulung Agung, hingga ke Malang, dan pada tahun 2006, bersama salah satu anak laki-lakinya tinggal di Bandarlampung.

Syamsul ditangkap oleh Densus 88 Anti teror Mabes Polri pada 22 Juni 2009, dengan tuduhan terlibat jaringan teroris Slamet kastari, namun hal tersebut tidak dapat dibuktikan polisi, sehingga dia hanya dijerat dengan Undang-undang keimigrasian. (Ant/OL-03)



* * *

Inilah Kisah Pernikahan Buron Densus 88

Rabu, 19 Agustus 2009

TEMPO Interaktif, Cirebon - Pernikahan Saefudin Juhri alias Saefudin Jaelani, teroris yang menjadi buronan polisi, dengan Kholifah Sari, warga Kelurahan Perbutulan, Sumber, Kabupaten Cirebon, tercatat di di Kantor Urusan Agama Sumber, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.

Ketua KUA Sumber, Diki Fahrudin, memperlihatkan arsip catatan pernikahan Saefudin dengan Kholifah. Menurut dia, pernikahan tersebut terjadi pada tanggal 25 Juli 2000.
Dalam arsip tertulis pernikahan atas nama Saefudin Juhri dengan alamat Dusun Kliwon RT 28/10, Desa Sampora, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan.

Alamat tersebut sama persis dengan alamat Ibrohim, teroris yang tewas dalam penyergapan jajaran Detasemen Khusus 88 di Tumenggung, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. "Tercatat di sini Saefudin Juhri menikah saat berusia 22 tahun dengan pekerjaan masih sebagai mahasiswa," kata Diki.

Namun, Diki tidak mengetahui bagaimana prosesi pernikahan tersebut, karena waktu itu dia belum menjabat sebagai kepala KUA dan berdasarkan yang tercatat di arsip, yang menikahkan keduanya adalah Kepala KUA Iyun Mahsyuni.

Sedangkan yang menjadi wakil wali keluarga pihak keluarga Kholifah waktu itu Abdul Jalil. "Saya sempat menanyakan soal ini ke Ustadz Jalil, katanya Saefudin waktu itu masih kuliah di Timur Tengah," lanjutnya.

Abdul Jalil, yang ditemui di pondok pesantren asuhannya Al-Ikhlas tak jauh dari rumah Kholifah, membenarkan pernah menjadi wakil wali dari keluarga Kholifah. Dari perbincangan dengan keluarga Kholifah waktu itu diketahui Saefudin merupakan mahasiswa Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir.

"Waktu resepsi pernikahan Saefudin mengenakan busana yang beda dari pengantin pada umumnya. Dia memakai jubah dan penutup kepala seperti pakaian Timur Tengah," kata Abdul.

Abdul Jalil meyakini Kholifah hanya sebagai korban dari perbuatan Saefuddin, yang diduga sebagai teroris. Menurut Abdul, dirinya selama mengajar mengaji tidak pernah mengarahkan santrinya untuk berjihad seperti yang dilakukan para teroris.

"Saya menyayangkan salah satu santri saya menjadi korban akibat perbuatan teroris tersebut. Yang saya tahu Kholifah sekarang punya dua anak yang masih kecil-kecil. Ia stres berat," ujarnya.

Sementara itu, Kholifah yang baru beberapa hari pulang dari kontrakkannya di Bogor, hingga saat ini masih menutup diri. Berdasarkan penuturan ketua RT setempat, Abdul Wahid, Kholifah kondisinya masih syok atas musibah ini. Hal ini terlihat dari gelagatnya yang seperti orang linglung dengan pandangan kosong, dan sulit diajak bicara.

Rumah yang ditempati Kholifah sekarang bersama orang tuanya di RT 08/3 Blok Kleben, Keluarahan Perbutulan, Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon, tampak tertutup rapat.

0 Comments:

Post a Comment