Oleh Eka Pangulimara H *

Debat cawapres yang digadang-gadang menampilkan hal berbeda dibanding debat capres sebelumnya yang monoton, berlangsung anti-klimaks. Debat kembali hadir tanpa perdebatan. Sedikit mengobati, cawapres Wiranto berimprovisasi dengan bernyanyi, menyentil cawapres lain (terutama Boediono) dan sempat menyampaikan sindiran tajam soal bencana.

Sebelumnya publik berharap Prabowo bisa tampil galak dan menyerang sebagaimana iklan-iklan kampanyenya di televisi. Tapi ketimbang mengkritisi kebijakan pemerintahan saat ini, Prabowo “bertahan” dengan selalu melansir isu-isunya sendiri soal ekonomi kerakyatan dan penyelamatan kekayaan nasional. Jadinya, meski KPU menyodorkan bahan debat mengenai jati diri nasional, yang mengemuka tetap saja isu-isu kampanye seperti biasanya.

Seperti pada debat capres, debat cawapres kali ini tidak menghadirkan perbedaan pendapat yang tajam. Bahkan pada beberapa kesempatan, para cawapres ini bersetuju dengan kompetitor dan saling mempertajam (misalnya pada isu pendidikan, hubungan agama-negara dan penanganan konflik).

Yang tidak kalah menjengkelkan adalah gangguan tayangan iklan yang seperti melebihi waktu debat. KPU harus mengupayakan agar pada program selanjutnya harus dibebaskan dari iklan, sebagaimana acara debat calon presiden di Amerika.


Normatif

Kritik terpenting bagi jalannya debat capres dan cawapres sejauh ini adalah penyampaian ide-ide yang bersifat normatif, ketimbang penyajian perspektif sekaligus praktek kebijakan yang diambil seandainya mereka berkuasa. Ketika membahas masalah pendidikan misalnya, setiap kandidat berpendapat bahwa itu adalah hal penting dan prioritas utama (yang semua orang juga paham!). Sebagian bicara soal akses pendidikan yang masih terbatas. Tetapi pembahasan tidak beranjak jauh dari hal tersebut.

Padahal jika ditelusur, problem-problem di dunia pendidikan sangat banyak. Komersialisasi pendidikan adalah potret utamanya dimana fenomena komoditisasi pendidikan (sebagaimana di kesehatan) menjamur di semua jenjang. Meski pendidikan hingga SMP konon digratiskan, pada prakteknya masih banyak sekolah yang menjalankan praktek menyimpang dengan menarik pungutan liar dari orang tua murid.

Fenomena favoritisme dalam memilih sekolah yang berbiaya tinggi juga problem penting. Seandainya capres/cawapres ada yang mengajukan ide rayonisasi (yakni setiap anak didik harus bersekolah di sekolah terdekat) tentu sangat menarik. Manfaatnya banyak, selain mengurangi gap antar sekolah, juga bisa mengurangi kemacetan di kota-kota besar.

Belum lagi masalah pendidikan tinggi yang kini berbiaya selangit meski di universitas negeri. Seharusnya masalah ini bisa dielaborasi dengan tidak sekedar mengajukan gagasan beasiswa bagi mahasiswa tidak mampu (yang semua capres/cawapres mengamini hal yang sama ini). Perlu ada terobosan penting agar laju biaya kuliah bisa direm sehingga lebih memberi kesempatan bagi keluarga miskin.

Semua kandidat mengakui pendidikan sebagai jalan keluar masyarakat miskin mencapai martabat lebih tinggi sekaligus meraih kesejahteraan memadai. Tetapi jika hal ini berhenti sebagai ide dan tanpa peta penyelesaiaan soal akses pendidikan yang masih terbatas, tentu kurang berguna juga. Semua orang bisa mengatakan hal yang sama. Tapi bagi calon pemimpin yang (kalau terpilih) punya wewenang mengeluarkan dan menjalankan kebijakan, penyampaian gagasan mesti bersifat praxis (wacana sekaligus praktek).

Debat tanpa perdebatan memang konsep dari KPU sebagai penyelenggara debat. Tetapi tidak mungkin pula pilihan KPU ini tidak melewati konsultasi (mungkin bahkan konsensus) bersama para capres/cawapres. Dengan pilihan konsep macam begini, terhindar kemungkinan adanya jatuh-menjatuhkan antar capres/cawapres.

Padahal esensi debat (apabila kita membandingkannya dengan debat capres di Amerika) adalah untuk mengetahui kemampuan sebenarnya dari semua kandidat. Artinya kandidat tidak berlindung pada pamor atau citra yang selama ini dipolas-poles, tapi langsung membuktikan kepiawaiannya di hadapan rakyat.

Kemampuan menyampaikan ide dan program yang mumpuni dari para capres/cawapres harus dianggap sebagai hal urgent dan bekal utama kepemimpinan nasional. Ketidakcakapan akan membawa kesulitan bersama dalam bentuk ketidaktegasan bersikap, kelambanan mengambil kebijakan, mudah diombang-ambing kepentingan dan performa buruk di hadapan pimpinan-pimpinan dunia yang lain.

Setelah hal tersebut, kemudian menyangkut program-program yang ditawarkan. Namun karena dikonsep untuk menghindari perdebatan, para capres/cawapres merasa cukup mengajukan gagasan normatif dan tidak dituntut menjabarkan program secara lebih rinci. Maka, semua kandidat berposisi di “zona aman,” baik terhindar dari jatuh-menjatuhkan lawan maupun lolos dari penilaian buruk oleh publik. Toh, jika debat dikecam banyak pihak, yang akan disasar adalah semua kandidat, atau konsep dari KPU itu sendiri.


Disiasati

Kita pantas mencurigai pelaksanaan debat yang hanya berputar-putar di isu normatif sengaja dipilih agar program-program tidak disampaikan secara gamblang. Pertama, mungkin memang tidak ada program-program gamblang itu (yang rinci dan terukur) dari para kandidat. Kedua, semua kandidat malahan memang tidak ingin terikat dengan program rinci dan terukur yang mudah ditagih oleh khalayak di kemudian hari.

Apabila alasan pertama benar tentu sangat mencemaskan kita semua bahwa orang yang bakal memimpin negeri ini ternyata tidak memiliki program jelas, kecuali keinginan berkuasa belaka. Jika pun alasan kedua yang benar, tidak berarti lebih baik. Yakni para kandidat pemimpin negara ini sebenarnya tidak mau dikontrol saat menjalankan kekuasaan ketika terpilih.

Sebenarnya hal ini bisa disiasati dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mewajibkan jawaban yang jelas dan tidak normatif. Pertanyaan disengaja untuk memposisikan capres/cawapres bersikap pro atau anti, setuju atau tidak setuju terhadap setiap hal. Apabila berada pada sikap yang sama, harus tetap dikejar apa yang membedakan di antara mereka. Tidak mungkin orang bisa berpendapat sama seluruhnya, apalagi pada pihak-pihak yang sedang bersaing.

Misalnya soal kebijakan perpajakan, apakah pajak akan dinaikkan atau diturunkan beserta alasannya. Kemudian yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti isu-isu ketenagakerjaan (sistem kerja kontrak, outsourcing, upah murah, PHK massal), apakah mereka akan mempertahankannya atau tidak.

Hanya saja, kalau konsep yang diajukan dari awal memang untuk menghindari perdebatan, maka seharusnya judul acara debat itu diganti dengan “Bukan Debat Capres/Cawapres.”


* Penulis adalah pengurus serikat buruh, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment