From: nanok Soerawidjaja
Subject: Sinyal Merah
To: ripana_puntarasa@yahoo.com
Date: Tuesday, June 16, 2009, 10:31 PM



"Sinyal Merah Dunia Akademis Kita"

Judul diatas saya yakini tentu banyak mengundang kontroversi diantara kita, khususnya masyarakat pendidikan tinggi. Betapa tidak ?!.
Bukankah peran dunia pendidikan tinggi terhadap kemajuan negeri ini sudah terbukti luar biasa besarnya. Lihat saja, bagaimana kemajuan ilmu dan teknologi telah menunjukkan secara nyata peran itu memberikan buktinya ?. Bukankah juga judul diatas akan mencoreng dan menimbulkan keraguan masyarakat akan peran tersebut ?.
Memang, peran pendidikan tinggi terhadap kemajuan ilmu dan teknologi tidak bisa diingkari oleh siapapun warga bangsa ini. Namun, harus pula dicatat bahwa misi pencerdasan rasionalitas bukanlah segala-galanya bagi peran yang harus diemban oleh dunia perguruan tinggi.
Sebagai salah satu pilar penyangga bagi kemajuan peradaban bangsa. Dunia pendidikan tinggi, disamping harus mengemban tugas pencerdasan rasionalitas bangsa ini, juga memiliki tanggungjawab yang tidak kalah pentingnya. Yakni, meningkatkan serta menjaga moral dan etika bangsa ini kedepan. Artinya, ilmu pengetahuan yang dikaji dan dikembangluaskan pun harus dilandasi oleh semangat “kejujuran” dan “untuk kepentingan kemanusiaan”, dalam hal ini bangsa. Karenanya, ketika ilmu pengetahuan terkelupas dari nilai moralitasnya, yang terjadi adalah demoralisasi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan mengabaikan nilai-nilai kejujuran dan kemanusiaan. Inilah sesungguhnya yang kini banyak terjadi dengan kehidupan akademis di negeri yang sangat kita cintai ini. Ilmu pengetahuan terlempar jauh dari nilai-nilai universal yang seharusnya menjadi sifat dasarnya, terdegradasi hanya menjadi bagian-bagian dari berbagai kepentingan sempit yang sering menggumpal menjadi sumber dari berbagai bencana kebangsaan.
Dalam penggal kehidupan berbangsa kita kali ini. Bangsa ini sedang melakukan sebuah proses politik yang disebut sebagai P E M I L U (Pemilihan Umum). Yakni, sebuah proses yang secara konstitusional musti dilakukan untuk melakukan evaluasi terhadap berbagai hal menyangkut sistem kehidupan berbangsa yang terjadi (sudah dilalukan) di negeri ini selama periode yang lalu maupun sebelumnya. Tujuannya jelas. Agar apabila ada hal-hal yang tidak menguntungkan, merugikan, atau bahkan membahayakan kehidupan bernegara dan berbangsa, bisa segera dikoreksi, tanpa harus menimbulkan berbagai huru-hara. Dan, karenanya. Semuanya pun tentu saja diorientasikan kepada peningkatan, kemajuan serta kemandirian kemampuan kehidupan berbangsanya.
Dalam proses seperti ini, peran kaum akademisi tidak bisa diingkari, memiliki posisi yang sangat amat strategis. Mulai dari proses perencanaan, metode, sampai kepada bagaimana PEMILU harus mampu menghasilkan produk akhirnya, yakni, kepemimpinan nasional yang baru, sebagai representasi dari hasil evaluasi terhadap berbagai kebijakan yang telah dilakukan oleh bangsa ini pada masa sebelumnya.
Dalam masa evaluasi (masa kampanye), pembenaran maupun perlawanan terhadap sistem maupun berbagai kebijakan yang telah dan sedang dilakukan pun mencuat, terekspresikan dalam berbagai perdebatan yang kini sedang di tonton dan dinilai oleh rakyat (calon pemilih). Kontroversi antara neo-liberalisme dan ekonomi kerakyatan, teknokrat dan politisi, militer dan non militer, nasionalis religius dan nasionalis, dlsb. mencuat, mengemuka dalam berbagai debat, baik itu yang dilakukan melalui berbagai statemen dalam rapat-rapat umum maupun dengan cara maupun media komunikasi yang lain.
Namun, meski dalam debat keras yang sedang terjadi. Ada satu hal yang menarik dalam berbagai fenomena politik yang muncul akhir-akhir ini. Yakni, hampir keseluruhan para kontestan mengakui kebenaran akan konsep pembangunan bangsa dan negara yang dibangun oleh para founding father’s-nya (Soekarno-Hatta), meski, arah dan kebijakan yang dibuat oleh mereka, bisa terbaca secara baik oleh masyarakat luas, seperti apa korelasinya.
Artinya, ketika mereka mengakui bahwa konsep (para founding father’s) itu benar. Melihat hasil pembangunan yang kini sudah dan sedang terjadi, dimana, arah dan hasil pembangunan dirasakan semakin menjauh dari arah dan tujuan kita hidup berbangsa. Bisa dipastikan bahwa pasti ada kesalahan, pengingkaran, atau bahkan sangat mungkin, pengkhianatan terhadap konsep yang secara verbal mereka sendiri menyetujuinya. Karena apa ?!.
Konjungtur turun kehidupan kebangsaan yang terjadi sekarang ini (tentu saja dengan indikator ideologis) bukan saja terjadi karena terjadinya kesalahan tafsir. Melainkan, lebih merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh terjadinya ketidak sejalanan antara tujuan yang ingin dicapai dengan jalan yang di pakai untuk mencapai tujuan tersebut. Atau dengan kata lain yang lebih ekstrim. Terjadi pengingkaran, atau bahkan mungkin, pembunuhan terhadap nilai-nilai Pancasila itu sendiri sebagai ideologi negara.
Karenanya, pertanyaan yang lahir dari fenomena seperti inilah sesungguhnya yang semestinya dijawab oleh kita semua termasuk para rohaniwan, politisi, ekonom, yuris, psikolog maupun ilmuwan. Sudahkan religiusitas kehidupan ber-agama kita jadikan sebagai landasan moral bagi sistem kehidupan bernegara kita ?. Sudahkah rasa kemanusiaan selalu kita tekankan di dalam membangun hubungan komunikasi kehidupan antar manusia dalam kehidupan berbangsa kita ?!. Sudahkan jiwa persatuan selalu kita kedepankan untuk menyingkirkan “semangat gerombolan” dalam kehidupan politik kita ?!. Sudahkah cara-cara musyawarah untuk mencapai kemufakatan tercerminkan di dalam kehidupan bermasyarakat bernegara kita ?!. Dan, sudah pulalah kita selalu mengutamakan rasa keadilan didalam usaha kita untuk mencapai kehidupan yang lebih makmur dalam kehidupan bernegara kita ?!.
Dari semua pertanyaan diatas. Dalam kehidupan bernegara kita saat ini, akan bermuara kepada satu pertanyaan tunggal yang harus pula dijawab oleh semua komponen bangsa termasuk kaum akademisinya. Yakni, mungkinkan kehidupan Pancasilais seperti yang di-ideal-kan oleh semangat Pembukaan UUD 1945 bisa diwujudkan diatas fondasi keyakinan yang liberalistik ?!.
Lahirnya sebuah teori sebagai produk dari dialektika keilmuan yang memberikan kekuatan metodologis bagi kaum akademisi untuk mengambil peran dalam proses pembentukan sistem kehidupan kedepan, memang tidak bisa diingkari. Namun, harus juga disadari bahwa kebenaran teoritis bersifat dialektis. Dan, karenanya, tidak bersifat mutlak dan permanen. Di sisi lain, netralitas di dalam menjalankan fungsi aplikasinya, akan pula sangat menentukan berhasil-tidaknya sebuah teori digunakan untuk menjalankan fungsi konstruktifnya (secara ideologis) terhadap sistem kehidupan. Demikian pula dengan hasil analisa yang di perolehnya.
Secara kasuistik. Kita bisa melihat bagaimana keterkaitan penurunan indek angka kemiskinan terhadap pola kebijakan yang dibuat oleh eksekutif. Kontroversi terhadap besaran angka kemiskinan nasional, memberikan gambaran kepada kita bagaimana independensi keilmuan yang semestinya dimiliki dan dipegang secara teguh oleh sebuah lembaga keilmuan. Bisa diaduk-aduk oleh kepentingan penguasa untuk menjustifikasi pola kebijakannya, sekaligus, meningkatkan citra keberhasilan dari sebuah regime.
Hal ini penting untuk saya ungkapkan, karena, hasil perhitungan yang tersaji akan membawa implikasi sosial-politik kepada terjadinya perubahan pola alokasi anggaran. Yakni, mengecilnya porsi anggaran terhadap subsidi kaum miskin yang kemudian diikuti oleh semakin menggelembungnya berbagai fasilitasi terhadap sektor industri dan jasa yang diasumsikan sebagai penyumbang yang paling besar dan berjasa terhadap penurunan angka kemiskinan. Lihat saja, bagaimana alokasi stimulus yang diberikan oleh pemerintah terhadap sektor industri dan jasa yang tidak sebanding dengan yang diberikan kepada sektor ekonomi lemah termasuk diantaranya buruh, tani dan nelayan.
Sebuah kebijakan yang tentu saja tidak bisa dilepaskan dari pertanggung jawaban yang harus diemban oleh sebuah badan yang memiliki tugas dan kewenangan untuk memberikan hasil analisanya sebagai dasar bagi pembuatan sebuah kebijakan. Sementara, konsekuensi ideologisnya. Dengan angka-angka ini pula, rakyat di negeri ini harus menyakini pula bahwa sistem kapitalisme (dengan praktek neo-liberalnya) yang dijalankan oleh pemerintah adalah benar dan harus dilanjutkan !.
Sebuah kecelakaan besar yang harus ditanggung oleh bangsa ini, yang celakanya, dilakukan oleh kaum akademisi kita sendiri yang seharusnya justru menjadi benteng pengaman, pengawal kemajuan serta peningkatan kemakmuran kehidupan bangsa dan negaranya.
Demikian pula dengan keberadaan lembaga-lembaga quick count yang menyajikan pola perhitungan cepat hasil pemilihan umum, apa itu hasil PILKADA, PILEG, ataupun PILPRES.
Secara ideal-fungsional. Keberadaan lembaga-lembaga ini jelas memberikan kemudahan dan kecepatan yang sangat-sangat dibutuhkan oleh masyarakat, termasuk didalamnya KPU sebagai penyelenggara pemilihan. Demikian pula dengan hasil riset pra pemilu yang dilakukannya, sangat membantu para peserta (partai politik) untuk melakukan evaluasi internal terhadap posisi politiknya pada satu wilayah.
Dengan membaca hasil riset yang dilakukan oleh lembaga ini, partai politik ataupun para pengambil kebijakan bisa memahami bagaimana trend yang ada di dalam masyarakat di dalam menyikapi berbagai kebijakan yang sudah dan sedang dijalankan terhadap obyek kebijakan. Dan karenanya, hal ini pun bisa dijadikan sebagai alat bantu untuk merumuskan kemungkinan-kemungkinan (prediksi) bagi langkah-langkah kebijakan berikutnya, baik itu bersifat antisipatif maupun solutif.
Dalam pemilu damai dan relatif JURDIL (jujur dan adil) tahun 2004. Hasil perhitungan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga quick-qount yang mendekati sempurna memberikan angin segar bagi dunia riset di tanah air. Betapa tidak !.
Dalam pemilu yang diakui oleh dunia internasional sebagai pemilu yang paling demokratis di negeri ini, metode ini sangat kita harapkan untuk bisa menjadi alat bantu yang cukup handal untuk meningkatkan hubungan partisipatoris antara rakyat dengan sistem demokrasi yang dibangun. Dimana, partai politik sebagai bagian integral dari sistem demokrasi, memiliki fungsi penting untuk melakukan seleksi calon kepemimpinan nasional.
Namun, munculnya harapan di tahun 2004 segera hancur oleh kenyataan yang lahir dalam PILEG 2009. Keelokan hasil quick-qount yang mendekati sempurna pula kali ini, di tandai oleh berbagai kecurangan pelaksanaan PILEG di hampir seluruh daerah di negeri ini. Penggelembungan dan penggembosan suara yang dilakukan di tingkat PPK melahirkan ketidak percayaan publik terhadap validitas angka perolehan di tingkat KPUD maupun KPU. Sementara, hasil akhir yang amburadul inilah yang menjadi ukuran bagi tingkat keberhasilan perhitungan sistem quick-qount. Alhasil, ketika hasilnya mendekati sama. Tidak bisa tidak, munculnya keraguan publik atas netralitas quick-qount terhadap hasil PILEG 2009 pun menjadi sesuatu yang sulit untuk dibantah.
Pertanyaan yang kemudian muncul dari keragu-raguan ini adalah, apakah quick-qount bagian dari alat justifikasi terhadap hasil pemilu ?. Atau, yang lebih moderat, apakah quick-qount mentolerir terjadinya kecurangan dalam perhitungan pemilu ?.
Bukankah kelahiran quick-qount disamping ditujukan bagi kemudahan dan kecepatan perhitungan sementara, memiliki tujuan utama untuk mengontrol pelaksanaan dan hasil pemilu ?.
Secara ilmiah, jawaban terhadap berbagai pertanyaan diatas bukanlah hal yang sulit. Tetapi, menjadi sulit apabila fungsi kelembagaan ilmiah ini sudah masuk pada ranah politik.
Kearifan Megawati Soekarnoputri sebagai salah satu capres dari satu-satunya partai oposisi untuk tidak terlalu mempersoalkan berbagai keamburadulan dan kecurangan pemilu legislatif 2009, rupanya membawa pengaruh yang sangat luar biasa kepada terjadinya polarisasi kekuatan politik yang ada. Kekuatan a n t i N E O – L I B E R A L menunjukkan simpatinya, merapat, dan membangun kesepakatan moral dengan partai yang dipimpinnya. Sebuah situasi yang tentu saja membuat gundah Soesilo Bambang Yudoyono sebagai komandan dari para penganut faham Neo-Lib.
Hal ini terjadi, karena, sebagai seorang strateg, melihat konstelasi politik yang ada, SBY bisa menghitung bahwa apabila keadaan ini tidak berubah/diubah, hampir bisa dipastikan, dia akan tumbang dalam dua putaran PILPRES.
Karenanya, SBY pun m e l a n j u t k a n rancang bangun PILEG 2009 yang menempatkan parpol diluar Partai Demokrat untuk tidak mendapatkan suara 20% kedalam persaingan internal lawan politiknya (untuk tidak dikatakan adu domba) menghadapi PILPRES 2009.
Namun, meski langkah inipun berhasil untuk melahirkan persaingan diantara kandidat CAPRES lawan-lawan politiknya. Celakanya, kurang berhasil atau bahkan gagal untuk melahirkan pertarungan diantara mereka.
Munculnya kesepakatan tak tertulis untuk bergabungnya kembali kedua kubu Mega-Prabowo dan JK-Wiranto pada putaran kedua PILPRES membuat kalkulasi suara kubu SBY-Boediono menjadi berat, bahkan cenderung melemah. Suatu kondisi yang tentu saja memaksa SBY untuk menggunakan semua instrumen politik yang dimilikinya untuk melakukan manuver balik, merubah perimbangan tren perolehan suara.
Namun, meski, berbagai langkah sudah dilakukan kubu SBY untuk merealisasikan tujuan ini. Hasilnya pun kelihatannya mengalami kesulitan.
Hal ini terjadi, karena, perseteruan SBY – JK dengan berbagai statemen yang dikeluarkannya, rupanya banyak memberikan penjelasan kepada rakyat tentang bagaimana sesungguhnya pemerintahan ini berjalan. Manipulasi penurunan angka kemiskinan oleh sebab perubahan indikator standar kemiskinan dari 2 dollar AS menjadi 1 dollar AS, serta, bagaimana praktek NEO-LIBERAL dijalankan dalam kehidupan bernegara kita saat ini, memberikan peyakinan terhadap publik (rakyat) bahwa apa yang selama ini disuarakan oleh oposisi (Megawati dengan PDIPnya) adalah benar adanya.
Munculnya duet Mega-Prabowo yang sejak proses awalnya sudah banyak dikontroversikan pun rupanya justru mendapatkan keuntungan dari situasi ini.
Memang, tidak semua kekuatan anti NEO-LIBERAL bisa menerima dan melimpahkan kepercayaannya kepada Megawati. Tetapi, keberadaan Prabowo dalam duet ini, rupanya mampu mereduksi keraguan ini menjadi harapan akan terjadinya sebuah perubahan. Sementara, keberadaan kaum Soekarnois yang kini tersebar ke dalam berbagai wadah. Tersadarkan oleh kenyataan yang ada, mengalir, menuju muara, merapatkan diri ke dalam satu kekuatan anti N E K O L I M yang dipercayakannya kepada Megawati Soekarnoputri.
Persaingan Mega-Prabowo dengan JK-Wiranto harus terus dipompa, dan jika mungkin, di dorong ke dalam pertarungan politik yang lebih keras. Dan, PILPRES 2009 pun harus berlangsung dalam satu putaran. Ini kalau SBY-Boediono masih ingin menang.
Analisis seperti inilah yang kiranya kini mau tidak mau muncul dalam benak para team sukses SBY-Boediono. Karenanya, munculnya berbagai wacana tentang terjadinya PILPRES 2009 hanya dalam satu putaran harus bisa kita pahami.
Dilihat dari teori probabilitas (kemungkinan), munculnya kemungkinan PILPRES 2009 hanya berlangsung dalam satu putaran memang tidak bisa disangkal. Namun, berdasar kepada analisis rasional pula yang didasarkan kepada : 1. Peta perolehan suara PILEG 2009 (meski amburadul), 2. Perpecahan internal partai peserta koalisi, 3. Peta koalisi non partai pendukung Capres/Cawapres, sulit atau bahkan kecil sekali kemungkinan terjadinya PILPRES 2009 hanya dalam satu putaran. Terlebih lagi dengan prediksi angka perolehan yang sangat-sangat ekstrim 70% untuk SBY-Boediono.
Tanpa harus menunggu dalam mingguan, publik pun tahu, oleh siapa riset yang menyajikan angka-angka itu didanai, dan untuk apa serta kepentingan siapa pula hasil itu harus dipublikasikan.
Rakyat INDONESIA sudah cukup cerdas. Karenanya, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi mereka di dalam menentukan pilihannya dalam PILPRES 2009 kali ini. Tetapi, hanya mengajak kepada teman-teman, khususnya yang pernah berkesempatan menikmati pendidikan yang lebih baik dari umumnya rakyat kita. Untuk lebih tenang, lebih jernih, serta melihat lebih jauh dan lebih ke depan, kemana bangsa ini harus kita bawa. Dan, yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana PILPRES 2009 mampu kita jadikan sebagai momentum untuk memulainya.
Keputusan anda tidak saja menentukan bagaimana nasib bangsa ini 5 tahun ke depan. Tetapi, lebih dari itu. Menjadi titik menentukan, apakah bangsa ini akan semakin tenggelam atau bangkit kembali menuju kejaaannya di masa mendatang ?!. Insya Allah.
Haruskah moralitas keilmuan kita cabut dari kehidupan keilmuan kita hanya untuk kepentingan kekuasaan terlebih lagi uang ?.
Jawabannya tentu akan terpulang kepada diri kita masing-masing. Karena, semuanya akan mengalir kepada satu pertanyaan akhir.
Masihkah pula kita memiliki K E J U J U R A N dan R A S A K E M A N U S I A A N dalam kehidupan kita berbangsa ?!?.
SELAMAT BER- P E M I L U !!!


Komunitas
Anti Pembodohan dan Pemiskinan Bangsa
Yogyakarta, 15 Juni - 2009

0 Comments:

Post a Comment