Oleh : Rini Mustofa Yunita*

Berbagai reaksi muncul ketika Surabaya akan menjadi tuan rumah Konferensi Kaum Homoseksual dan Biseksual se-Asia ke-4, 26-27 Maret 2010. Konferensi ini diselenggarakan oleh International Lesbian, Gay, Bisexual, Trans and Intersex Association (ILGA). Pesertanya sekitar 200 orang dari 20 negara seperti Jepang, Filipina, Thailand, Singapura, Malaysia dan Indonesia sendiri sebagai tuan rumah.

Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur menolak rencana konferensi tersebut dengan alasan karena bisa menyinggung perasaan umat Islam. Forum Pembela Islam juga bereaksi jika KO ini masih diteruskan. Bahkan polisi mengancam tidak akan memberikan izin acara konferensi ini berlangsung. Kenapa mereka kaum gay, lesbian, biseksual diperlakukan diskriminatif?

Penghormatan terhadap hak dan martabat setiap manusia tanpa membedakan pilihan orientasi seksual dan identitas gender merupakan hak asasi manusia. Sayangnya di Indonesia, kelompok minoritas yang memiliki orientasi seksual yang berbeda belum mendapat pengakuan dan penghormatan oleh masyarakat dan negara secara konsisten.

Ada pandangan yang menyatakan bahwa seksualitas bersifat terberi sehingga tidak dapat diubah. Pandangan tersebut dikeluarkan oleh kelompok-kelompok tertentu dengan mengatasnamakan agama maupun budaya sehingga kelompok orang yang seksualitasnya tidak sejalan dengan konsep tersebut (kelompok LGBT-Lesbian, Gay, Biseksual dan Trangender) dianggap sebagai abnormal, mendapatkan perlakuan buruk, baik dalam bentuk diskriminasi maupun kekerasan. Bentuk- bentuk kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBT antara lain: kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan emosional. Sedangkan tindakan diskriminatif yang sering dialami kelompok LGBT antara lain: diskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan, diskriminasi dalam hal akses terhadap keadilan, diskriminasi dalam pemilihan pasangan.

Kita tahu bahwa Indonesia adalah negara yang majemuk dan beragam (plural), maka harus menghargai realitas keberagaman yang ada dalam masyarakat. Perbedaan jenis kelamin, asal, ras atau etnis, gender, dan agama, termasuk pilihan orientasi seksual adalah nilai-nilai perbedaan yang harus diterima, diakui, dihormati dan tidak digunakan sebagai alasan memperoleh perlakuan diskriminasi. Negara harus mengakui realitas sosial bahwa manusia memiliki perbedaan dalam orientasi seksual dan identitas gendernya. Dan, identitas gender seseorang tidak selalu ditentukan oleh jenis tubuh dimana mereka dilahirkan. Yang kita butuhkan ialah penerimaan masyarakat secara jujur, pendampingan dan perlindungan hukum agar mereka hidup merdeka dan berkarya di tengah masyarakat tanpa menjadi beban atau masalah yang merugikan. Kaum LGBT memiliki hak atas hidup dengan tenang di masyarakat, di dalam keluarga, di bidang pendidikan, di tempat kerja, di ruang publik ataupun di mata hukum.


Negara Bertanggungjawab Melindungi

Perlakuan yaang diskriminatif itu diperkuat dengan peran negara yang ambigu dan tidak konsisten dalam memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap kelompok LGBT. Secara legal formal negara sudah mengakui hak asasi manusia melalui amandemen UUD 1945, UU No. 39 tahun 1999, dan Ratifikasi Kovenan Ekosob dan Kovenan Sipol. Bahkan pemerintah secara tegas menyebutkan, bahwa LGBT merupakan kelompok yang harus dilindungi negara dalam Rancangan Aksi Nasional HAM-nya (tahun 2004-2009).

Sebagai negara yang telah meratifikasi Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948 dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) melalui Undang-undang no.7 tahun 1984, Indonesia seharusnya melindungi hak asasi setiap warga negaranya tanpa memandang jenis kelamin, ras, suku, agama, dan orientasi seksualnya. Namun, kelompok LGTB justru tidak terpenuhi hak-hak mereka dan mengalami kerentanan kekerasan setiap waktu.

Selain itu, dalam Pasal 5 UU No.39 tahun 1999 tentang HAM dengan jelas menyatakan bahwa: (1) Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum; (2) Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dan pengadilan yang objektjf dan tidak berpihak; (3) Setiap orang yang termasuk kelompak masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.

Maka, seharunya sesuai UU HAM tersebut, tidak semestinya kelompok LGBT mengalami kekerasan dan diskriminasi. Hak kaum LGBT juga diakui secara internasional dalam Deklarasi Montreal yang berisi desakan kepada negara-negara di dunia untuk mengakui, memenuhi, dan melindungi hak mereka (Hasil Konferensi Internasional tentang Hak LGBT di Montreal, Canada, Juli 2006), dan Yogyakarta Principles (tahun 2007) yang memuat prinsip-prinsip pemberlakuan hukum internasional (Sipol dan Ekosob) atas hak-hak asasi manusia berkait dengan orientasi seksual dan identitas gender. Homoseksual, heterosksual, dan biseksual merupakan identitas manusia yang harus dihormati. Oleh karena itu, hak LGBT harus dijamin oleh negara dalam peraturan perundang-undangan.

Sehingga semestinya tidak ada satupun alasan bagi pemerintah untuk tidak melindungi mereka dan melanggengkan hate-crimes yang menimpa kaum LGBT. Jika pemerintah belum dan tidak sanggup, maka sebagai manusia yang bermartabat kita mesti melakukan sesuatu. Minimal tidak bereaksi negatif atas Konferensi Homoseksual dan Biseksual se-Asia ke-4.


* Penulis adalah staff Perkumpulan Alharaka Jombang, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jombang.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment