Oleh Ayu DF *

Angka pengangguran di Indonesia tiap tahun bertambah. Mengapa hal ini bisa terjadi? Salah satu faktor yang mendorong bertambahnya angka ini selain sempitnya lapangan pekerjaan adalah disebabkan oleh faktor pendidikan. Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan terbatasnya lapangan pekerjaan. Banyaknya anak usia sekolah yang kita lihat di jalanan sebagai pengamen, pengelap kaca.mobil atau jadi pengemis menjadi sebuah pertanyaan. Seharusnya anak – anak itu berada di bangku sekolah dan belajar bersama teman – teman sebayanya, bukannya di jalanan. Mereka punya hak untuk mendapat pendidikan yang harus dipenuhi oleh negara.

Pendidikan adalah hak setiap warga negara dan menjadi kepentingan publik yang harus disediakan oleh negara, bukan sekedar subsidi. Sayangnya dalam penyelenggaraan pendidikan itu sendiri, negara masih menyerahkan kepada pihak ketiga, seperti swasta, privat atau perusahaan yang menyebabkan biaya pendidikan menjadi mahal.

Padahal negara ini disebut dengan negeri yang kaya-raya, kaya akan bahan tambang, tanahnya subur, lautnya luas. Namun karena tidak meratanya pembangunan menyebabkan hanya segelintir orang saja yang menikmatinya. Akses ekonomi yang hanya diberikan kepada orang-orang tertentu ternyata menyuburkan korupsi. Sehingga rakyat yang menjadi korbannya, misalnya penetapan pajak yang tinggi untuk rakyat, pengesahan payung hukum tentang penanaman modal asing yang memberi kesempatan luas terhadap modal asing, UU Sisdiknas yang menjadikan pendidikan seperti barang dagangan, upah yang tidak layak bagi buruh maupun berkurangnya subsidi pupuk dan solar untuk petani dan nelayan.

Sistem hukum yang berlaku menyebabkan pendidikan seperti barang komersil atau barang dagangan, yang membuat biaya pendidikan menjadi mahal. Hal ini sangat dirasakan oleh rakyat di pedesaan. Ada seorang anak SD yang nekat gantung diri karena malu belum membayar SPP. Ada pula yang akhirnya menjual dirinya untuk membayar uang sekolahnya. Ataupun ada yang akhirnya memilih untuk tidak bersekolah sama sekali.

Sayangnya pemerintah kurang cepat dan tepat dalam menangani masalah ini. Bergantinya kurikulum pendidikan, tidaklah memecahkan masalah, karena yang berganti hanyalah namanya saja. Tetapi muatan pendidikannya tidaklah jauh berbeda. Sedangkan dari segi hukum, pemerintah tidaklah banyak bertindak. Hukum yang berlaku masih berpihak pada pihak ketiga.

Menggagas Pendidikan Alternatif

Sebenarnya dalam kurikulum pendidikan telah disusun pendidikan luar sekolah. Apa itu pendidikan luar sekolah? Pendidikan yang dilakukan di luar lingkungan sekolah atau bersifat non-formal. Contoh pendidikan luar sekolah ini adalah Kejar Paket A, Kejar Paket B, Kejar Paket C, Kursus, Home Schoolling, PAUD.

Kejar Paket A adalah persamaan untuk SD, Kejar Paket B untuk SMP, dan Kejar Paket C untuk SMA. Untuk segmen anak- anak usia balita, disediakan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) yang setara dengan TK (Taman Kanak – Kanak). Sedang untuk jenjang perguruan tingginya ada UT yaitu Universitas Terbuka. Sayangnya sosialisasi program ini kurang ada gaungnya. Padahal program yang disebutkan di atas, ada yang mendapat subsidi dari pemerintah. Seperti Kejar Paket, bila dilakukan kolektif per kelurahan atau kecamatan, dengan wadah PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), maka biaya yang dikeluarkan sangat murah. Kemudahan lain, waktu yang fleksibel dan tidak banyak menyita, biasanya hanya 1-2 kali seminggu saja. Biaya yang dikeluarkanpun hanya saat ujian saja. Untuk bahan ajarnya biasanya tidak diwajibkan membelinya.

Program PAUD setara dengan TK (Taman Kanak-Kanak). Tentu saja dengan perbandingan biaya yang jauh lebih murah. Para pengajarnya pun merupakan lulusan dari pendidikan jurusan PAUD itu sendiri. Sedang alternatif untuk perguruan tinggi ada UT (Universitas Terbuka). Selain biayanya yang lebih murah, waktunya pun lebih fleksibel. Mahasiswa tidak diharuskan bertemu dengan dosen setiap hari. Boleh mengatur sendiri berapa lama dia kuliah.

Selain program-program yang disebutkan di atas, ada juga pendidikan yang berbasiskan ketrampilan. Biasanya disebut dengan kursus. Waktu belajarnya relatif singkat, sekitar 3-6 bulan saja. Materi yang diajarkan biasanya lebih banyak prakteknya daripada teori. Besarnya biaya tergantung dari kualitas pengajar itu sendiri. Semakin profesional, biasanya semakin mahal. Masyarakat bisa menyiasati biaya ini menjadi murah dengan cara membangun PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) itu tadi. PKBM ini adalah pusat kegiatan menambah ilmu, dimana pengajarnya bisa berasal dari masyarakat itu sendiri, sehingga dapat memberdayakan potensi sumber daya manusia yang ada.

Sebenarnya banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencerdaskan masyarakat. Sayangnya fasilitas yang ada kurang mendukung. Dukungan pemerintah tidak merata, hanya di beberapa daerah saja. Harus ada perhatian yang serius dari pemerintah, sehingga angka putus sekolah dapat ditekan dan menghasilkan tenaga kerja yang berkualitas.

Alternatif paling memungkinkan adalah setiap komunitas atau organisasi massa membuat pendidikan-pendidikan dan dananya disiapkan oleh negara. Sehingga kesulitan biaya maupun jarak bisa teratasi, karena bagaimanapun pendidikan harus didasarkan atas kebutuhan masyarakatnya.

* Penulis adalah anggota Komunitas Kenduri Cinta, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

2 Comments:

  1. Muhammad Izzy said...
    Kenapa di negeri ini harus ada pendidikan alternatif ya,,,
    Memenuhi hak asasi manusia saja masih pakai "disortir" segala. Benar-benar gak paham...
    Muhammad Izzy said...
    Kenapa di negeri ini harus ada pendidikan alternatif ya,,,
    Memenuhi hak asasi manusia saja masih pakai "disortir" segala. Benar-benar gak paham...

Post a Comment