Silahkan mengikuti diskusi ini dan mohon pandangan kawan-kawan (agar pandangan kawan-kawan yang terlibat diskusi bisa disimak lebih banyak orang), selengkapnya di di

http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2009/07/diskusi-mahkamah-konstitusi-dan.html


Ini adalah 2 komentar pendek di milis temu-eropa atas posting saya Menjaga MK dan KPK dari Ancaman Pengebirian, Pembunuhan! (saya juga mempostingnya ke milis ini, dan dapat ditengok pada akhir posting diskusi ini)

Gua sendiri berpendapat MK ini justru harus ditinjau lagi kewenangannya. Sederhana saja: masak para hakim yang tidak dipilih rakyat ini bisa membatalkan keputusan parlemen yang dipilih rakyat. Demokrasi macam apa itu?
-Coen

Saya pikir, pendapat sdr. Coen ini benar juga.
Barangkali itu yang orang bilang Democrazy. Ya nggak?
YT Taher

Dalam posting Menjaga MK dan KPK dari Ancaman Pengebirian, Pembunuhan! saya merekomendasikan miliser untuk mencermati artikel yang ditulis Yance Arizona mengenai kajian atas putusan MK tentang Kuasa Negara atas SDA. Saya melihat artikel ini sangat relevan dengan persoalan besar yang dihadapi oleh negeri ini, yakni ancaman terhadap kontrak politik dan kontrak sosial yang bernama Konstitusi, ancaman neoliberalisme atas sendi-sendi berbangsa dan bernegara.

Dan di dalam sistim kenegaraan kita MK adalah benteng terpenting penjaga amanah konstitusi. Jangan sampai MK dikebiri dan diobok-obok! Jangan sampai MK dibunuh dalam sistem kenegaraan kita.

Atas komentar kedua kawan ini saya mempostingkan kembali respon balik sbb :

Pasal 18 UU No 24 tahun 2003 tentang MK menyebutkan (1) Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh MahkamahAgung, 3 (tiga) orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden, untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Memang hanya 3 orang hakim konstitusi yang dipilih oleh DPR (hasil pilihan rakyat), selebihnya 3 orang oleh Presiden (presidennya kini juga dipilih langsung oleh rakyat) dan 3 oleh MA.

Demikianlah Bung Coen, dan faktanya juga UU No 24 ini bikinan DPR hasil pilihan rakyat juga.

Bung Taher, kalau memang ini dianggap democrazy barangkali ini tidaklah totally democrazy.

Bagaimanapun juga inilah mekanisme kenegaraan yang bisa dimanfaatkan oleh rakyat untuk menghadang UU yang melanggar konstitusi, itulah yang dilakukan aliansi gerak lawan dan berbagai elemen organisasi atau individu ketika mengajukan gugatan.

Terbukti gerakan sosial atau gerakan rakyat selalu gagal menghadang UU yang 'bermasalah' (dan juga bertumbangan pula dalam perjalanannya menjadi caleg atau berparlemen). Tapi peluang tetap terbuka melalui mekanisme MK ini, walau mungkin kecil saja.


Komentar Coen

Bung Andreas,
Kekalahan gerakan sosial kan bukan menjadi alasan untuk memelihara anak macan (MK) begini. Kekalahan gerakan sosial dalam memajukan UU pro-rakyat dan ketidakmampuannya membendung UU reaksioner, itu satu soal. Tapi, keberadaan MK ini, soal lain. Siapa coba yang ngontrol MK ini, kecuali oligarki? Dan oligarki itu mmg ada di parlemen, di MA, juga di kantor kepresidenan. Juga, ketika MK membatalkan keberadaan KKR, apakah itu mnguntungkan bagi gerakan sosial?
-Coen

Komentar Yance Arizona

Bang Andreas,

MK hadir atas pertimbangan dan tanggapan atas perkembangan kehidupan bernegara. Beberapa diantaranya, Pertama impeachment Presiden Gusdur yang berlangsung secara politik, bukan atas dasar dan melalui prosedur hukum. Kedua, Pembubaran Partai atau Kelompok tertentu yang tidak disukai oleh pemerintah pada masa Orde Baru. Ketiga, UU yang tidak memihak kepada masyarakat dan bertentangan dengan konstitusi. Keempat, Eksekutif yang terlalu terlalu kuat sehingga memberi ruang kepada otoritarianisme. Untuk itu diperlukan check and balances.

Oleh karena itu, sampai saat ini kewenangan MK ada 4 dan ditambah satu kewajiban; (a) Menguji undang-undang terhadap UUD 1945; (b) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; (c) Memutus pembubaran partai politik; dan (d) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan (e) memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

Banyak putusan MK yang kontroversial. Beberapa putusan dianggap berpihak kepada masyarakat seperti putusan yang membolehkan eks PKI untuk ikut berkompetisi dalam pemilu, Pembatalan UU Ketenagalistrikan, Warga bisa ikut memilih dengan KTP dan Paspor dll. Tapi ada putusan lainnya yang kontrovesial, misalkan tentang KKR, Pilkada Langsung, UU Sumberdaya Air, UU Penanaman Modal dll. Tapi tetap ada harapan yang baik dari institusi ini. Apalagi bila kita bandingkan dengan Pengadilan konvensional.

Soal 9 orang membatalkan keputusan parlemen dalam satu sisi bisa dilihat sebagai penyangkalan terhadap kedaulatan rakyat. Tapi saya tidak sepenuhnya sependapat dengan itu. Pertama, pengalaman menunjukkan bahwa sejak MK berdiri sampai tanggal 13 juli 2009 sudah 47 UU atau bagian dari UU dibatalkan oleh MK. Tentu itu menunjukkan ada persoalan dengan parlemen kita dalam membuat Undang-undang. Kedua, saya sependapat dengan Jurgen Habermas yang menyatakan bahwa kedaulatan rakyat itu tidak membeku dalam tubuh parlemen. Karena itu, demokrasi akan lebih bermakna bila rakyat terlibat langsung dalam perumusan, pengambilan kebijakan dan pelaksanaanya. Partisipasi yang dalam bahasa Habermas, tindakan komunikatif, tidak pernah bisa benar-benar terwujud di parlemen kita. Uniknya, tindakan komunikatif yang dilakukan dalam bentuk perdebatan dan kritik-kritik rasional malah terjadi dipersidangan pengujian UU oleh MK. Pihak-pihak yang terlibat berargumen mendatangkan ahli dan membawa barang bukti di depan persidangan. Ketiga, kepercayaan yang terlalu tinggi kepada parleman bisa membuat terpersotot ke dalam model oligarki, negara yang dikelola oleh sekumpulan orang pencari rente. Banyak kasus korupsi yang dilakukan oleh anggota parlemen membenarkan itu. Keempat, MK bahkan melalui beberapa putusannya
memberikan akselerasi bagi pengembangan demokrasi, misalkan calon independen dalam pilkada dan memperbolehkan KTP dan Paspor untuk menyontreng baru-baru ini. Barangkali ini sesuai dengan visi MK tentang Negara Hukum yang Demokratis.

Ada beberapa kritik terhadap kewenangan MK ini. Prof Satjipto Rahardjo menghimbau agar hakim MK benar-benar hati-hati dan menggunakan nurani dalam memutuskan perkara, sebab putusan tersebut menyangkut banyak orang. Salah-salah kewenangan MK yang terlalu besar dan tidak terkontrol malah bisa menjadi "kediktatoran pengadilan". Selain itu, Prof Satjipto Rahardjo mengembangkan wacana agar MK tidak saja didominasi oleh sarjana hukum sebab MK itu adalah milik bangsa Indoenesia dan tidak semua rakyat Indonesia adalah sarjana hukum. Menurut beliau, kedepan MK perlu juga diisi oleh orang dari luar orang hukum, misalkan sarjana ilmu politik, sarjana pendidikan, sarjana lingkungan dll. Saat ini MK memang terdiri dari 9 orang hakim yang masing-masing 3 orang wakil Pemerintah, DPR dan MA. Kompsisi ini sebenarnya
untuk menciptakan check and balances antara 3 lembaga negara utama sesuai
ajaran Montesquieu, eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Selain persoalan tersebut, persoalan lain sebagai mana saya catat dalam tulisan Konstitusi dalam Intaian Neoliberalisme adalah soal bagaimana hakim memilih cara-cara penafsiran untuk menjadi pembenar pengadopsian neoliberalisme di Indonesia. Putusan MK terkait konstitusionalitas penguasaan sumberdaya alam sangat terkesan akomodatif, pada satu sisi melegalisasi keinginan pemerintah dan parlemen yang neoliberal, tapi pada sisi lain mengoreksi beberapa kebijakan tersebut seperti dalam putusan pengujian UU Ketenagalistrikan, UU Sumbedaya Air dan UU Penanaman Modal.

Constitutional Complaint

Saat ini ada wacana yang dikembangkan agar MK mendapat kewenangan baru untuk menangani pengaduan atau keluhan konstitusional dari masyarakat. Kewenangan ini dikenal dengan constitutional complaint. Dalam mekanisme ini, individu atau masyarakat dapat mengajukan gugatan melalui MK terhadap peraturan, keputusan pemerintah atau keputusan pengadilan yang merugikan hak konstitusional warga. Bila mekanisme diterapkan dan ditafsir secara luas, maka mekanisme ini bisa menjadi arena baru perjuangan masyarakat yang selama ini masih menjadi korban pembangunan dan ekspansi modal. Misalkan para petani dan masyarakat adat dapat menggugat konstitusionalitas luas hutan negara yang diklaim sekitar 120 juta Ha oleh Dephut karena penetapan luas itu membuat hak-hak masyarakat adat yang sudah hidup lebih lama di kawasan hutan tersebut terabaikan, petani-petani tak bertanah yang menggarap lahan yang termasuk kawasan hutan yang dikriminalisasi.

Demikian juga dapat dipakai untuk perjuang lingkungan bila upaya hukum dan upaya administrasi yang dilakukan tidak pernah berpihak kepada pelestarian lingkungan hidup. Kasus lumpur lapindo bisa menjadi salah satu objek constitutional complaint. Tapi mekanisme ini masih belum berlaku sampai adanya amandemen konstitusi atau perubahan UU MK.

Saya percaya bahwa demokrasi itu bukan hanya soal substansial, tetapi juga formal. Oleh karena itu, hukum dan perangkat kelembagaan menjadi tidak kalah penting. Meskipun pandangan Marxian menyatakan bahwa hukum merupakan alat penindasan oleh kelas penguasa terhadap jelata, hukum tetap diperlukan. Hukum pun bisa menjadi alat untuk mengafirmasi dan membebaskan (Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, 2006). Hukum menjadi sarana untuk menghindari anarki, sebab hukum setidak-tidaknya bisa menjadi "sabuk pengaman" sosial. Tanpa hukum, democrazy benar-benar akan terjadi.

Semoga tulisan ini menjadi pemancing untuk berdiskusi lebih lanjut

Salam,

Yance Arizona

Posting Awal saya.

Menjaga MK dan KPK dari Ancaman Pengebirian, Pembunuhan!

Kawan-kawan saya merekomendasikan anda membaca artikel menarik yang ditulis oleh Yance Arizona terkait Kajian atas Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Kuasa Negara Atas Sumber Daya Alam (SDA). Judulnya Konstitusi Dalam Intaian Neoliberalisme; Konstitusionalitas Penguasaan Negara Atas Sumberdaya Alam Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi.

Menurut saya artikel ini sangat relevan dengan persoalan besar yang dihadapi oleh negeri ini, yakni ancaman terhadap kontrak politik dan kontrak sosial yang bernama Konstitusi, ancaman neoliberalisme atas sendi-sendi berbangsa dan bernegara. Dan di dalam sistim kenegaraan kita MK adalah benteng terpenting penjaga amanah konstitusi. Jangan sampai MK dikebiri dan diobok-obok! Jangan sampai MK dibunuh dalam sistem kenegaraan kita.

Saya juga ingin mengingatkan bahwa KPK juga merupakan benteng penting untuk melawan pengurasan kekayaan alam dan pengebirian pelayanan publik di sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak. Di sektor ini jugalah berputar dana panas yang melimpah sumber KKN.

selengkapnya
http://www.scribd.com/doc/13164468/Konstitusi-Dalam-Intaian-Neoliberalisme-Konstitusionalitas-Penguasaan-Negara-Atas-SDA

baca juga
Skripsi Yance dengan Judul: Penafsiran Mahkamah Konstitusi Terhadap Pasal 33 UUD 1945: Perbandingan penafsiran MK dalam putusan Pengujian UU No 20 Tahun 2001 tentang Ketenagalistrikan dengan putusan Pengujian Undang-undang No 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Dipertahankan dalam sidang komprehensif untuk mendapatkan Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Andalas tanggal 9 Maret 2007

http://yancearizona.files.wordpress.com/2008/11/penafsiran-mk-terhadap-pasal-33-uud-1945.pdf

0 Comments:

Post a Comment