Oleh Mulyono *


Tahukah kita, angka Rp 1.667 triliun adalah jumlah total utang luar negeri RI sampai dengan 2008? Ini belum lagi utang tambahan dengan alasan “dana talangan” untuk mengatasi krisis ekonomi global, baik dari ADB, yang melakukan pertemuannya di Bali dan dari Negara-Negara G20. Lalu apa arti semua ini? Digunakan untuk apa uang sebesar itu oleh pemerintah? Apa yang bisa diperbuat rakyat ke depan?

Dengan utang sebesar Rp. 1.667 trilliun, berarti:

Pertama, setiap satu penduduk Indonesia harus menanggung utang Rp. 7.700.000 termasuk bayi yang baru lahir, dengan asumsi jumlah penduduk Indonesia sebanyak 220 juta jiwa.

Kedua, setiap tahun 52% dari total APBN Indonesia yang terserap dari pajak rakyat diperuntukkan membayar utang, dengan rincian yakni 30% dari APBN untuk mencicil utang dan 22% APBN untuk membayar bunga maupun commitment fee atas perjanjian utang. Pembayaran ini akan semakin besar bila terjadi kenaikan nilai mata uang asing, terutama negara pemberi utang, seperti Yen Jepang dan Dollar US.

Ketiga, Pemerintah SBY-JK berhasil membawa Indonesia kembali menjadi negara pengutang dengan kenaikan Rp 392 triliun dalam kurun waktu kurang lima tahun, dimana tahun 2004 angka utang Indonesia sebesar Rp. 1.275 trilliun atau rata-rata berutang Rp. 80 trilliun setiap tahun.

Keempat, Negara Indonesia sudah dikapling-kapling peruntukkannya berdasarkan kepentingan si pemberi utang, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya. Semua kebijakan aturan yang dibuat pemerintah mengabdi pada pemberi utang, seperti Bank Pembangunan Asia (ADB), Bank Dunia (World Bank), Jepang, Amerika, Jerman, Belanda.

Kelima, Indonesia masih harus mencicil utang sampai tahun 2045. Artinya selama itu pula kita dan anak cucu kita terus menjadi sapi perah kreditur asing. Pemerintah Indonesia membuat 4.524 perjanjian utang sejak 1970 dengan pihak luar negeri.

Catatan di atas menunjukkan betapa rapuh ketahanan ekonomi negara ini yang melandaskan pembangunannya pada utang. Dan dengan posisi seperti itu adalah kedaulatan negara yang tidak lagi mandiri. Puncak dari ketidakmandirian negara akibat jeratan utang adalah saat ditandatanganinya perjanjian dengan IMF, walau sudah putus sejak 2003, dengan memaksakan melunasi utang kepada IMF. Kebijakan tersebut yang merupakan resep IMF (sebagai alat neoliberalisme menjalankan programnya) tetap dijalankan hingga sekarang, yakni pertama, intervensi pemerintah harus dihilangkan atau dikurangi untuk menghindari distorsi pasar. Kedua, privatisasi seluas-luasnya dalam bidang ekonomi hingga mencakup bidang-bidang yang selama ini dikuasai oleh negara. Ketiga, liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi dan semua proteksi harus dihilangkan sedangkan yang terakhir memperbesar dan melancarkan arus masuk investasi asing dengan fasilitas-fasilitas yang lebih luas dan lebih longgar atau dengan kata lain penguasaan asing terhadap unit ekonomi baik swasta maupun negara harus diperkenankan.

Yang membuat kita sebagai rakyat bertambah miris adalah fakta-fakta serta temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa sejak tahun 1997 hingga 2005 pemerintah baru memanfaatkan utang negara sebanyak 44 persen. Sisanya tidak pernah dimanfaatkan oleh pemerintah untuk pembangunan.

Fakta tersebut didapat dari kajian terhadap pengelolaan utang luar negeri tahun 2006 dan 2007. Data yang diambil adalah data bantuan luar negeri tahun 1997 hingga 2005 dan terdapat 2.214 persetujuan pinjaman senilai Rp 917,06 triliun yang selesai dicairkan namun tidak dipergunakan dengan baik. Selain itu dari hasil audit BPK terhadap 66 loan agreement senilai Rp 45,29 triliun diketahui bahwa bantuan itu digunakan untuk membiayai proyek-proyek di kementerian dan lembaga.

Dengan data seperti itu, maka kita bisa memahami bahwa 44% dana utang luar negeri yang dipergunakan untuk negara dan 56% entah ke mana larinya (termasuk dari sini koruptor kelas kakap mencuri uang). Dari 44% tersebut sebagian dianggarkan untuk membiayai kementerian dan lembaga. Sisanya adalah untuk program seperti BLT, PNPM, JPS, yang seolah-olah program dan uang negara tetapi uang hasil utangan dengan bunga dan biaya tinggi harus ditanggung rakyat. Anggaran dari dana utang tersebut juga diperuntukkan untuk membantu pengusaha yang bangkrut, seperti program BLBI dan JPS keuangan serta stimulus fiskal tahun 2009-2010. Terlihat di sini porsi untuk membangun infrastruktur dan fasilitas rakyat sangat kecil sekali.

Membangun kuasa rakyat atas negara

Fakta di atas tidak bisa hanya kita sesali sambil mengumpat tanpa berbuat sesuatu. Benar semua kesalahan, sehingga utang luar negeri Indonesia menumpuk begitu besar diawali dari Soeharto saat berkuasa dan dengan rela dijerat oleh rentenir kelas dunia. Soeharto tidak sendirian, dia didukung oleh intelektual pro pemodal dan elit politik pengusung neoliberalisme yang memperkaya dirinya sendiri.

Kesalahan yang terus dibongkar dan dihujat habis ternyata masih dengan setia dilanjutkan oleh penerusnya hingga kini. Bahkan bukti sudah menunjukkan SBY-JK menjadi rezim yang mengikuti jejak soeharto, dari pola mengutang dan kebijakannya.

Maka, yang harus dicari adalah solusi jangka panjang agar rakyat keluar dari semua kesulitan jangka panjang ini, agar anak dan cucu kita ke depan bisa menjadi bangsa yang merdeka 100%. Upaya bisa dimulai dari pendesakan secara masif kepada negara untuk menghapus utang luar negeri dan membangun kemandirian ekonomi atas bangsa ini melandaskannya pada UUD 1945 pasal 33. Hal lainnya adalah dengan pemutihan utang tersebut. Keduanya butuh keberanian sikap politik dari pemerintah.

Di sini peranan kekuatan politik rakyat melalui organisasi massa dan organisasi politik bisa diperbesar dengan membangun kesatuan gerak untuk memperjuangkan dan mengawasi kemandirian ekonomi bangsa dengan tidak mengutang lagi. Untuk strategi jangka panjangnya adalah bagaimana membangun industri berbasis kepentingan rakyat dan SDA secara nasional serta terlibat aktif dalam kekuasaan politik.

Bila kekuatan rakyat yang terorganisir masif menyatukan diri, mendesakkan tuntutan dan terpimpin dalam program dan kepempinan secara nasional, maka bisa diyakini Indonesia keluar dari jeratan renternir neoliberlisme dan membangun sistem baru berdasarkan cita-cita mula pendirian negara ini.


* Penulis adalah pengurus serikat buruh di Bandung, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment