SADAR
Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi
Edisi: 213 Tahun V - 2009
Sumber: www.prakarsa-rakyat.org
ANDAIKAN TENAGA KERJA INDONESIA TIDAK DIEKSPLOITASI
Oleh Supandi *
Persoalan Buruh Migran Indonesia (BMI) di luar negeri memang tak kunjung padam, bahkan semakin hari semakin parah. Pada saat krisis ekonomi menghantam dunia, BMI juga terkena imbasnya. Yakni akan di-PHK dan pasti dideportasi pulang ke Indonesia sekitar 150.000 orang dari berbagai negara. Ini menambah derita dan daftar kesengsaraan yang diterima oleh BMI, selain penyiksaan, hukuman penjara. Nah, jarang orang atau lembaga mau melihat lebih dalam sumber-sumber persoalan kenapa BMI menjadi sangat menderita.
Salah satu problem yang muncul adalah karena BMI dijadikan komoditas oleh negara/pemerintah. Pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab langsung dalam penempatan dan perlindungan, tetapi pada prakteknya diserahkan kepada swasta (yang jelas cari untung besar) yakni PJTKI/PPTKIS. Persoalanannya kemudian, PJTKI selama ini tidak melakukan perekrutan secara terbuka tetapi memakai sistem calo atau sering disebut sponsor atau petugas lapangan (PL). Di sinilah penderitaan BMI dimulai, selain sosialisasi tentang bagaimana menjadi TKI yang benar juga sangat kurang.
Untuk mendapatkan calon BMI yang banyak dan warga mempercayainya, para calo dibekali SIUP dan surat ijin dari PJTKI dan kabupaten/kota yang berada di Jakarta atau kabupaten. Calo kabupaten mendatangi ke desa-desa dan kecamatan mencari kontak yang bisa diajak kerja sama untuk mendatangi ke rumah-rumah warga yang berada di pedesaan. Karena kalau tidak ada orang yang dikenal, orang tua calon BMI dan suaminya serta warga, tidak percaya begitu saja melepaskan anak-anak dan istri-istri mereka dibawa begitu saja.
Dengan kelicikan calo, warga seakan-akan percaya begitu saja, terkadang calo tak pandang bulu merekrut calon TKI, ada yang berusia 15 tahun, ada juga yang berusia 17 tahun. Untuk melakukan itu, calo bekerja sama dengan kepala desa dan instasi kabupaten setempat. Inilah ketidaktahuan masyarakat kalau anak mereka yang masih belum cukup usia disuruh untuk menjadi calon TKI.
Sebelum berangkat ke PT (PJTKI) biasanya orang tua calon TKI dan keluarganya diberikan uang oleh calo sebesar Rp 1 juta, ada juga yang diberi pinjaman duit. Jadi keluarga calon TKI semangkin percaya. Akibatnya banyak orang terjebak pada calo yang secara liar melakukan perekrutan ke berbagai pelosok pedesaan atau kepada masyarakat terutama yang tidak memiliki sumber informasi.
Dengan cara merayu dengan iming-iming tiga “kalimat saktinya” yaitu proses cepat, biaya murah, dan gaji besar. Setelah calo mendapatkan “mangsa” calon buruh migran dan memungut sejumlah uang, calo tersebut membawa “mangsa” ke kantor PJTKI. Dan ketika calo mengantar dan menyetor “mangsa” ke PJTKI, calo akan mendapatkan komisi dari yang besarnya bervariasi seperti Timur Tengah maksimal Rp. 3.000.000, Hongkong maksimal hingga Rp. 4.000.000, khusus Taiwan mendapatkan imbalan Rp. 500.000. Sedangkan Singapura dan Malaysia maksimal Rp. 4.000.000, jadi calo dapat memberikan semacam uang saku kepada calon TKI sebesar Rp 1.000.000 sampai Rp. 1.500.000.
Maka tidak mengherankan orang akan berlomba-lomba menjadi calo TKI karena mudahnya mendapatkan uang, cepat dan kerjanya tidak berat. Bandingkan saja dengan pekerjaan sebagai buruh tani, untuk menyekolahkan anak dan memenuhi kebutuan sehari-hari tidak cukup. Ingin menambah penghasilan dengan bekerja ke Jakarta, namun tidak mempunyai keahlian yang memadai. Bila saja pemerintah membuka lowongan pekerjaan yang layak, pasti orang tidak ada akan memilih untuk menjadi calo TKI.
Apa yang harus dilakukan buruh migran?
Pertama, yang harus diperhatikan ialah PJTKI (termasuk calo sebagai kaki tangannya) merupakan organisasi yang memiliki modal untuk menjalankan kepentingannya sendiri yaitu untuk mendapatkan profit sebanyak-banyaknya. Jadi BMI harus bertopang kepada usaha dan kekuatannya sendiri dan tidak bisa mengandalkan keberadaan PJTKI karena tujuan organisasinya bukan untuk mensejahterakan buruh migran.
Dalam berbagai kasus BMI, kebijakan majikan yang akan melakukan PHK sepihak misalnya, ataupun sakit, meningal karena sakit, penyiksaan, pemerkosaan dan pelanggaran sewaktu kerja, BMI harus meminta surat keterangan dari KBRI. Kemudian disahkan oleh petugas bandara dan agency, surat keterangan dari rujukan rumah sakit atau puskesmas, bila BMI mengalami sakit. Serta surat kepolisian setempat, dan surat visum bila diperkosa oleh majikan atau agency dan surat lain-lainnya.
Banyak juga calo yang memeras BMI yang sudah berangkat ke luar negeri. Sebelum berangkat ke PJTKI, calon BMI membuat surat pernyataan perihal utang-piutang dalam mengurus dokumentasi dan transportasi. Surat pernyataan inilah yang dijadikan senjata oleh calo. Keluarga BMI yang berada di kampung didatangi oleh calo dan menagih perjanjian antara keluarga BMI dan calo tersebut.
Masyarakat sudah cukup jelas dirugikan oleh calo karena ketidaktahuan keluarga buruh migran, calo sering meminta uang jasa kepada warga, ditambah lagi bila terjadi kasus, keluarga korban juga diperas oleh calo. Sebagai contoh, seorang BMI yang terkena kasus di luar negeri, tidak dibantu oleh si calo. Padahal seharusnya ini adalah tanggung jawab calo. Biasanya calo melemparkan tangung jawab kepada pihak keluarga BMI. Selain itu terdapat pula calo yang mau menguruskan permasalahan BMI yang bermasalah, namun sambil memeras anggota keluarganya.
Kedua, yang perlu diwaspadai adalah kesepakatan antar pemeritah (G to G) bagi BMI yang akan berangkat ke Korea dan Jepang. Program pemerintah yang masih melibatkan pihak swasta (PJTKI) ini telah membuka ruang bagi para calo untuk memperdagangkan BMI. Padahal pemerintah sudah mengeluarkan Undang-Undang 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Seharusnya pemerintah sadar bahwa rakyatnya saat ini banyak yang diperjualbelikan ke luar negeri. Kebijakan semacam ini semakin memperjelas bahwa pemerintah masih berwatak kapitalistik dengan cara-cara feodal.
Ketiga, BMI dan anggota keluarganya harus berserikat, membentuk organisasi untuk berhadapan dengan PJTKI agar memiliki posisi tawar yang kuat. Bila menghadapinya sendiri-sendiri, BMI diibaratkan seperti semut yang melawan gajah. Apa itu berserikat? Serikat buruh adalah sebuah wadah, alat untuk memperjuangkan hak-hak sebagai buruh migran dan anggota keluarganya. Perjuangan untuk mendapatkan upah yang layak dan perlindungan sebagai warga negara Indonesia, hanya dapat dirasakan bila buruh migran berserikat.
* Penulis adalah Ketua Forum Keluarga Buruh Migran Indonesia (FKBMI) Subang, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.
** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).