SADAR

Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi
Edisi: 206 Tahun V - 2009
Sumber: www.prakarsa-rakyat.org

INSPIRASI MEI, BULAN PERLAWANAN RAKYAT

Oleh Alfa Gumilang *


Menelusuri sejarah lalu di bulan Mei, maka akan kita temukan sebuah pengalaman luar biasa yang merupakan sebuah torehan sejarah, hasil dari gerak berlawannya rakyat. Mengilhami dari apa yang telah terjadi di masa lalu tersebut, bukan sebuah kesalahan dan seremonial belaka jika kita mengingat dan memperingatinya pada saat sekarang ini.

May Day

Bukan sekedar peringatan dan perayaan atas kemenangan leluhur pejuang kelas buruh yang berhasil memperjuangkan 8 jam kerja pada tahun 1886 di Haymarket, Chicago, Amerika Serikat. Lebih dari itu, pada tanggal 1 Mei 1918, itulah saat pertama kali Hari Buruh Sedunia diperingati oleh rakyat Hindia Belanda/Indonesia, dan itulah saat pertama kali hari buruh diperingati di Asia. Berawal dari sebuah usaha meredam banyaknya gerak perlawanan rakyat pada masa penjajahan kolonial, yang kemudian direspon oleh pemerintahan kolonial Belanda dengan membuat sebuah “dewan rakyat” yang anggotanya diangkat oleh pemerintah Belanda. Menanggap keberadaan dewan rakyat ini tidak serta-merta mewakili kepentingan rakyat, berbagai organisasi yang ada pada saat itu seperti Sarekat Islam, Budi Utomo, Insulinde, Pasundan dan Perkumpulan Sosial Demokratis Hindia, membentuk Konsentrasi Radikal pada tahun 1918. Dan untuk melanjutkan bentuk perlawanan politiknya, berbagai macam serikat buruh yang ada pada waktu itu, di antaranya Perserikatan Guru Hindia Belanda, Perserikatan Pegadaian Pribumi, Serikat Buruh Pekerjaan Umum, Serikat Buruh Pabrik Gula, Serikat Buruh Percetakan, Sarekat Postel, Serikat Pegawai Kehutanan, dan Serikat Buruh Kereta Api (VSTP). melakukan mogok nasional pada tanggal 1 Mei 1918.

Satu Mei 2009, saat dimana penjajahan telah menemukan bentuk barunya dan penghisapan terhadap rakyat pekerja juga tak juga terhenti, berbagai serikat buruh mengulang kembali peringatan Hari Buruh Sedunia. Namun nuansa berbeda dapat kita imajinasikan dalam perbandingannya di peringatan hari buruh 91 tahun lalu. Fragmentasi terlihat semakin mengerucut, antara mereka yang berjuang untuk kelasnya dan mendorong gerakan ini kepada arah yang politis, dengan mereka yang hanya terus berkutat pada kesadaran normatif dan terjebak pada momen pemilihan umum. Untuk ke-4 kalinya, Aliansi Buruh Menggugat (ABM) melakukan aksi di depan Istana Presiden yang merupakan simbol kekuasaan pemerintah Indonesia. Tak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan 91 tahun lalu, saat ini pun ABM menyatakan bahwa keinginan buruh untuk mendapatkan hak dasarnya dan mempropagandakan kekuasaan kelas pekerja sebagai solusi atas kondisi sosial-ekonomi-politik saat ini.

Hari Pendidikan Nasional

Yogyakarta, 2 Mei 1889. Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Dan semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya. Setelah pulang dari pengasingan selama 5 tahun di negeri Belanda akibat kritik dan protesnya terhadap penjajahan belanda, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, National Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Dengan slogannya yang tidak asing, tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan). Dan atas jasa-jasanya, pada tanggal kelahiranya diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Seratus dua puluh tahun kemudian, 2 Mei 2009, tak lagi terasa hingar-bingar kesadaran untuk mengingat perjuangan mendapatkan pendidikan dan kemerdekaan. Negeri ini kembali mengulang suramnya pendidikan, saat hal tersebut hanya dapat diakses oleh mereka yang memiliki uang. Sementara bagi para rakyat pekerja yang secara ekonomi tak mengalami perubahan yang berarti, tak akan pernah mendapatkan pendidikan. Komersialisasi dan kapitalisasi dalam dunia pendidikan telah menggerogoti pondasi negeri ini, sementara kesadaran mereka yang muda dalam melihat pendidikan nasional tak dapat dibandingkan dengan Ki Hajar Dewantara. Hanya mereka yang datang ke depan Istana Negara, mereka yang berteriak-teriak menolak komersialisasi pendidikan lah yang dapat meneruskan apa yang telah dahulu dimulai oleh Ki Hajar Dewantara.

Kematian Marsinah

9 Mei 1993, seorang buruh perempuan asal Nganjuk Jawa Timur, bernama Marsinah ditemukan meninggal dengan luka-luka di tubuhnya. Dan menurut Dokter yang melakukan visum terhadap tubuh Marsinah, Marsinah diperkirakan meninggal satu hari sebelumnya, atau tepatnya 8 Mei 1993. Meninggalnya Marsinah ditengarai karena keterlibatanya bersama 12 orang temannya sesama buruh PT. Catur Putra Perkasa yang menuntut kepada perusahaan untuk menaikkan upah buruh dari Rp. 1.700 menjadi Rp. 2.250 dan tunjangan tetap Rp. 550 per hari, serta kebebasan berserikat bagi buruh.

Dan tepat pada tanggal 8 Mei 2009, ABM melakukan aksi peringatan 16 tahun meningalnya Marsinah di Bundaran HI. Dimana dalam aksi massa tersebut, mereka menggunakan topeng Marsinah dan membentangkan spanduk bertulisakan “Negara Harus Bertanggung Jawab Atas Kematian Marsinah dan Jadikan Marsinah Sebagai Pahlawan Nasional.” Aksi tersebut ditujukan untuk mengingatkan kepada publik akan kematian Marsinah yang sampai saat ini belum juga diselesaikan oleh negara. Dan memperjuangkan Marsinah sebagai pahlawan nasional adalah sebuah bentuk perjuangan kontra hegemoni, sehingga masyarakat secara umum dapat membandingkan dan melihat orang-orang yang mati karena memperjuangkan kepentingan masyarakat luas. Aksi damai tersebut kemudian disambung dengan mengadakan sebuah panggung budaya di pelataran LBH Jakarta.

Tragedi Trisakti dan Peristiwa Kerusuhan Massal di Jakarta

Ini adalah sebuah rentetan peristiwa besar yang terjadi di Jakarta menjelang jatuhnya Soeharto. 12 Mei 1998, ribuan mahasiswa Universitas Trisakti melakukan unjuk rasa untuk menuntut mundurnya Soeharto dari kekuasaan. Mereka bermaksud mendatangi gedung MPR/DPR, namun niat tersebut dihalangi oleh aparat keamanan yang menghadang tak jauh dari kampus Trisakti. Kemudian terjadi bentrokan antara aparat keamanan dengan mahasiswa, bahkan berujung dengan penembakan terhadap mahasiswa Trisakti yang berakibat meninggalnya 4 mahasiswa Trisakti. Pagi hari di tanggal 13-14 Mei 1998, saat kondisi di ibu kota semakin memanas terkait dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya dan banyaknya demonstrasi mahasiswa menuntut turunnya Soeharto, sekelompok orang tak dikenal melakukan provokasi kepada masyarakat untuk melakukan penjarahan dan pembakaran berbagai tempat perbelanjaan. Bahkan di beberapa tempat kejadian, masih banyak orang-orang yang ada di dalam tempat perbelanjaan tersebut ketika terjadi pembakaran sehingga banyak jatuh korban. Tak hanya itu, kemudian juga muncul satu sentimen rasial anti China yang dilempar ke masyarakat yang berlanjut dengan banyak ditemukannya kasus pemerkosaan terhadap perempuan etnis China. Anehnya pada saat kejadian tersebut berlangsung, hanya ada sedikit aparat kepolisian yang berada di sekitar lokasi dan tak mampu berbuat apa-apa. Hal ini sengaja dilakukan untuk mengaburkan konflik yang ada sebelumnya antara masyarakat dengan negara di bawah pemerintahan diktator Soeharto.

12-13-14 Mei 2009. Berbagai unjuk rasa muncul di Jakarta. 12 Mei 2009 ribuan mahasiswa Trisakti mendatangi Istana Negara untuk menuntut penuntasan kasus tragedi Trisakti. 13-14 Mei 2009, sekelompok masyarakat yang merupakan korban dan keluarga korban kerusuhan di Jakarta, juga melakukan aksi menuntut hal yang sama. Aksi tersebut dilakukan di dua lokasi yaitu aksi ziarah ke makam para korban kerusuahan dan aksi tabur bunga di depan “Mall Jogja” di daerah Klender yang pada tahun 1998 terbakar dan merenggut banyak korban.

Lengsernya Soeharto

Pada 21 Mei 1998, rentetan aksi unjuk rasa yang berlangsung sebelumya, menemui titik puncaknya. Ratusan ribu mahasiswa dari berbagai kampus di Jakarta mendatangi gedung DPR/MPR dan berhasil menduduki gedung rakyat tesebut untuk menuntut turunya Soeharto. Aksi tersebut juga diikuti di berbagai daerah di Indonesia. Kejengahan rakyat atas semakin mahalnya kebutuhan bahan pokok akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia, serta maraknya praktek KKN yang melanda pemerintahan dan birokrasi negera, membuat jutaan rakyat Indonesia mendukung penuh apa yang menjadi tuntutan dari mahasiswa untuk melakukan reformasi total di negeri ini.

Ratusan kendaraan bermotor roda dua dan pengendara berbaju merah melakukan sebuah aksi konvoi dengan tema Napak Tilas Turunnya Soeharto. Melewati beberapa jalur dan tempat dimana masyarakat berkumpul dan melakukan aksi di tahun 1998, ABM membagikan selebaran dan orasi politik dalam aksi peringatan tersebut. Aksi tersebut kembali lagi untuk mengingatkan kepada rakyat Indonesia atas sebuah keberhasilan yang terjadi di tahun 1998, dimana rakyat Indonesia mampu menggulingkan kediktaktoran pemerintahan Soeharto.

* Penulis adalah anggota kesekretariatan Aliansi Buruh Menggugat, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment