Oleh Khamid Istakhori * Bulan Mei, seakan telah menjadi takdir sejarah bagi gerakan rakyat di Indonesia untuk menjadi bulan perlawanan. Bulan dimana rakyat bersama-sama menemukan momentum untuk meneguhkan sikapnya dan menempatkan dirinya secara lebih terhormat dan berdaulat di hadapan kekuasaan negara yang hari ini jalan pikir dan jalan kebijakannya dikendalikan oleh kepentingan sistem yang tidak berpihak pada rakyat, lebih dikenal sebagai model penjajahan gaya baru, neoliberalisme. Baru beberapa hari yang lalu, gerakan rakyat terutama buruh menemukan titik awal membuka babak baru perlawanannya. 1 Mei, peringatan Hari Buruh Internasional yang sangat populer dengan sebutan May day semakin menemukan posisi pengakuan bukan saja di hati sanubari kaum buruh, namun juga di pihak lawan yaitu pengusaha dan pemerintah. Pengakuan di hati kaum buruh, tentu dapat dilihat dengan antusiasnya kaum buruh menyambut peringatan May day dari tahun ke tahun meski untuk tahun ini disinyalir mangalami penurunan mobilisasi yang cukup signifikan. Tapi, itu tak cukup alasan bagi kita untuk mengatakan bahwa May day tahun ini tidak memberikan arti penting. Justru kita melihat kualitas peringatan May day tahun ini semakin kuat dengan ditandai tuntutan yang semakin naik kekuatan politiknya. Bayangkan, May day yang diorganisir oleh Aliansi Buruh Menggugat (ABM)-Cawapres adalah bukan pemimpin kami, bukan pemimpin rakyat. Tentu ini hanya akan lahir dari sebuah keberanian dan ketegasan sikap politik yang dihasilkan dari pisau bedah yang diasah dari pengalaman perlawanan sehari-hari dan belajar dari pengalaman sejarah. Masih menurut ABM, bagi kaum buruh, pemimpin mereka adalah pribadi-pribadi kokoh yang lahir dari balik tembok-tembok perlawanan di pabrik, dari bilik kontrakan kaum buruh yang sempit, dari lorong-lorong dan deru mesin produksi dan siapa lagi mereka kalau bukan para buruh dan para pemimpin serikat buruh yang mendedikasikan hidupnya bukan untuk gemerlap dunia penuh selebrasi, namun kesadaran untuk mengedepankan kepentingan kalangan yang lebih luas, para buruh dan rakyat tertindas lainnya. Sikap ini, tentu saja menjadi alternatif tandingan yang utama atas garis politik serikat-serikat buruh kuning yang pragmatis bermain-main dengan elit kekuasaan, serikat buruh pragamatis yang rela menempatkan para elitnya menjadi caleg dari partai-partai borjuasi meskipun sebenarnya mereka sadar, partai-partai itu pula yang telah menghasilkan sistematika penindasan atas nama regulasi, undang-undang dan peraturan lainnya. Meskipun kemudian mereka tertipu, salah hitung karena sebagian besar atau bahkan semuanya gagal melaju menjadi anggota legoislatif. Ini tanda bahwa mereka para elit yang men-caleg-kan dirinya tidak populer dan tidak membumi di hati anggotanya. May day, telah menjadikan dirinya picu ledak bagi upaya-upaya perlawanan pada kesempatan berikutnya semisal perlawanan menggugat sistem pendidikan nasional dalam Hari Pendidikan Nasional, peringatan kematian Marsinah 8 Mei, peringatan Tragedi 13 Mei, peringatan Kebangkitan Nasional 20 Mei dan puncaknya dalam peringatan tumbangnya Orde Baru 21 Mei. Namun, di sela-sela momentum perlawanan pada bulan Mei ini, ada sesuatu yang sangat menyentak kesadaran kita semua, yakni hadirnya sosok Marsinah sebagai ikon perlawanan bukan saja buruh perempuan, namun gerakan buruh secara luas bahkan ikon perlawanan rakyat pekerja. Ya, Marsinah yang dalam momentum perlawanan pada bulan Mei ini diperingati tanggal kematiannya pada 8 Mei. Terbunuhnya Marsinah, sebagaimana kalimat pada awal tulisan ini, sejatinya menunjukkan bahwa negara sedang dalam posisi yang panik, kehilangan legitimasi dan kekhawatiran berlebihan karena merasa eksistensinya terancam. Dan berita terbunuhnya Marsinah, menyatakan hal itu secara lebih tegas. Terbunuhnya Marsinah, diawali dengan gigihnya perjuangan kawan-kawan PT CPS yang dipimpin oleh Marsinah dalam menuntut hak-haknya. Maka akhirnya 13 buruh PT CPS dipaksa mengundurkan diri oleh aparat Kodim Sidoarjo. Marsinah pun kemudian harus kehilangan nyawannya setelah hilang selama 3 hari dan baru diketemukan mayatnya pada tanggal 8 Mei 1993 di pinggir hutan jati Wilangan di Nganjuk. Sebelumnya Marsinah sangat gigih memperjuangkan nasib dari ke-13 buruh PT CPS yang di-PHK di kantor Kodim Sidoarjo. Dari petugas rumah sakit yang mengotopsi jenazah Marsinah diketahui bahwa Marsinah tewas karena mengalami penganiyaan berat. Dan kematian Marsinah, 8 Mei 1993 yang lalu, seakan menjadi tonggak utama kebangkitan kaum buruh untuk bangkit membangun kesadaran untuk merebut hak-haknya yang selama ini ditindas. Dan semangat buruh pabrik itu, kini menjadi sebuah monumen yang kokoh berdiri di hati setiap buruh Indonesia, meluas terus sampai melampaui batas-batas sektoral. Ya, Marsinah, kini bukan sekedar ikon tapi dia adalah kekasih semua pejuang kebenaran! Mewarisi dan mewariskan semangat Marsinah Apa yang kemudian bisa dilakukan untuk terus-menerus tanpa perasaan lelah menyatakan bahwa kita hormat dan mencintai nilai kejuangan sebagimana yang diteladankan Marsinah? Tentu saja tak lain dan tak bukan hanya dengan menyatakan perlawanan dan perjuangan terhadap penindasan para kapitalis dan dalam konteks perjuangan hari ini terasa telah menemukan suatu momentum yang dapat mengkonsolidasikan dan menyatukan seluruh gerakan rakyat pekerja di Indonesia. Marsinah jelas merupakan simbol perlawanan dan pengakuan rakyat pekerja untuk mendapatkan hak berserikatnya. Marsinah merupakan momok yang sangat menakutkan bagi kapitalis pada saat itu, sehingga nyawanya harus dihilangkan. Dan kini, kecintaan pada Marsinah harus pula mampu melahirkan sebuah gerakan lebih masif dan terukur, bukan saja melalui usulan kepada negara agar mengangkat Marsinah sebagai pahlawan nasional. Karena perjuangan Marsinah lah maka rakyat pekerja mendapatkan jaminan untuk hak berserikat saat ini. Bukan hanya dengan mengusulkan hari kematian Marsinah 8 Mei sebagai tonggak baru pengakuan rakyat pekerja untuk mendapatkan hak berserikat dan menjadikannya sebagai hari Buruh Nasional sebagai peringatan untuk mengenang jasa-jasa Marsinah dalam memperjuangkan nasib kaum rakyat pekerja di Indonesia, namun menebarkan kembali semangat yang melandasi perjuangan Marsinah kala itu menjadi lebih penting justru pada kondisi saat ini, saat yang tepat karena rezim yang berkuasa sedang kehilangan legitimasinya, panik mempertahankan eksistensinya dan sedang sibuk berebut kekuasaan melalui pilpres. Momentum yang lain adalah karena Indonesia menjadi bagian dari peta dunia yang juga sedang dilanda krisis yang mencapai puncaknya dan kepastian dampaknya yang sangat luas bagi rakyat pekerja berupa PHK massal dan pemiskinan sistematis yang dilakukan oleh negara. Dan kini, hari-hari setelah peringatan kematian Marsinah berlalu, tidak pantas rasanya kalau kemudian kita melupakan Marsinah. Kini saatnya melahirkan kembali kecintaan dan kesadaran itu melalui sebuah keyakinan untuk meretas kembali jalan berlawan itu. Sejatinya itulah cara kita mewarisi dan mewariskan semangat perjuangan Marsinah. Kini, 16 tahun sesudah kepergiannya, Marsinah ada di tempat paling terhormat di hati para buruh Indonesia! * Penulis adalah Sekretaris Jenderal KASBI, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek. ** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org). |
Labels: bulletin sadar