Oleh Cahyono *
 
“…… Karena itu dia populis, iklannya menyentuh masyarakat akar rumput. Itu yang cepat menarik simpati masyarakat. Dia juga dekat dengan rakyat, tidak segan bersalaman bahkan berbaur dengan rakyat….. Dia juga memiliki modal yang banyak dan semua tahu itu.”
Sepenggal kalimat diatas, adalah pendapat Indria Samego, pengamat politik ternama di negeri ini yang dimuat di Media Indonesia tanggal 6 Mei 2009 ketika urun rembug memberikan pandangannya terhadap Prabowo Subianto, Ketua Dewan Pembina dan Capres Partai Gerindra, sebagai sosok yang mumpuni dan hebat. Tentu saja, penilaian itu adalah sebagai upaya membangun pandangan positif dan reputasi Prabowo dan juga pendapat ini dimaksudkan sebagai pembanding atas dua jenderal lain yang juga akan berjibaku dalam pilpres Juli 2009 nanti. Siapa lagi kalau bukan Wiranto dan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai kompetitor.
Saya, seorang buruh yang bekerja di sebuah pabrik pengolahan kayu di kota Karawang Jawa Barat. Namun sejak Oktober tahun 2008 yang lalu dipaksa untuk menjadi pengangguran karena pengusaha, pemilik pabrik tempat saya bekerja mem-PHK saya tanpa alasan yang jelas, hanya karena kebetulan saya adalah seorang ketua serikat buruh yang sedang bersama-sama teman-teman buruh pabrik yang lain memperjuangkan hak normatif bernama THR yang hanya dibayarkan lima puluh ribu saja, jauh dari ketentuan hukum yang seharusnya sebesar setara upah per bulan saya.
Pengusaha di tempat saya bekerja, seorang pengusaha pribumi yang kira-kira juga memiliki reputasi yang mirip dengan gambaran yang disampaikan pengamat politik di atas. Ramah, suka berbaur, sudah mendatangi tempat kami bekerja, bahkan kadang tidak segan bersalaman dengan kami meskipun tangan kami kotor berkeringat dan berlumuran oli dari mesin produksi. Tapi, sejak Oktober 2008 yang lalu, saya dan sekitar 108 orang buruh di tempat saya bekerja bisa melihat dari sudut pandang yang berbeda tentang apa itu yang disebut reputasi dan pencitraan. Meskipun populis, gaul dan memasyarakat, baik dan kelihatan bermoral namun ketika dalam kondisi tertentu, dia akan menunjukkan watak aslinya. Buktinya, saya di-PHK tanpa alasan yang jelas. Dan kata sekretaris perusahaan yang selalu berada di samping bos tempat saya bekerja, dia menandatangani surat PHK terhadap 108 orang buruh itu dengan senyum dan wajah sumringah.
Tiba-tiba, potongan koran yang memuat pendapat di atas, mau tidak mau menyeret saya untuk membayangkan masa-masa ketika pertarungan para “dewa” dalam pilpres bulan Juli nanti berlangsung.
Politik adalah pencitraan
Politik adalah urusan membangun citra, itu kesimpulan saya. Betapa tidak, karena hari ini terkadang orang berbuat apa saja atas nama citra, reputasi dan nama baik. Tak peduli apakah dalam kesehariannya dia seperti yang digambarkan dalam iklan-iklannya. Berperilaku seperti dewa-dewi penolong yang lemah lembut santun dan memang pribadi yang baik? “…..…… Karena itu dia populis, iklannya menyentuh masyarakat akar rumput,” demikian juga halnya dengan komentar pakar yang lain.
Sementara SBY, presiden berkuasa yang hari ini begitu percaya diri menapaki sejarah hidup untuk siap-siap terpilih menjadi presiden dua periode berturut-turut juga tak kalah sibuk membangun citra dirinya sebagai pemimpin yang tegas, santun, tidak kebal terhadap kritik dan yang paling dominan sedang membangun polesan make up sebagai pemimpin yang rela berdarah-darah mandi keringat tidak tidur mengkesampingkan hak pribadinya asalkan rakyat bahagia. Muncullah konsep PNPM mandiri, BLT dan berbagai kebijakan kucur-kucuran duit yang tidak jelas asalnya, bisa-bisa duit utang dari rentenir Internasional seperti IMF, ADB dan Bank Dunia.
Wiranto, jenderal senior yang tak kapok maju lagi menjadi cawapres mendamping Jusuf Kalla, juga tak kalah ngotot menampilkan sosok dirinya sebagai jenderal yang santun, tegas, mengedepankan kepentingan rakyat, memutar-mutar data sehingga memang benarlah dirinya bahwa pemerintah yang sekarang berkuasa tidak becus menangani kemiskinan. Maka, dia kemudian tampil sebagai ratu adil yang datang untuk membebaskan rakyat dari kemiskinan. Meskipun calon presiden yang sekarang dia dampingi adalah orang terpenting kedua di belakang presiden SBY yang dia kritik dengan sangat pedas. Meski capres yang ia dampingi berasal dari partai Golkar (penyokong kekuasaan saat ini) tempat dia berkiprah politik sebelum kemudian dia kritik habis-habisan dan kemudian dia ikut memecahnya menjadi sempalan bernama HANURA. Menyaksikan deklarasi JK-Win di TV tetangga, istri saya bergumam,” Kalau kemudian bersatu lagi, kenapa dulu pisah ya?”
Itulah realitanya. Sekarang semua bisa dibeli dengan uang berlimpah, agen iklan kampiun yang siap memoles, tim kampanye handal siap turun ke desa-desa dan tema-tema serta isu kampanye yang menyentuh hati rakyat menjual kemiskinan untuk satu kepentingan: pencitraan.
Rakyat pilih siapa ?
Kemudian, mau tidak mau ingatan saya kembali pada nasib yang sekarang meliputi hidup saya, Buruh ter-PHK. Di-PHK oleh bos di pabrik yang punya reputasi bagus. Ramah, gaul dan memasyarakat. Tapi, justru dari sinilah saya belajar bahwa seharusnya saya (dan teman-teman buruh) tidak boleh silau dengan iklan-iklan perilaku dan gelegar kampanye di media-media. Seharusnya saya belajar bahwa untuk memilih (apapun itu) saya harus kenal dengan seksama pada pilihan itu.
Terkait dengan para kandidat presiden itu, saya dan kawan-kawan kemudian belajar dari pengalaman pahit bertahun dan jujur mengakui bahwa mereka, para jenderal yang hari ini berlomba-lomba dalam kegugupan menjadi capres republik ini tidak ada satupun yang pas untuk masa depan kita. Buruh, nelayan dan rakyat kecil seperti saya ini. Semua capres itu, baik wiranto, SBY maupun Prabowo adalah mantan petinggi yang berkuasa di era pemerintahan Orde Baru yang sangat tidak berpihak kepada rakyat. Baik Prabowo, Wiranto maupun SBY tidak memiliki catatan keberpihakan kepada rakyat.
Sebagai bagian tak terpisahkan dari kekuasaan masa lalu, mana mungkin saya dipaksa untuk percaya bahwa mereka sudah benar-benar berubah sementara perilaku anti rakyat itu semakin kentara saja dari waktu ke waktu. Sama seperti bos saya di pabrik, ketika dalam kondisi tertentu, dia akan menunjukkan watak aslinya. Prabowo, tercatat sebagai jenderal yang berlumuran darah dalam kasus kawan-kawan aktivis tahun 1998, penculikan. SBY adalah Menkopolkam ketika Megawati menjadi presiden yang kemudian mengesahkan Undang-undang Ketenagakerjaan terburuk sepanjang sejarah republik ini, UU 13 tahun 2003 yang melegalkan sistem kerja kontrak/outsourcing dan upah murah. Sementara Wiranto adalah orang kepercayaan Gus Dur ketika menjadi presiden meluluskan lahirnya Kepmenaker 77/78 tentang pengurangan pesangon bagi buruh.
Duh, kemudian siapa yang saya pilih dalam pilpres nanti? Saya dan kawan-kawan yang lain kemudian menyimpulkan dengan alam pikiran model buruh pabrik yang terbatas, bahwa tidak ada yang layak dipilih untuk menjadi pemimpin masa depan negeri ini. Sebab, tidak ada satupun yang berpihak pada buruh, siapapun mereka. Dan sekarang, saya merasa yakin dengan pilihan itu karena ketika saya ter-PHK, tidak ada satupun yang datang membantu saya kecuali kekuatan saya sendiri melalui serikat buruh yang kami bangun. Dan sekarang saya merasa yakin untuk mengabarkan pada kawan-kawan buruh, baik yang ter-PHK maupun yang masih terhimpit nasibnya di lorong-lorong pabrik, yang nafasnya tersengal-sengal di bawah mesin industri, bahwa tidak ada capres yang bisa dipilih oleh buruh dalam pilpres mendatang. Artinya, tidak ada capres berkualitas dalam arti berpihak pada rakyat dalam pilpres mendatang.
Dan, pelajaran dari pabrik, hari ini masih tetap akan saya pakai: “Kalau bahan baku tidak berkualitas maka tidak layak untuk dipakai alias harus di-rejected!”


* Penulis adalah Ketua Serikat Buruh Gemilang Jaya Makmur Pratama Karawang, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.
** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment