Oleh : Fredy Wansyah *


Kemacetan di beberapa daerah perkotaan semakin buruk. Kelebihan pengguna kendaraan adalah faktor utamanya. Meskipun faktor tersebut dapat diatasi dengan pelebaran jalan, namun solusi itu bukan suatu kebijakan yang efektif atas kepemilikan tanah. Kemacetan terparah saat ini terjadi di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Tingginya tingkat mobilitas, sentralisasi ekonomi, dan kekacauan konsumsi merupakan “asal-muasal” mengapa DKI menjadi daerah yang sangat macet. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah era Bang Yos menciptakan sistem baru kendaraan umum, yang disebut Transjakarta.

Tidak bisa dihindari pula, daerah di sekitar DKI pun ikut terkena imbas macet. Kepadatan kendaraan di DKI merembet ke Tangerang, Bekasi, dan beberapa daerah yang berbatasan dengan Jakarta. Karena itu pula, sebagai solusi yang mengacu pada Transjakarta, kemacetan di beberapa titik daerah yang berbatasan dengan DKI memunculkan Tranjabodetabek. Dengan beberapa perbedaannya dari Transjakarta, Transjabodetabek diharapkan mampu mengatasi kemacetan.

Mengatasi kemacetan bukan persolan mudah, karena masalah ini bersinggungan dengan kepemilikan barang pribadi. Kemacetan itu atas dasar kebebasan memiliki kendaraan pribadi. Setiap keluarga bahkan individu bebas memiliki kendaraan pribadi. Dari itulah kita akan melihat dalam satu keluarga terdapat empat sampai enam kendaraan pribadi. Padahal keluarganya hanya berjumlah empat orang. Bayangkan bila setiap keluarga di suatu daerah kota, dengan daya beli yang cukup, mampu membeli satu mobil untuk setiap orang. Bila kondisinya seperti itu, jelas bahwa pelebaran jalan bukanlah suatu solusi yang bijak dan efektif. Begitu pula halnya dengan penetapan angkutan umum seperti Transjabodetabek.

Di satu sisi, Transjabodetabek memang akan memuat banyak penumpang karena daya tariknya seperti ber-AC, ekonomis, dan cepat. Sistem Transjabodetabek hanya sekadar “membujuk” masyarakat untuk menggunakan angkutan umum. Penggunaan angkutan umum itu diperkirakan akan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi di jalan umum. Bagaimana mungkin kendaraan di jalan umum akan berkurang bila tidak ada regulasi tentang konsumsi kendaraan pribadi? Ini artinya, solusi penciptaan sistem angkutan umum seperti itu bukanlah solusi yang efektif atau bukan solusi yang tepat sasaran.

Dari sisi pasar, seorang Presiden Direktur dari salah satu perusahaan mobil menyatakan target penjualan mobil pada tahun 2011 akan mencapai delapan ratus ribu unit. Data lain menyebutkan bahwa pada tahun 2009 keberadaan mobil di Indonesia telah mencapai 7,5 juta unit. Pada tahun 2010, selama sepuluh bulan saja telah terjual lima ratus ribu lebih unit mobil. Sedangkan sepeda motor sudah pasti jauh lebih tinggi dari data penjualan mobil sebab tidak jarang kita temui dealer-dealer sepeda motor di berbagai tempat. Target penjualan itulah yang perlu diwaspadai. Belum lagi kendaraan-kendaraan industri dan kendaraan-kendaraan pemerintah (plat merah) ikut menambah volume kendaraan di jalan raya.

Pengadaan Transjabodetabek akan efektif dalam mengatasi kemacetan bila diikuti dengan adanya regulasi dari pemerintah yang membatasi penjualan dan pembelian, yang terkait dengan kepemilikan kendaraan pribadi. Transjabodetabek hanya menjadi proyek gagal bila volume kendaraan pribadi di jalan umum terus meningkat.

Ada dua aspek yang perlu diperbaiki dalam mengatasi kemacetan. Kedua aspek tersebut adalah aspek konsumsi masyarakat dan aspek politik. Dari aspek politik, pemerintah berperan sebagai pengendali kebijakan dalam proses jual-beli kendaraan pribadi. Contohnya di Singapura, Jepang, dan Cina yang berperan aktif mengelola jual-beli kendaraan, khususnya mobil. Singapura menerapkan pajak berlapis-lapis terhadap kepemilikan mobil. Pemerintah Singapura juga menetapkan sistem kuota (vehicle quota system) atau membatasi penambahan mobil di Singapura setiap tahunnya. Pembatasan tersebut merupakan suatu strategi aspek politik atas hubungan pemerintah negara terhadap pelaku bisnis (produsen) kendaraan. Hal itu pun akan berpengaruh terhadap aspek konsumsi masyarakatnya.


* Penulis adalah aktivis sosial, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Rizky Pratama Putra*


“…agama berdasarkan sama rata sama rasa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa hak persamaan untuk segenap manusia dalam dunia tentang pergaulan hidup, tinggi dan hinanya manusia hanya tergantung atas budi kemanusiaannya.” (Haji Misbach)

Membungkus keberagaman hari ini sama sukarnya dengan menegakkan benang basah. Di tengah pemandangan bersahaja tentang keharmonisan sebuah kehidupan bernegara, ada fakta lain bahwa masyarakat Indonesia menjadi sangat mudah terbakar terutama jika menyangkut perbedaan suku dan agama. Lihat saja nasib para jamaah Jamaah Ahmadiyah yang masih dihantui teror psikologis dan ancaman fisik, pelarangan berdirinya gereja dan rumah ibadah kelompok minoritas adalah serentetan peristiwa yang melukai kebhinekaaan.

Secara umum peristiwa tersebut tersirat keberagaman yang menjadi tantangan utama berjalannya negara ini. Secara falsafah yang telah disepakati bersama dalam ideologi bersama, Pancasila. Bagaimana ragamnya suku, agama, maupun ras diakui di negara ini, dan seharusnya menjadi sebuah kekayaan nasional, bukan permasalahan nasional. Negara yang harusnya menjadi pamong Pancasila justru menjadikannya senjata ampuh untuk memberangus keberagaman itu sendiri, khususnya menjadi pemukul utama bagi musuh rejim yang berkuasa.

Kemandulan nilai-nilai luhur tersebut akibat dari kesemrawutan sejarah negeri ini. Pemahaman masyarakat adalah sebuah pemaknaan terpenggal dari sebuah cerita kusut yang hadir berbeda di setiap era dan rezim. Memaknai Pancasila akhirnya menjadi sebuah pengkultusan atas sebuah ideologi. Hal ini tak ubahnya mengajak masyarakat untuk memahami Pancasila adalah butir demi butir, sila demi sila, bukan sebuah penghayatan dari karakter bangsa.


Negara Terbiasa Mengangkangi Perbedaan

Gagalnya negara dalam memberikan perlindungan, pengakuan, dan penghormatan sepanjang sejarah pasca kemerdekaan bagi para kelompok minoritas menjadikan pola-pola keberulangan terus berlangsung. Peristiwa yang terjadi saat ini bukanlah hal yang baru. Negara seperti sudah terbiasa melakukan upaya kasar dengan membakar sentimen suku dan agama rakyatnya.

Peristiwa pelarangan Masyumi sebagai sebuah organisasi oleh Rejim Soekarno menjadi gambaran besar peristiwa pengangkangan terhadap keberagaman. Rejim Soeharto adalah penghutang terbesar dalam pertanggungjawabannya melakukan pelbagai pelanggaran HAM yang mengatasnamakan Pancasila sebagai pemberangus organisasi politik anti-pemerintahnya dalam bingkai memelihara kesatuan dan persatuan nasional. Peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 dan Peristiwa Talangsari 1989 merupakan luka lama yang masih belum disembuhkan dengan keadilan hingga saat ini.

Negara menciptakan bahasa lain dalam memaknai Pancasila, bahwa setiap penentang dan para aktivis pro-perubahan dilabeli separatis. Lalu kemudian memberangus dan meredamnya atas nama Pancasila. Aceh dilabel separatis, Papua dilabel separatis hanya karena mereka menuntut keadilan dari tanah mereka sendiri. Politik Pancasila menjadi kekasaran negara dalam melakukan represivitas terhadap pembangkang rezim. Tanpa sebuah keadilan maka keberlanjutan dari sebuah pelaksanaan kekerasan akan terus mengakar di negeri ini.

Hal inilah yang tercermin begitu kuat pada kondisi memaknai keberagaman akhir-akhir ini. Tak pelak sebuah kontrol ideologi melulu secara subyektif. Pelaksanaan jauh dari kesepakatan. Jika di masa lalu kelakuan negara identik sebagai pelaku utama dari pemberangusan keberagaman, maka saat ini negara justru “memfasilitasi” masyarakat untuk saling bertikai. Negara adalah percik api yang membakar masyarakat yang sangat kering dalam menyikapi problem keberagaman.

Lahirnya kelompok-kelompok fundamentalis di satu sisi memang merupakan sebuah tanggung jawab negara memfasilitasi hak sosial politik warga negaranya, tapi di sisi lain negara juga gagal menjamin perlindungan terhadap kelompok minoritas. Dimulai dari insiden Monas, kekerasan demi kekerasan terhadap mereka yang berbeda keyakinan acap kali menjadi berita utama yang memenuhi ruang berita. Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) menjadi label alasan kebangkitan kelompok-kelompok itu. Belum lagi penolakan dan penyerangan gereja seperti yang terjadi pada GKI Yasmin di Bogor, HKBP Mustika Jaya – Bekasi oleh kelompok ormas berjubah agama. Seperti sebelumnya, kelompok minoritas justru menjadi kelompok yang disudutkan.


Jurang Itu Semakin Lebar

Rentannya masyarakat Indonesia menghadapi isu-isu rasial, menjadi kekuatan tersendiri bagi penguasa untuk menjadikan mereka sebagai garda terdepan melindungi kekuasaan. Memelihara perbedaan sebagai sebuah jalan pintas, menjadi sangat efektif. Masyarakat yang tidak pernah menjadi subyek, tapi melulu menjadi obyek sebuah kebijakan sangat mudah diperdaya. Akhirnya akar permasalahan dengan apik bersembunyi dalam lingkar kekuasaan, karena tanpa sadar hal tersebut berasal dari negara itu sendiri.

Akses menuju persamaan dalam perbedaan dipersulit dengan instrumen peraturan yang juga mendiskriminasi kelompok minoritas. Pada kasus Ahmadiyah misalnya, penerbitan Surat Kesepakatan Bersama (SKB) dari tiga institusi negara, yakni Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, serta Kejaksaan Agung menjadi payung rusak upaya negara melindungi keberagaman di tanah air. Surat yang berisi untuk menganjurkan Ahmadiyah untuk menghentikan siar keyakinan serta aktivitas keagamaan adalah pertentangan secara nyata terhadap hak atas berkeyakinan secara umum yang diakui dalam UUD 1945 pasal 29 dan UU 11/2005 mengenai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Hadirnya SKB ini menjadi teror baru bagi kelompok JAI yang semakin disudutkan dan mendapat tempat paling minimalis dalam skala perlindungan negara.

Di tempat lain, mereka yang berupaya untuk beribadah sesuai dengan keyakinan harus mendapat penolakan berdirinya rumah ibadah. Penolakan ini bukan tanpa alasan, kehadiran pemerintah sebagai penengah dan penjamin sebuah keharmonisan bernegara justru tidak pada tempatnya. Pendirian rumah ibadah para kelompok minoritas kerap mendapat kesulitan izin untuk berdiri. Sebuah alasan yang irasional sebenarnya jika memang kita (masih) percaya bahwa hari ini Indonesia sudah lepas dari penjajahan dan berdiri sebagai sebuah negara yang merdeka. Hal inilah yang menjadi bayangan gelap bagi kaum minoritas untuk terus beribadah.


Keadilan Atributif Dalam Keberagaman

Beragama, berkeyakinan, dan memiliki sebuah paham adalah berdiri melampaui relasi individu. Hal tersebut menjadi sebuah pondasi dari yang paling hak selain kehidupan itu sendiri. Keberadaannya merupakan bagian dari melestarikan kehidupan dan kemampuan untuk berinteraksi secara privat kepada apa yang diyakininya. Secara sosiologis sebenarnya keadaan ini adalah bagian terpisahkan dari sebuah hubungan antar individu, tapi menjadi satu bagian penting untuk saling memahami.

Penindasan tidak langsung kelompok mayoritas terhadap minoritasnya. Peraturan Daerah di beberapa tempat yang mengadopsi sistem syariah di beberapa kota dan kebupaten di tanah air misalnya, semakin merusak tata keharmonisan bangsa. Akhirnya kemudian mempersempit pertemuan secara kultural dan melebarkan jurang perbedaan. Atas nama keteraturan dan ketertiban kemudian Perda Syariah tumbuh subur di atas bumi yang begitu bhinneka.

Nilai-nilai demokrasi kemudian direduksi oleh semangat penghargaan dan pemenuhan atas mayoritas. Tanpa kita sadari bahwa di negara yang sudah merdeka, dan mengakui keberagaman justru menegasikan adanya perbedaan. Jika sudah begini maka sesungguhnya kemerdekaan itu sendiri menjadi begitu sempit. Keberagaman hanya menjadi formalitas dalam sebuah keadilan yang atributif. Mereka yang sedikit hanya mendapat sebuah pengakuan, penghargaan, dan perlindungan sesuai porsinya.

Intervensi negara dalam menyikapi permasalahan keberagaman saat ini pun akhirnya tidak pada tempatnya. Tumpang-tindihnya peraturan disusul oleh tumpang-tindihnya tanggung jawab. Negara seolah gamang dalam menyelesaikan problem keberagaman.

Aturan yang melarang wanita keluar malam, berpakaian islami, atau mengharuskan seorang calon PNS Pemerintah Daerah untuk bisa baca-tulis Al Quran adalah sebuah pengindetifikasian bagi sebuah kelompok yang mungkin bisa menyebabkan konflik terbuka secara horisontal. Selain tidak sesuai dengan UU 32/2004 pasal 10 ayat 3 dimana pemerintah yang mengatur tentang Otonomi Daerah, disebutkan daerah diijinkan untuk mengelola kewenangan daerahnya kecuali enam hal, yakni politik luar negeri, pertanahan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Di sisi lain peluang untuk mengancam secara psikologis bagi minoritas tercipta.

Tidak hanya itu, pemerintah kemudian melibatkan aparat TNI dalam menyelesaikan problem keberagaman di tanah air. Dalam kasus Ahmadiyah, TNI melakukan operasi sajadah. Mereka mengintimidasi, melakukan teror secara psikologis terhadap JAI untuk “kembali” dan bertobat dari Ahmadiyah. Keterlibatan militer dalam penyelesaian konflik keberagaman juga menjadi tanda tanya besar, apakah begitu peliknya masalah keberagaman serta begitu tidak mampunya pemerintah dalam menyelesaikan konflik tersebut, sehingga TNI harus turun langsung karena problem ini sudah menjadi ancaman bagi keamanan nasional?

Keberagaman hari ini adalah sebuah fenomena kegagalan negara dalam merawat sebuah ideologi. Pancasila hanya menjadi sebuah atribut pelengkap di setiap ruang institusi formal negara. Pancasila hari ini masih terbingkai apik tanpa makna sebagai sebuah hiasan dinding. Sebuah keadaan akan keringnya sebuah keadilan di negara ini, sebuah keadilan bagi setiap perbedaan. Lalu ternyata kita baru sadar bahwa sudah sejak lama ternyata ada saat ketika Pancasila (tiba – tiba) hilang, yang hingga hari ini masih terus berlangsung.


* Penulis tergabung dalam Sahabat Munir, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).
Sumber: PrakarsaRakyat

Oleh : Wiwin*

Setelah beberapa lama ter-PHK dari pabrik jamur di kotaku, aku berniat kerja menjadi TKW di Malaysia dengan harapan ingin meraih sukses. Aku mendatangi PJTKI -PT. Okdo Harapan Mulia- untuk mendaftar menjadi TKW, menyusul adik sepupuku yang sudah satu setengah tahun bekerja di Malaysia. Aku datang ke PJTKI bersama kawan yang baru juga ter-PHK dan kebetulan kami satu organisasi. Katanya kami dijanjikan kerja satu majikan di Malaysia. Kira-kira empat bulan proses di PJTKI, ternyata kawanku terlebih dahulu dipanggil untuk berangkat. Aku menyusul satu bulan kemudian yaitu di akhir tahun 2008.

Kami diberangkatkan lewat Bandara Juanda Surabaya. Sebelum keberangkatan kami ditampung di PT yang ada di Surabaya. Kami bergabung dengan calon TKW lainnya dari hampir seluruh Indonesia. Banyak hal yang kami alami selama di penampungan. Kesedihan dan kesemena-menaan yang dilakukan ibu asrama, apalagi tiap hari pasti ada calon TKW yang kesurupan entah apa sebabnya.

Satu minggu aku ditampung di Surabaya dan akhirnya terbang ke Malaysia. Rasa takut, bingung menemani perjalananku. Sampai di Bandara Malaysia, aku dijemput oleh agensi Malaysia. Dari Kuala Lumpur aku dibawa ke Pinang, sampai di tempat rumah mess agensi sekitar pukul dua pagi. Di sana sudah ada tiga kawan dari Indonesia. Kamipun berkenalan dan saling cerita. Aku merasa tidak tega melihat mereka, terlebih setelah mendengar ceritanya. Kondisi mereka dalam keadaan sakit dan dikembalikan ke agensi. Bagaimana mereka bisa cepat sembuh kalau makan mereka sehari satu kali dan makan mie rebus di pagi hari? Tidurnyapun juga tidak layak karena harus tidur di lantai tanpa alas. Semalaman aku tidak bisa tidur merenungi nasibku dan TKW lainnya.

Pagipun datang dan kami berbenah diri untuk dibawa ke kantor agensi yang tidak jauh dari rumahnya. Sesampai di sana kami disuruh membersihkan kantor. Setelah selesai kami lalu sarapan mie rebus dengan jatah satu bungkus untuk dua orang. Setelah makan mulailah pemeriksaan. Sakit hatiku saat diperiksa karena kami harus melepas semua pakaian sampai tak tersisa satu pun di badan. Barang bawaan kami pun diperiksa. Setelah itu kami dipaksa menandatangani perjanjian yang kami tidak paham isinya karena tidak semua perjanjian itu boleh dibaca Setelah selesai, kami langsung diantarkan ke tempat majikan masing-masing.

Alangkah terkejutnya aku ketika sampai di tempat majikan karena apa yang sebelumnya dijanjikan kerja di toko, ternyata malah sebaliknya. Aku dipekerjakan di pabrik plastik yang memproduksi peralatan rumah tangga. Ketika aku protes ke agensi dan majikan, bukan jawaban yang kudapat tapi caci-maki dan hinaan. Akhirnya dengan sangat terpaksa aku melakukan pekerjaan itu. Ada empat TKW asal Indonesia yang sudah lebih dahulu bekerja di perusahaan tersebut dan ada juga tenaga kerja asal Nepal. Mereka semua laki-laki berjumlah 12 orang, sedangkan dari Indonesia hanya kami berlima perempuan.

Jam kerjaku sepanjang 16 jam, dimulai dari jam enam pagi sampai jam sepuluh malam. Tanpa ada jam istirahat, hanya tersisa waktu 10 menit untuk makan. Kami sebagai muslim tidak boleh melakukan ibadah. Walaupun aku bekerja di pabrik tapi gajiku dihitung sebagai PRT dan permit-ku (ijin kerja) juga untuk rumah tangga.

Hari demi hari kujalani sampai akhirnya aku dan empat kawanku nekat untuk melarikan diri. Kebetulan kawanku dari Jawa Timur mempunyai kakak sepupu yang sama-sama bekerja di Malaysia. Secara diam-diam kami menghubungi kakak sepupu temanku itu dan mengutarakan niat kami untuk melarikan diri. Waktu kami untuk bertemu berlima tidak banyak karena kerja kami dibagi dua shift. Hanya dua minggu sekali kami bisa bersama-sama di waktu pergantian shift. Di tengah malam pergantian shift, kami melarikan diri tanpa membawa uang dan pakaian. Kami hanya bermodal nekat tapi dengan penuh perhitungan, karena bagaimanapun bila tetap bertahan di sana kondisi kami akan terus mengenaskan.

Setelah berlari akhirnya kami ditolong oleh satpam perusahaan tak jauh dari tempat kerja. Kami dibawa pulang ke rumahnya. Sambil istirahat aku menghubungi kawan di Malaysia dan Indonesia. Akhirnya kami diantar seorang kawan ke KBRI. Sesampai di sana kami langsung diterima di bagian pengaduan, kami disuruh membuat kronologi kejadian dengan ditanya satu per satu. Kami juga dijenguk oleh bapak Sapto sebagai kepala depnaker yang ada di KBRI. Beliau katakan bahwa di sini akan diselesaikan secara bijaksana, tanpa ada suap ataupun pemaksaan terhadap TKI. Memang, seorang kepala bisa berkata demikian akan tetapi kenyataannya berbeda. Kami menyaksikan sendiri betapa pegawai Indonesia yang menangani pengaduan di KBRI menerima suap dari agensi Malaysia, bahkan itu terjadi di depan TKI.

Setelah menyelesaikan pengaduan, kami tinggal di shelter atau penampungan untuk menunggu proses selanjutnya. Selang beberapa hari kemudian kami dipanggil ke kantor untuk berbicara dengan agensi dan majikan. Mereka menawarkan kami untuk kembali bekerja, tapi kami menolak dan meminta mereka untuk memberikan hak-hak kami. Akhirnya kami memutuskan kembali ke Indonesia dengan menolak ajakan untuk kembali bekerja.

Bagaimana kami tidak takut untuk melanjutkan kerja di sana bila kondisi kerja sangat buruk dan menindas? Apalagi selama di penampungan KBRI, kami semakin sedih tapi bersyukur karena yang lebih sengsara dari kami ternyata lebih banyak dan hampir setiap hari ada pengaduan. Ada yang sakit jiwa karena mendapat tekanan dan siksaan dari majikan, ada yang hamil tua sambil membawa dua anaknya, satu di gendongan dan yang satu menangis kepada sang ibu. Banyak teman TKW yang terpaksa hamil karena mengalami pelecehan seksual. Tentunya masih bergudang-gudang cerita kesedihan untuk kasus-kasus yang dialami oleh TKI di Malaysia.

Seiring berjalannya waktu, kamipun pulang ke tanah air melalui Bandara Soekarno Hatta. Sepanjang lorong jalan turun dari pesawat yang dilihat adalah goresan “Selamat Datang Pahlawan Devisa.” Bagi TKI yang terbiasa melalui bandara tentu hal itu sudah tidak asing lagi. Namun bagi yang pertama kali, pasti merasa tersanjung karena disebut sebagai pahlawan.

Di balik semua itu, mereka mengalami banyak hal seperti pungutan-pungutan yang membebankan TKI. Dari Terminal 2 dibawa ke Terminal 4, di situ pungutan berawal. Setiap TKW dimintakan amal Rp 20 ribu, sampai di Terminal 4 yang menyerupai penjara, TKW harus mendaftar kedatangan dengan membawa Rp 10 ribu. Setelah melewati proses pertama, TKW menunggu proses selanjutnya.

Bagi TKW yang habis kontrak dan pulang dengan keberhasilan, prosesnya lebih mudah karena langsung membeli tiket kepulangan dan menunggu keberangkatan ke kampung halaman. Tapi bagi TKI yang tidak habis kontrak dan pulang tidak membawa hasil, mereka harus melewati proses yang memberatkan. Mereka harus membuat pengaduan di LBH yang dibikin oleh BNP2TKI dan masih dibebani biaya Rp 10 ribu oleh LBH tersebut. Lebih parahnya lagi, LBH itu tidak ada manfaatnya sama sekali untuk TKW yang bermasalah karena hanya bisa menangani tentang asuransi saja.

BNP2TKI memang mempunyai program pemulangan gratis untuk TKI yang bermasalah, tapi beban TKI bermasalah masih bertumpuk karena pemulangan harus menunggu cukup lama. Bisa memakan waktu satu hari sampai satu minggu karena harus menunggu travel yang satu jurusan dengan TKI bermasalah itu, terisi penuh. TKI bermasalah tersebut dititipkan atau menumpang travel untuk bisa pulang ke kampung. Hal paling memberatkan adalah waktu menunggu tersebut karena beban hidup di Terminal 4 sangatlah berat. Mereka butuh makan minum dengan harga yang keterlaluan mahal.

Ternyata penderitaan TKI belum berakhir karena saat dalam perjalanan, nyawa dan harta benda bisa terancam. Ada yang mengalami pelecehan seksual, ada harta benda mereka yang dirampas bahkan kadang nyawa menjadi taruhannya. Bagi mereka yang selamat sampai tujuan, TKI masih dipungut uang lagi antara Rp 100 ribu sampai Rp 200 ribu.

Menggunakan travel dari bandara adalah kewajiban, tidak boleh ada jemputan dari keluarga ataupun siapa saja. Perjalanan menuju rumah menghabiskan waktu dua hari-tiga malam, yang bila menggunakan angkutan biasa hanya butuh waktu 12 jam. Travel tersebut mengantar satu per satu TKI sampai tujuan. Aku merasa aman tapi perjalananku sangat melelahkan karena lamanya waktu menuju ke rumah. Sekalipun aku tidak berhasil secara materi, pikiran dan tenaga terkuras dalam pelarian, aku tetap bersyukur karena banyak pengalaman yang dapat dibagikan.

Sampai kapan ketidakadilan dan penindasan terjadi terhadap TKI? Sampai kapan pemerintah benar-benar melindungi TKI? TKI tidak butuh sambutan yang manis tapi dalamnya duri, mereka butuh perlindungan. Pemerintah jangan hanya melihat nilai devisa yang besar dari TKI. Banyak TKI yang tidak berhasil dan membutuhkan perlindungan. Mereka yang terlunta-lunta di negara lain sangat banyak jumlahnya karena tidak berdaya untuk pulang ke Indonesia. Mereka yang mendekam di penjara dan tersangkut kasus hukum, hanya mengandalkan negara sebagai kekuatan yang legal untuk bisa menolong warga negaranya.

Kami selalu berdoa setiap ada kasus TKI yang muncul di televisi dan surat kabar. Semoga kasus ini yang terakhir dan tidak akan terjadi lagi di masa datang. Namun justru yang kami rasakan justru jumlahnya semakin parah dari sebelumnya. Kami berharap ini akan berakhir, pemerintah akan lebih serius dalam melindungi TKI mulai dari proses rekruitmen, penampungan, penempatan, maupun kepulangan. Kami juga adalah manusia yang berkewarganegaraan Indonesia, mempunyai harkat dan martabat.


* Penulis adalah mantan buruh migran, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Timur.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).


Oleh : Fitriyanti *



Matanya menatap tajam sambil membaca dengan seksama, lembar demi lembar sebuah isi dari undang-undang perburuhan. Sebuah produk hukum negara yang dahulu tak pernah dikenalnya. Bekerja hanya sebagai operator mesin di tingkat pabrik, hari-harinya hanya dihabiskan untuk bekerja dan di dapur. Kini dia menemukan sesuatu yang sangat baru dari kehidupan yang lama dia jalani. Pengetahuan dan bacaan-bacaan mengisi kehidupannya menjadi lebih variatif.

Imah, nama seorang buruh perempuan yang kini menjadi ketua serikat buruh. Ia dipercaya setelah berjuang untuk sebuah ketidakadilan yang sedang dialami oleh buruh di sebuah pabrik garmen. Mayoritas buruh perempuan di pabrik itu mendapatkan diskriminasi upah. Upah yang mereka terima tidak sama dengan upah yang diterima oleh buruh laki-laki, padahal mereka sama-sama bekerja 8 jam sehari. Dan yang lebih parah adalah banyaknya buruh perempuan yang berstatus tenaga kerja kontrak dan outsourcing. Hal ini menjadi perjuangan yang berat bagi serikat buruh, karena pada umumnya buruh kontrak dan outsourcing merasa takut jika harus berjuang bersama dengan serikat buruh.

Kaum buruh secara kolektif mengerjakan seluruh proses produksi. Begitu juga dalam sebuah organisasi, tidak ada pembedaan antara perempuan dan laki-laki, seharusnya. Namun fakta di lapangan, pengurus serikat buruh masih didominasi oleh laki-laki, sekalipun di dalam pabrik tersebut anggotanya mayoritas perempuan. Kadang kondisi ini tidak disadari penuh oleh anggota serikat buruh, karena kondisi seperti ini sering diciptakan atau terbangun oleh budaya patriarki atas kemauan sang pemodal. Maka terciptalah konflik. Untuk itu aspek pemahaman dan kesadaran akan pengetahuan dan cara kerja kolektivitas, penting dimiliki.

Banyak faktor yang menghambat buruh perempuan untuk terlibat aktif dalam organisasi serikat buruh, di antaranya adalah larangan dari keluarga, keterikatan untuk mengurus rumah tangga bagi mereka yang telah menikah, repot urus anak, dan harus siap siaga memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hal ini terjadi karena dalam masyarakat kita menganggap bahwa peranan perempuan hanya di seputar urusan rumah tangga saja, namun jika kita lihat lebih jauh lagi, kaum perempuan pun ikut serta dalam membangun ekonomi keluarga dan negara. Bahkan Bung Karno pernah berujar, “Perempuan adalah Tiang Negara.”

Secara kuantitas jumlah tenaga kerja perempuan mendominasi dibanding laki-laki, dari 130 juta tenaga kerja di tahun 2010, jumlah pekerja perempuan mencapai 70%. Sementara pekerja di luar negeri dari total jumlah TKi sekitar 16 juta orang, jumlah pekerja perempuan sekitar 80%. Tanpa disadari perempuan sudah memegang sebuah kepemimpinan secara jumlah dan gerak ekonomi negara ini. Bahkan pada sejarah awal zaman munculnya pertanian pun, perempuan menjadi pemimpin dan pencetus ide untuk melakukan pertanian guna mempertahankan keberlangsungan hidup manusia.

Di Indonesia, barulah Megawati Soekarno Putri yang menjadi presiden perempuan pertama. Di era sebelumnya, tentu kita pernah mendengar perempuan-perempuan Indonesia yang berjuang agar perempuan Indonesia mendapatkan kesempatan yang sama dalam hal pendidikan dan politik. Sebut saja Cut Nyak Dien, Cut Mutia, RA Kartini, Dewi Sartika, Kristina Martha Tiahahu. Jauh sebelum itu, pada jaman feodal di Indonesia pernah ada raja perempuan (ratu) yang cukup tersohor yakni Ratu Sima.

Bahkan Indonesia pernah mempunyai sebuah organisasi perempuan yang kuat yaitu Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Namun Gerwani diberangus pada masa orde baru, karena Gerwani identik dengan PKI. Banyak kaum perempuan yang tertarik dengan organisasi karena kegiatannya yang menyangkut kebutuhan sehari-hari mereka. Seperti contohnya mendirikan taman kanak-kanak, di pasar, kebun, kampung. Organisasi juga mendidik kaum perempuan untuk bisa menjadi guru dan juga mengkampanyekan untuk pemberantasan buta huruf. Dibuat pula kursus-kursus bagi perempuan untuk meningkatkan kesadaran politik mereka.

Namun setelah Gerwani dibumihanguskan, tiada lagi organisasi perempuan yang murni memperjuangkan hak-hak perempuan. Semua mati ditelan sang waktu. Tiada lagi kepemimpinan organisasi perempuan. Kondisi ini bisa kita lihat pada contoh yang dapat dirasakan langsung oleh buruh perempuan adalah kurangnya perlindungan bagi buruh perempuan dalam Undang-Undang Perburuhan 13/2003. Walaupun tercantum soal hak cuti haid, ternyata faktanya masih banyak yang belum mendapatkan, begitu juga halnya dengan hak melahirkan.

Bahkan pada kenyataan di dunia ketenagakerjaan, terdapat perempuan yang kerjanya dikontrak (outsourcing), dilarang untuk haid, menikah, hamil dan melahirkan. Mengapa? Karena setiap pekerja perempuan yang kerjanya dikontrak maka statusnya diwajibkan menjadi lajang. Ketika kontrak belum habis dan pekerja perempuan tersebut hamil maka akan di-PHK. Cuti haid tidak diberikan, bahkan kalau sakit bisa diputus kontraknya. Lebih jauh lagi, bila buruh perempuan berserikat, dirinya akan mendapatkan tekanan hingga pemecatan.

Itulah kenyataan yang kini ada, kuantitas yang besar tidak mendapatkan perlindungan hukum. Ruang gerak yang sempit membuat semakin sulit kehidupan sosial kaum perempuan, khususnya kaum buruh.

Cerita Imah di atas, tidaklah hanya satu-satunya. Usaha merombak tradisi dalam usaha memperbaiki nasib perempuan cukup banyak di Indonesia. Pejuang-pejuang perempuan sudah bertebaran bersemai dan berkembang di bumi ini, meretas takdir dari dapur, menyeruak kepemimpinan.

Di masa depan diperlukan ruang lebih besar untuk kepemimpinan perempuan dalam organisasi rakyat. Adalah keharusan untuk membangun tradisi kesetaraan dalam organisasi rakyat, tanggung jawab serta kesempatan kerja yang sama antara perempuan dan laki laki dalam organisasi. Bila langkah itu bisa dilakukan maka akan terus memunculkan pemimpin-pemimpin perempuan dalam ranah perjuangan rakyat.



* Penulis adalah anggota FSPEK Karawang, Pengurus Pusat Konfederasi KASBI pada Departemen Perjuangan Perempuan. Sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).


Oleh : Ibob*

Sejarah perkembangan seni dan budaya perlawanan Indonesia memang menarik untuk diikuti. Seni budaya Indonesia berangkat jauh sebelum zaman pra-kemerdekaan. Seni dan budaya daerah masa itu lebih berkembang ketimbang budaya nasional yang memang belum terkonsep dengan jelas. Budaya rakyat hanya bergerak di tataran bawah, dari rakyat untuk rakyat, dan memang hanya untuk rakyat. Budaya asing lebih kuat mempengaruhi.

Pasca kemerdekaan, seni dan budaya daerah Indonesia mulai muncul mewarnai jagat kesenian. Produk seniman Indonesia mulai muncul dan dipamerkan lewat pentas-pentas dan pameran. Masa itu kebudayaan lebih mengarah pada seni perjuangan untuk mengusir dan melawan penjajah. Para seniman senang menyebutnya dengan nama seni revolusioner atau seni perlawanan.

Awal kemerdekaan, orientasi seniman mengarah pada seni rakyat. Pada awal kemerdekan pula, Presiden Sukarno mengharuskan setiap partai politik membentuk sebuah organ ataupun lembaga kesenian dan budaya. Hal ini berlandaskan Trisakti yaitu berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam budaya. Instruksi Sukarno ini secara tidak langsung merupakan aplikasi dari paham yang ketiga, bahwa Indonesia harus bisa menjaga dan mengembangkan budaya aslinya sesuai dengan pribadi bangsa.

Di masa itu banyak organ kesenian yang tumbuh subur di Indonesia. Salah satunya adalah Lekra yang mewakili kubu kiri dan manikebu dari golongan kanan. Perseteruan antar pelaku seni ini menggambarkan dengan jelas bahwa ada jurang pemisah setelah Indonesia lepas dari genggaman Kolonial Belanda. Sukarno yang pada saat itu telah mengambil hati rakyat Indonesia mencoba memerangi pengaruh Blok Barat pasca Perang Dunia II. Memang pada saat itu Indonesia condong pada Blok Timur. Terlebih dengan munculnya karya seniman Lekra yang mengandung ideologi dan artistik yang tinggi. Itu termaktub dalam metode berkarya 1-5-1 seniman Lekra.

Metode 1-5-1 dapat dijabarkan sebagai berikut:

Pertama, politik sebagai panglima merupakan simbol kesadaran masyarakat akan segenap dinamika sosial yang sangat dipengaruhi oleh kebijakan politik dan bersifat politis. Tapi juga merupakan prinsip pertama sebagai ilmu kepemimpinan, baik individu maupun kolektif untuk selalu berpihak kepada rakyat.

Kedua, meluas dan meninggi adalah bagaimana sebuah karya seni bisa menjaring kesadaran secara politis dan luas jangkauan kuantitatifnya terhadap masyarakat dan menitikberatkan pada tingginya ideologi.

Ketiga, tinggi mutuideologi dan artistic. Untuk mencapai tataran 2 tinggi itu harus didapatkannya kesadaran politik, sementara tinggi mutu artistik merupakan penerjemahan kenyataan dalam bentuk karyanya.

Keempat, tradisi baik dan kekinian revolusioner dipahami sebagai etika yang didasari ideologis revolusioner, sedangkan dimensi realitas masyarakat diwakili oleh kekinian revolusioner dalam tatanan sosial di masyarakat.

Kelima, realisme sosial dan romantisme revolusioner. Realisme sosial dan romantik revolusioner merupakan bentuk kesadaran ideologi dalam berkesenian. Sebuah tekad perjuangan menuju kemenangan sosialisme lewat jalur kesenian.

Satu yang terakhir adalah turba (turun ke bawah) yang merupakan sebuah bentuk tindakan guna melihat kenyataan yang terjadi di sosial masyarakat itu sendiri.

Dalam seni perlawanan. seni bukanlah sesuatu yang tak terjangkau dan abstrak. Karya seni yang melawan adalah bagaimana membangun kesadaran seniman pada pemahaman yang nyata dan dilihat dari hasil pengamatan getaran yang dialami oleh rakyat. Tak ada keindahan yang dibuat-buat.

Seni harus berpihak. Tidak semata-mata urusan estetika saja. Seni untuk seni adalah kredo yang melarikan diri dari kenyataan bahwa rakyat masih ditindas. Tentu bukan berarti estetika itu tidak penting, hanya saja estetika harus tunduk pada realisme sosialis. Mendewakan estetika akan berarti melarikan diri dan membohongi hati nurani, suatu sikap menyerah dan tak siap memikul tanggung jawab sebagai warga negara dan seniman.


* Penulis adalah seniman KePAL-SPI (Keluarga Seni Pinggiran Anti Kapitalis), sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).


Oleh : Andre Sulistiawan*


Garam merupakan salah satu komoditas strategis nasional. Selain menjadi kebutuhan bahan pangan garam juga dipergunakan untuk industri. Namun demikian industri garam seolah hanya dibiarkan menggelinding dan hidup seadanya tanpa ada perhatian yang cukup dari pemerintah. Predikat sebagai negara maritim dengan panjang garis pantai 95.191 kilometer belum bisa menjadikan Indonesia sebagai produsen garam dunia. Sampai saat ini pemerintah masih menggantungkan pemenuhan kebutuhan garam dari impor. Produksi garam dalam negeri hanya mampu menghasilkan 44 persen dari total kebutuhan nasional. Data yang dikeluarkan Departemen Kelautan dan Perikanan pada medio April 2011 menyatakan total kebutuhan garam nasional mencapai 3,6 juta ton sedangkan produksi dalam negeri hanya 1,6 juta ton. Hal ini disebabkan petani mengalami gagal panen akibat kemarau basah yang terjadi sepanjang tahun 2010.

Selama ini garam nasional masih tergantung pada sentra-sentra produksi di beberapa daerah saja. Pemerintah belum mengupayakan membuka potensi yang masih cukup luas di wilayah-wilayah lain. Selain itu petambak masih menggunakan metode tradisional yang tergantung pada cuaca tanpa ada sentuhan teknologi modern, bantuan permodalan serta pengetahuan yang cukup dari pemerintah. Hampir 80 persen produksi garam nasional dihasilkan di Pulau Madura. Pulau ini memiliki lahan penggaraman 7.000 hektar yang dikelola oleh petani dan 5.000 hektar dikelola oleh PT Garam. Dalam satu musim panen wajar 12.000 hektar lahan penggaraman di Madura menghasilkan 9.000 ton dalam bentuk garam kasar.

Madura sejak jaman dulu terkenal sebagai sentra penggaraman tradisional. Hal inilah yang membuat pemerintah kolonialis Belanda pada waktu itu mendirikan pabrik pengolahan garam yang kemudian dinasionalisasi oleh Pemerintah RI dan menjadi PT Garam Persero. Namun demikian nyatanya nasib para petambak garam tradisional di wilayah ini tidak juga mengalami perbaikan yang berarti. Mereka tetap menjadi kelas miskin dan tidak diperhitungkan dalam skema produksi garam. Bahkan terkadang dianggap sebagai salah satu penghambat untuk kemajuan industri garam nasional. Seperti halnya yang dialami oleh para petambak garam di wilayah Kecamatan Kalianget dan Saronggi Kabupaten Sumenep. Selain harus dihadapkan pada problem distribusi serta permodalan mereka juga harus berebut lahan penggaraman dengan PT Garam. Sejak tahun 1975 lahan milik petani dikuasai oleh PT Garam dengan alasan untuk modernisasi sistem penggaraman.

Saat ini banyak para petani yang tidak memiliki lahan dan beralih menjadi buruh atau mencari pekerjaan lain di kota bahkan banyak juga di antaranya yang pergi keluar negri untuk menjadi buruh migran. Para petani yang masih memiliki lahanpun dihadapkan pada situasi yang serba sulit dimana dalam persoalan pemenuhan kebutuhan modal harus meminjam uang kepada tengkulak dengan konsekuensi hasil panen mereka akan dihargai lebih murah. Pada awal tahun 2011 pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan membuat sebuah program yang dinamakan Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat atau disingkat PUGAR. Melalui Program ini pemerintah mengelontorkan anggaran mencapai 90 miliar yang diperuntukkan bagi 10 propinsi yang memiliki basis penggaraman.

Targetnya sampai pada akhir tahun 2011 bisa membuka lahan baru sebanyak 32 Ha. Target lain yang ingin dicapai adalah swasembada garam konsumsi pada tahun 2012 dan swasembada garam industri pada tahun 2015. Meskipun program ini sudah bergulir sejak awal tahun namun pada kenyataannya implementasi di lapangan belum begitu menampakkan hasil. Di Sumenep misalnya Program PUGAR sampai pada Bulan Agustus dananya belum juga bisa dicairkan sedangkan para petani garam sudah selesai melaksanakan tahap awal proses pengerjaan lahan. Dengan demikian dana tersebut praktis tidak lagi bisa dipergunakan sebagai modal awal produksi.

Bantuan tunai ini juga terancam tidak tepat sasaran mengingat mayoritas petambak adalah buruh yang bekerja pada lahan milik tuan tanah. Sedangkan program PUGAR hanya diperuntukkan bagi petambak yang memiliki lahan sehingga sangat mustahil apabila program-program stimulan seperti ini bisa meningkatkan produktifitas dan mutu garam nasional. Situasi ini nampaknya tidak cukup memberi peringatan kepada pemerintah untuk membuat kebijakan yang solutif dan tepat sasaran. Sehingga sebagian kalangan mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan kelangkaan garam nasional. Kondisi ini hadir pada saat mereka sedang getol-getolnya mengupayakan meningkatkan produktivitas dan mutu garam nasional melalui program intensifikasi dan ekstenfikasi garam.

Pemerintah selalu menggunakan perhitungan berdasarkan pada potensi lahan penggaraman yang belum tergarap yang diperkirakan mencapai 14.000 hektar. Namun demikian pemerintah masih kurang memperhitungkan potensi kegagalan dari pembukaan lahan baru ini mengingat problem sesungguhnya dari kelangkaan garam nasional bukan pada luasan lahan yang dikerjakan tapi pada carut-marutnya sistem distribusi dan metode produksi yang masih tradisional. Seharusnya pemerintah segera melakukan percepatan penerapan teknologi modern dalam memproduksi garam khususnya bagi para petambak tradisional yang masih tergantung pada kemurahan alam dalam sistem produksi. Penerapan modernisasi produksi garam nasional ini mendesak untuk segera dilakukan. Selain untuk meningkatkan produksi garam nasional dan menekan laju impor, modernisasi diharapkan bisa mengeliminir dominasi para tuan tanah dan pemodal besar yang selama ini lebih banyak menguasai sistem produksi garam tradisional, dimana merekalah yang menjadi momok bagi petambak kecil.

Dengan modal kuat dan lahan luas para tuan tanah dan pemodal ini dengan leluasa mempermainkan harga serta akses lahan bagi para petambak tradisional. Modernisasi teknologi prosuksi garam sangat penting dilakukan apabila targetan swasembada garam tersebut ingin dicapai dalam jangka pendek karena jika masih mengandalkan metode tradisional, targetan swasembada kemungkinan besar akan mengalami kegagalan. Modernisasi teknologi yang perlu segera diaplikasikan adalah menerapkan teknologi tepat guna dan mudah dijalankan oleh petambak dengan prasyarat bisa berproduksi dalam kondisi cuaca seperti apapun, hemat energi dan tidak memerlukan lahan yang luas untuk mengerjakannya

Tentunya memodernisasi sistem produksi garam tidak mudah dilakukan mengingat untuk menciptakan sebuah terobosan seperti ini memerlukan biaya yang tidak murah. Oleh karena itu pemerintah harus berperan sepenuhnya dengan menggandeng para peneliti yang benar-benar memahami kebutuhan sistem produksi yang dibutuhkan oleh rakyat. Selain itu juga harus dibuat skala prioritas serta tahapan dalam penerapan modernisasi semisal menerapkan teknologi pada proses penguapan dan kristalisasi. Kemudian setelah proses itu menunjukkan progres yang baik baru dilanjutkan pada pembuatan teknologi untuk proses refinasi. Proses ini semata-mata untuk tetap menjaga keberlangsungan serta memudahkan petani untuk memahami dan menguasai teknologi tersebut.

Hal lain yang penting untuk dijadikan sebagai acuan utama adalah teknologi apapun yang akan diterapkan nantinya faktor peningkatan taraf hidup petambak garam merupakan tujuan yang harus menjadi prioritas. Jangan sampai penerapan teknologi ini hanya akan menguntungkan segelintir orang saja. Pada akhirnya diperlukan dukungan semua pihak yang terlibat dalam skema produksi garam ini baik petambak, industri, peneliti, dan pemerintah dalam mensukseskan modernisasi produksi garam. Semua dukungan itu demi terwujudnya swasembada garam nasional dan kesejahteraan bagi para petani garam.


* Penulis adalah Staf IWORK (Institute For Migran Workers). Sedang menjadi asisten penelitian Garam di PPM FE Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).
Sumber: PrakarsaRakyat

;;