PARADESHA


DATA BUKU

Penulis: Rida Fitria
Editor: Catur S.
Layout: Catur S.
Desain Cover: Tim Halaman Moeka
Penerbit: Halaman Moeka Publishing
Cetakan: Jakarta, September 2011
Ukuran: 14 x 21 cm

Tebal: 294 halaman
ISBN: 978-602-99043-9-0
Harga: Rp. 70.100,-


SINOPSIS PARADESHA (Indonesia)

Sang surya lahir setiap hari di Paradesha, sebuah benua paling berpengaruh dan berkuasa di jagad bumi, dengan unsur-unsur pendukung Paradesha yang sejati; rakyat dari segala wangsa, pengendara naga, pengendara kuda terbang, penjaga mustika, ilmuwan piring terbang, sahabat raja mina, ahli botani, hingga pemerintahan dengan sistem terpercaya yang mendedikasikan diri mereka bagi kesejahteraan negeri semata. Orang-orang salih yang percaya pada Tuhan Yang Esa, orang-orang yang berumur panjang karena kesalihan mereka, orang-orang yang membenci perang dan memuja perdamaian.

Paradesha menempati wilayah yang bertentangan dengan bagian dunia lainnya yang diselimuti es dan gletser maupun gurun yang sangat gersang. Paradesha terletak bukan di barat maupun timur, dimana kedua ujung garis katulistiwa bertemu dan waktu bermula. Demikianlah peradaban agung ini tumbuh, berkembang, dan mengalami kemajuan dengan sehebat-hebatnya, di antara tantangan-tantangan manusiawi hingga keserakahan sesamanya.

SINOPSIS PARADESHA (English)

The sun is born every day in Paradesha, the most influential and powerful continent in the universe, sustained by true advocates of Paradesha; people of all dynasties, the dragon riders, the riders of pegasus, the guardians of magic jewel, the flying saucer scientists, the companions of mina kings, the botanists, and the government anchored in trustworthy systems that is highly committed to the establishment of the country’s welfare. More to the point, there are devout people who believe in One Supreme God, those granted the opportunity to live longer due to their piety, and those embracing pacifism.

Paradesha lies in a region quite contrary to those regions on earth covered in ice and galcier, or those appearing to be barren desert. Paradesha is located neither in the west nor in the east where the farthest points of the equator meet, allowing time to begin. And that is how the lofty civilization grows, develops, and advances considerably to the utmost significance in the midst of human challenges and the greed among the race.


ENDORSEMENT

"Sejarah dan mitos senantiasa terbuka atas penafsiran dan gugatan berkat perkembangan ilmu pengetahuan dan kekuatan imajinasi karya sastra. Dalam konteks itulah novel ini layak dipertimbangkan untuk melihat dan merenungi perjalanan kehidupan bangsa-bangsa di nuswantara pada masa lampau, kini, dan yang akan datang."
-Halim HD, Networker Kebudayaan

"Apakah benua Atlantis itu betul-betul ada atau hanya karangan Plato belaka? Dan benarkah lokasinya ada di Indonesia? Ribuan tahun perdebatan tanpa usai, ribuan buku sudah menuliskannya. Dan kali ini hadir novel Paradesha, di mana penulisnya mampu membangun kriteria perihal Atlantis dalam sebuah karya fiksi yang memikat, sebagai sebuah novel futuristik sekaligus historis imajinatif."
-Henri Nurcahya, Penulis dan Aktivis Budaya

"Penggambaran dan pengembaraan jalan cerita mengiaskan bagaimana tenunan peradaban dibangun dengan daya budi dan budi daya tokohnya yang kokoh dan manusiawi sehingga jalinan kisah berlatar sejarah ini tak jatuh dalam guratan hitam putih. Selamat menimba inspirasi agar kita bermakna dilahirkan di bumi Nusantara: Paradesha."
-Rusdi Tagaroa, Aktivis Pembela HAM


Info:
Buku ini bisa dilihat juga di HalamanMoeka dan cara pemesanan bisa dilihat DISINI

Oleh : Leo Nardo Prasasi*

Manusia hidup butuh makan. Untuk makan perlu uang. Untuk mendapatkan uang harus bekerja, tetapi ketika lapangan pekerjaan tidak ada, maka kita jangan pernah berharap untuk bisa makan. Ya, itulah realita kehidupan yang ada di kota-kota seperti Jakarta, Medan, Bandung, Semarang, Surabaya dan Makassar. Semakin hari, semakin banyak orang miskin, pengangguran, pekerja informal dan gelandangan berkeliaran di jalan-jalan.

Persoalan kemiskinan yang terjadi di negeri kita, bukanlah nasib atau suatu takdir yang diciptakan Tuhan, tapi karena serakahnya pemerintah dalam menerapkan kebijakan yang hanya berpihak pada pemilik modal. Persoalan penggusuran yang ada di kota sudah tidak asing lagi bagi kita semua. Pastinya kita sering melihat banyak penggusuran yang terjadi dari mulai penggusuran pedagang kaki lima hingga pemukiman kumuh yang berada di atas tanah-tanah yang diklaim milik negara. Segala penggusuran tersebut selalu dengan alasan untuk menata keindahan kota, agar kota tidak terlihat kumuh, tidak terjadi kemacetan, agar tertib serta nyaman.

Namun kalau kita mau mengkaji persoalan penggusuran yang terjadi di kota, bukanlah sekedar untuk keindahan kota. Semua ini adalah kepentingan dari para pemilik modal asing yang menanamkan modalnya di Indonesia. Mereka mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya melalui kerja sama dengan pemerintah Indonesia. Logika kapitalis adalah tidak mau rugi, harus mengeruk untung sebanyak-banyaknya. Para pemilik modal mengeruk keuntungan di kota melalui pembangunan mal, apartemen dan hotel-hotel mewah.


Menurut logika kapitalis, ketika masih ada orang-orang miskin berada di jalan-jalan atau masih ada pasar tradisional, semua itu akan menghambat keuntungan yang masuk ke kantong mereka. Pada akhirnya pemilik modal bekerja sama dengan para pejabat untuk membuat kebijakan yang menggusur para pekerja informal dengan alasan keindahan kota. Hasilnya, para pejabat yang membuat kebijakan tersebut mendapatkan untung dari para pemilik modal.

Perlu dipahami di sini adalah membedakan antara menertibkan dengan menggusur. Bila pemerintah ingin menertibkan para pekerja informal yang berada di pinggir-pinggir jalan, pemerintah harus bisa memberikan ruang bekerja yang layak dan strategis untuk para pekerja informal tersebut. Tidak hanya menggusur atas nama ketertiban dan keindahan tanpa memberikan solusi apapun. Ini sama saja halnya dengan pemerintah ingin membunuh rakyat miskin perlahan-lahan dengan segala kebijakannya.

Kita bisa melihat di berbagai media elektronik atau pun media cetak, banyak orang miskin menjadi gila, bunuh diri, menjadi residivis lantaran persoalan himpitan ekonomi yang mencekik leher. Persoalan ini harusnya menjadi pekerjaan rumah yang penting bagi pemerintah untuk bisa menyelesaikan persoalan tersebut. Persoalan kriminalitas di kota tidak akan pernah selesai kalau pemerintah masih menerapkan kebijakan ekonomi yang hanya berpihak kepada pemilik modal.

Pemerintah harus bisa belajar dari negara-negara sosialis seperti Cuba dan Venezuela yang mampu mensejahterakan rakyat dengan kemandirian ekonomi negaranya. Mereka mampu memberikan pendidikan dan kesehatan gratis dengan mengalokasikan beberapa persen keuntungan dari hasil kekayaan alam negerinya. Selain itu mereka dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang layak dengan delapan jam kerja dan upah yang sesuai dengan kebutuhan hidup.

Semua itu dilakukan dengan cara memutus hubungan ekonomi dengan negara-negara imperialis yang sejatinya hanya menghisap dan menciptakan kemiskinan. Bahkan Hugo Chaves yang menjadi Presiden Venezuela pernah berbicara dalam pidatonya, “Setetes minyak pun tak akan pernah kuberikan kepada Amerika.” Kemandirian seperti inilah yang seharusnya dicontoh oleh pemimpin negeri kita. Pemerintah Indonesia seharusnya berani melawan kekuatan negara imperialis yang selalu mengeruk kekayaan alam kita. Bukan justru mengemis meminta bantuan yang akhirnya menyeret kita pada persoalaan utang yang tidak pernah bisa kita bayar.


* Penulis adalah anggota Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia (SeBUMI), sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Gugun Gunawan *

Belum usai pedih itu dan masih panjang rasa sakit akibat kebijakan beruntun impor beras, cabe, bawang, jahe, garam, gula dan masih banyak lagi yang dampaknya sangat menyulitkan dan merugikan kehidupan petani, kini kekeringan membakar setiap lahan petani Indonesia. Pada tahhun ini saja, kekeringan melanda 95.851 ha dan lahan puso sebesar 3.713 ha. Terlalu banyak sumber derita bagi kaum tani dan situasi ini menjadi kado paling “buruk” bagi kaum tani di Hari Tani Nasional 2011.

Dalam tulisan ini, secara lebih sempit hanya membicarakan kekeringan dari beberapa aspek. Karena soal impor produksi pertanian yang digalakkan pemerintah mengandung banyak hal dimana sejatinya adalah operasi paling modern yang bernama kebijakan liberalisasi perdagangan. Namun tentulah kekeringan tidak bisa dijadikan alasan pemerintah untuk semakin menggalakkan impor produksi pertanian. Atau sebaliknya kekeringan juga tidak bisa hanya diarahkan alasannya karena alam atau siklus cuaca. Banyak sebab datangnya kekeringan dan sebagai kado hari tani, perlulah kado itu dibuka.

Keringnya Lahan, Tak Pastinya Nasib Petani
“Setelah harga gabah menurun karena katanya banyak beras impor, hasil panen ga bisa memenuhi kebutuhan bahkan nombok. Eh, kini saat butuh air sawah kami kena kekeringan panjang dan padi ga ada isinya. Kini ga tahu harus bagaimana memenuhi kebutuhan hidup kami.” Begitulah salah satu petani padi di Jawa Tengah berkeluh-kesah yang saat ini hanya mengandalkan kerja serabutan agar keluarganya tetap bisa makan dan bertahan hidup.

Itulah secuil gambaran situasi kehidupan kaum petani yang sedang dilanda kekeringan. Semua menjadi kering dan sulit. Sementara harapan yang muncul di berita-berita tentang kebijakan pemerintah untuk penanggulangan kekeringan dan puso hanyalah berita yang tak kunjung tiba realisasinya. Bahkan pemerintah desa yang berhubungan langsung dengan kaum tani menjadi tempat bertanya tanpa bisa memberikan jawaban pasti.

Hal ini menunjukkan aspek ketidaksigapan dan ketidaksiapan pemerintah dalam mengantisipasi kekeringan yang sudah menjadi langganan tiap tahunnya. Pemerintah seolah gagap menghadapi situasi yang rutin ini. Kondisi ini diperparah dengan kesadaran masyarakat secara luas untuk mengantisipasi kekeringan yang datang. Dalam hal ini adalah menjaga lingkungan yang bisa menampung air dengan menanam pohon yang menyerap air serta menjaga aliran-aliran air yang telah ada.


Kondisi ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah dan pemahaman masyarakat khususnya kaum tani akan kebutuhan air tidak sinkron atau tepatnya terjebak pragmatisme. Bagaimanapun kekeringan disebabkan oleh banyak hal, di antaranya adalah tidak lagi tersedianya sumber-sumber air yang diberikan oleh hutan. Begitu pula dengan tidak berfungsinya irigasi, tidak terencana dengan baik skema tata produksi tanam kaum tani serta perkebunan (tata lahan secara nasional). Di sampuing itu, tidak ada kebijakan yang sinergi tentang perkiraan cuaca dengan pertanian, dan masih banyak sebab yang tentu harus dilihat dengan teliti.

Beginilah sepotong episode kekeringan panjang yang memang karena pemerintah abai memberikan perlindungan serta berpikir akan nasib kaum petani sehingga mengakibatkan keringnya kehidupan petani. Efek dari situasi ini akan menimbulkan ambruknya daya pangan nasional dan juga akan hancurnya pertanian di Indonesia. Ke depan bisa saja banyak petani beralih profesi, dengan pragmatisnya menjual lahan yang dimiliki. Atau mereka yang menjadi buruh tani memilih pekerjaan apa saja di luar kegiatan produksi petani. Akhirnya semakin kering kehidupan bangsa ini.

Perlunya Perubahan Mendesak
Tanggal 24 September selalu diperingati sebagai Hari Tani Nasional, dimana peringatan ini diambil bertepatan dengan disahkannya UUPA pada tahun 1959 oleh pemerintah RI pada masa Soekarno. UUPA yang sangat berpihak kepada kaum petani dan memberikan perlindungan kaum tani itu dijadikan simbol keberhasilan perjuangan kaum tani. Walau sekarang UUPA itu tidak dijalankan sejak era Orba pasca 1965 dan banyak dikebiri oleh pemerintahan pro pemodal sekarang ini dengan terbitnya UU yang tidak berpihak kepada kaum tani dan rakyat Indonesia.

Sangat disayangkan pada hari tani ini, kekeringan menyambut perayaannya dan mendekap kehidupan kaum tani. Kering karena kebijakan pemerintah yang sangat merugikan kaum petani. Kering karena kaum tani di kampung-kampung masih tidak tahu bahwa 24 September adalah Hari Tani Nasional. Kering karena kekeringan itu sendiri luput dari pembicaraan serius untuk dicari jalan keluarnya.

Bila kita melihat kenyataan di atas, maka sudah seharusnya dilakukan perubahan mendasar dalam kebijakan pertanian. Perubahan ini harus didukung dan diajukan atau didesakkan oleh organisasi tani, kelompok tani dan pemerintah lokal yang sangat berkepentingan dengan pertanian. Bagaimanapun pemerintah lokal sangat punya kepentingan erat dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari hasil pertanian. Maka penting perumusan kebijakan pertanian dari tingkat terbawah tersebut, serta dipadukan dengan tata kelola lahan serta tata produksi pertanian secara nasional.

Harus ada yang memulai dan merendahkan hati, selanjutnya mendesakkan kehendak perubahan untuk kaum tani. Tanpa kebijakan secara utuh dan sistematis, tentulah kekeringan akan berulang dan membesar serta nasib kaum tani hanya jadi alat bulan-bulanan elit politik, pemerintah dan cuaca politik.

* Penulis adalah Perangkat Desa Suka Manah, Bandung, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).



Oleh : M. Syeun *


Mudik 2011 telah terlewati, sebuah ritual dan telah menjadi tradisi tahunan yang selalu menghadirkan banyak makna. Mudik selalu ditunggu-tunggu oleh masyarakat terutama kaum muslim karena berdekatan dengan perayaan Hari Raya Idul Fitri. Banyak aspek yang muncul saat mudik tiba, aspek ekonomi, aspek sosial dan bahkan aspek politik. Dengan jumlah pemudik yang mencapai 15 juta orang tahun ini tentulah aspek ekonomi tak terbantahkan, bahkan mungkin ini yang mendongkrak roda perputaran uang dan perekonomian secara nasional. Momentum mudik seperti ini tidak dimiliki negara lain, walaupun di sisi lain juga mengakibatkan kenaikan harga-harga yang tidak bisa dikendalikan oleh negara.

Penulis mencoba untuk melihat mudik dari aspek sosial dan politik, dimana mudik menghadirkan kemacetan di ruas-ruas jalan. Kemacetan terutama dari arah Ibukota Jakarta yang menjadi daerah asal pemudik. Tercatat tahun ini mencapai 7 juta orang mudik ke arah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Hal lainnya adalah semaraknya kenaikan harga tiket bis reguler yang tak terkontrol dengan menjamurnya calo tiket di terminal-terminal. Dua hal tersebut secara sosial sangat mengganggu bahkan merugikan masyarakat pemudik dan secara politik menunjukkan betapa pemerintah abai atas kenyamanan dan pemenuhan kebutuhan publik.

Datanglah ke Terminal Purwokerto atau Terminal Jogja saat mudik tiba, maka anda akan menemukan para calo yang berkeliaran minus petugas. Petugas yang berkewajiban di bidangnya seolah hilang dari daerah tanggung jawabnya. Sehingga masyarakat dibiarkan sendiri kebingungan bahkan menjadi korban pemerasan harga tiket atau bahkan tindakan kriminal lainnya. Bahkan banyak pemudik yang membutuhkan bis malah menjadi koran penipuan.

Hal tersebut adalah satu kesatuan dari cerminan betapa karut-marutnya sistem transportasi publik di bumi Indonesia. Informasi tentang kenaikan harga tuslah (tiket saat mudik tiba) yang diumumkan oleh pemerintah tidak lebih dari 15%, tidak terbukti. Kenyataannya pemudik bahkan yang bukan pemudik harus membayar kenaikan tiket lebih dari 50% untuk bis ekonomi, dan lebih dari 100% untuk bis bisnis ber-AC.


Selain hal di atas yang jarang masuk dalam berita, karena sering yang diangkat oleh media hanya jumlah kendaraan dan jumlah pemudik, hal lain yang mendasar justru tidak diangkat. Berita seputar mudik dengan kemacetan di mana-mana seperti dianggap biasa tanpa melihat kerugian-kerugian yang diakibatkan oleh hal tersebut. Bahkan berita kecelakaan hingga jatuhnya korban jiwa hingga melayangnya nyawa, seolah dipandang biasa karena kelalaian pemudik, padahal banyak sebab dari kecelakaan seperti itu.

Penyebab dari kemacetan hingga membuat macet total dapat dilihat dari aspek konsumtif masyarakat akan motor dan mobil. Begitu pula dengan aspek infrastruktur jalan yang sempit dan tidak adanya alternatif jalan yang baru. Selain itu juga aspek kesigapan petugas dalam mengatur arah kendaraan dan aspek ketidaktaatan masyarakat pengemudi mobil dan motor pada petugas. Lebih jauh lagi adalah aspek pemerintah yang tidak mengendalikan dengan baik sistem transportasi.

Dari semua itu, tentu aspek pokok yang patut dikoreksi adalah aspek pemerintah. Dimana kebijakan pemerintahlah yang bisa mengurai kemacetan saat mudik, bahkan di saat hari-hari kerja biasa yang penuh kemacetan. Kebijakan akan pembenahan infrastruktur jalan, kebijakan pembatasan kepemilikan mobil, kebijakan pajak tinggi dan kebijakan akan jalur-jalur pemisah seharusnya menjadi prioritas untuk dibuat. Kebijakan di atas seharusnya dipandu dengan informasi yang akurat kepada pemudik dan pengguna transportasi umum secara cepat. Serta kesigapan petugas untuk menanganinya.

Kebijakan pemerintah harus dipadukan dengan penyebaran informasi kepada masyarakat sehingga ada pemahaman yang cukup akan sistem transportasi publik dan kesigapan petugas, agar kecarut-marutan itu terurai secara bersamaan. Bagaimanapun sistem transportasi menjadi aspek utama dalam perputaran ekonomi. Jangan sampai pemerintah hanya mau ambil untungnya saja dalam momen mudik, sementara abai memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan kepada masyarakat pemudik.


* Penulis adalah pemudik dan anggota serikat buruh di Cimahi, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).


Oleh : Ananto Setiawan*

Masih segar di ingatan kita babak baru perubahan yang dimulai dengan gemuruh reformasi pada tahun 1998. Sebuah awal baru yang memberikan harapan besar kepada semua orang akan perbaikan kondisi hukum dan demokrasi di Indonesia, yang semenjak Orde Baru berkuasa dirampas dan diperkosa oleh penguasa negeri ini. Harapan yang juga dicita-citakan oleh para korban pelanggaran HAM akan kejelasan dari kasus mereka, untuk mengusut setuntas-tuntasnya pelanggaran HAM yang dialami oleh mereka dan keluarga mereka oleh negara. Karena negaralah yang semestinya memang harus bertanggung jawab penuh atas penghormatan, perlindungan, pemenuhan juga pengungkapan atas segala pelanggaran HAM di negeri ini.

Seiring berjalannya sang waktu, hingga hari ini masih banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang tak kunjung mendapatkan kejelasan dan titik terang akan akan pengungkapannya. Termasuk kejelasan akan keberadaan para korban penculikan yang dialami oleh 13 orang aktivis pada tahun 1998. Tiga belas tahun pula kasus mereka menjadi seperti dihilangkan, penantian panjang keluarga korban terasa semakin jauh dari titik terangnya. Tentu ini bukanlah hal mudah bagi keluarga korban, bahkan sebagian dari mereka mungkin telah menutup rapat-rapat masa lalunya karena tak ingin hal tersebut terulang kembali dan bahkan tak sedikit dari mereka yang mungkin telah lelah menyuarakan ketidakadilan.

Memang negara bukan tidak melakukan tindakan atas kasus mereka, tetapi hal tersebut nampaknya masih jauh dari titik terang akan keberadaan ke-13 aktivis yang hingga hari ini masih dihilangkan dan tidak diketahui keberadaannya. Pembentukan DKP (Dewan Kehormatan Perwira) oleh Panglima TNI (Jend TNI Wiranto) hingga Mahkamah militer yang digelar pada tahun 1999, hanya berhasil menyeret 11 orang dalam Tim Mawar. Mereka menjadi terdakwa dengan tuntutan kejahatan merampas kemerdekaan secara bersama-sama. Pengadilan ini tidak berhasil menyeret para perwira tinggi militer yang diduga keras sebagai otak dari penculikan para aktivis yang terjadi pada tahun 1997-1998. Mereka pun semestinya juga memiliki tanggung jawab komando atas operasi yang dilakukan Tim Mawar tersebut.

Kemajuan sekilas memang terjadi pada masa kepemimpinan Abdurahman Wahid, ketika itu ia melakukan pertemuan bersama delegasi AFAD (Asian Federation Against Involuntary Disappreances) pada tahun 2000. Dalam pertemuan itu delegasi meminta diundangnya kelompok kerja penghilangan paksa (UNWGEID) untuk melakukan penyelidikan terhadap banyaknya kasus penghilangan paksa yang terjadi di Indonesia. Saat itu ada respon positif dari pemerintah Abdurahman Wahid, yang tentunya juga memberikan sedikit harapan kepada keluarga korban akan kejelasan dari kasus mereka. Namun sayangnya hal tersebut tidak mendapatkan tindak lanjut oleh pemerintahan selanjutnya hingga hari ini.


Termasuk dengan hasil penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM yang merekomendasikan agar Jaksa Agung agar segera menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM. Rekomendasi itu dengan melakukan penyidikan baik terhadap peristiwa yang terjadi pada sebelum UU 26/2000 maupun peristiwa yang sampai saat ini masih berlangsung (mengingat bahwa ke 13 aktivis yang hingga hari ini masih hilang dan belum kembali). Jaksa Agung hingga saat ini masih tidak menindaklanjuti dengan alasan belum terbentuknya pengadilan HAM ad hoc dan telah digelarnya pengadilan militer atas kasus tersebut. Hal ini semakin menjauhkan para keluarga korban dari keadilan. Begitu juga pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Orang Hilang melalui sidang paripurna DPR RI pada 27 Februari 2007, dengan ketuanya Panda Nababan, dinilai masih sangat minim hasil kerjanya.


Mendekati Pemilihan Umum 2009, Panitia Khusus (Pansus) Dewan Perwakilan Rakyat tentang Penculikan Aktivis 1997/1998 hidup lagi. Pansus juga berencana memanggil Wiranto, Prabowo Subianto, Sutiyoso, dan Susilo Bambang Yudhoyono yang diduga terlibat dalam kasus itu. Karena pada saat kasus ini terjadi, Jenderal TNI (Purn) Wiranto menjabat Panglima ABRI/TNI, Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto sebagai Komandan Jenderal Kopassus, Letjen TNI (Purn) Sutiyoso sebagai Panglima Kodam Jaya, dan Jenderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Assospol Kassospol ABRI. Hingga pada 28 September 2009 Pansus mennyampaikan beberapa rekomendasinya dalam sidang paripurna DPR RI. Namun lagi-lagi rekomendasi tersebut tidak mendapatkan tindak lanjut hingga hari ini.

Mereka masih hilang dan masih dihilangkan, itulah kenyataannya hingga saat ini. Keberadan mereka masih menjadi teka-teki yang belum bisa diungkapkan kejelasannya. Harapan keluarga korban akan kepastian tentang keberadaan keluarga mereka yang masih dihilangkan nampaknya masih akan menemui banyak halangan dan kendala, terutama kemauan pemerintah untuk mengungkap kasus penghilangan paksa terhadap aktivis 98 tersebut. Namun belum habis asa dari pengharapan keluarga korban untuk mencari tahu di mana keberadaan keluarga mereka yang dihilangkan kini, apakah mereka masih hidup dan jika sudah meninggal di mana mereka dimakamkan?

Semangat mereka terus terpancar untuk menuntut keadilan dan mengungkap kebenaran karena bukan tidak mungkin kajadian ini akan terus berulang. Asa ini juga menuntut adanya jaminan tidak akan ada lagi penghilangan paksa bagi mereka yang kritis dalam menyikapi kebijakan pemerintah. Hal inilah yang senada dengan rekomendasi Pansus untuk Orang Hilang DPR RI agar pemerintah segera meratifikasi Konfensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia. Lebih jauh lagi, pemerintah juga harus mengungungkap di mana keberadaan ke-13 orang aktivis yang hingga hari ini masih hilang dan dihilangkan. Tanggung jawab negara ini sebagai bentuk pembelajaran agar kejadian ini tidak akan terulang kembali di kemudian hari.


* Penulis tergabung dalam Sahabat Munir, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).


;;